[2] Tambora

75 0 0
                                    

Tambora, Si Gunung Perkasa dari Nusa Tenggara. Tiga kerajaan di lereng gunung terkubur beserta penduduknya. Tsunami menyapu dari Jawa Timur hingga Kepulauan Maluku. Di saat bersamaan, pertempuran bagi Napoleon Bonaparte dari Kekaisaran Perancis melawan koalisi kekaisaran eropa. Sengit dan kejam, pertempuran di Waterloo itu pada akhirnya diakhiri dengan turunnya hujan lebat oleh Sang Tambora.

Maju kezaman kemuliaan industrial eropa, di sekitar selat inggris. Berlayar sebuah kapal berat bernama Tambora dari Batavia. Di kabin kapal, duduk seorang tua. Memegang pena dan buku serta membawa koper berisi mesin ketik. Itulah Pram. Pengelana dari Pulau Buru, merantau hingga Eropa sampai ia berhasil menemukan sejarah dunia.

Di bagian kendali, berdiri seorang nahkoda yang gagah. Pavel dari Uni Sovyet. Dahulu, para buruh Sovyet ditugaskan dari negeri bambu hingga negeri rempah-rempah ini untuk pendapatan negara sang komunisme.


"Ahoy! Pram! Kita hampir sampai di Den Hagg!" kata nahkoda itu

"Da." Dijawab singkat oleh Pram


Dari lautan yang bergelombang, dari sisi kepulauan negeri matahari tenggelam hingga Prancis. Dengan dentuman petir yang keras sampai tergolaknya kapal itu di lautan yang gelap itu.

Pram, berusaha menulis dengan tintanya. Menuliskan sebuah catatan agar ia dapat dikenali oleh sesama bangsanya.


"Meskipun aku diam tenang bagai ikan, tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan. Kehidupan ini laksana lautan, manusia tidak akan pernah berhenti mengayuh atau ia akan hilang di tengah gelombang samudra kematian.

~ Pram, Selat Inggris"


Di depan kapal, terlihat kilauan merkusuar yang sangat terang. Di depan itu juga mereka melihat lampu-lampu, itulah dia. Kota Den Hagg.


"Hey, Pram! Kita hampir sampai!" kata Pavel

"Da. Aku kan bersiap siap!"

"Dan siapkan juga Rubel untukku! Haha!"

"Seperti biasa, Pavel."


Dengan gentle, Pavel mencoba mengendalikan Tambora menuju pelabuhan disana untuk berlabuh. Perlahan kapal mendekati tembok laut, lalu dengan sedikit goncangan kapal Tambora berhasil terikat disana.


"Berapa bayarannya, Pavel?!" Pram berteriak

"Untuk ini aku gratiskan saja!"

"Ah, tidak. Ini aku beri 10 Rubel."

"Tidak, pram. Terima kasih. Lebih baik aku yang memberimu Gulden, Haha!" sambil Pavel memberikan 6,5 Gulden untuk Pram

"Ah, kau sangat baik hati. Terima kasih, Pavel."

"Bud Ostorozhen (Hati-hati), Kamerad. Cepatlah engkau cari rumah. Jangan sampai kau tertangkap Politsiya. Ingat kau masih buronan di Hindia Belanda."

"Da. Spasibo (Terima kasih), Kamerad Pavel."


Pram lalu beranjak dari kapal Tambora, dengan tersembunyi ia berjalan di antara kegelapan malam dan terangnya lampu-lampu kota di Den Hagg. Entah dikala lampu-lampu ini ia sangat merindukan kota Surabaya, penuh dengan Anak Bangsa yang ia rindukan dan anak-anaknya disana. Sembari ia berjalan, sampailah ia di Vondelstraat dimana salah satu kekawanan buronan bersembunyi disana. Di nomor Zen Een, ia mengetuk pintunya dan menunggu didepan di kala hujan dengan petir diluar sana. Beberapa menit, pintu terbuka dan terlihat seorang totok belanda menggunakan baju tidur. Berkumis dan lebih tinggi dari Pram menyapa.


"Wie ben jij? (Siapa anda?) " kata orang tersebut

"Mijn naam is Pram, ik kom van het jachteiland. Ik zoek Mr.Pangemanann (Namaku Pram, aku dari pulau buru. Aku mencari Tuan Pangemanann)"

"Mr.Pram! Oh ja! Meld je aan! Meld u aan (Tuan Pram! Oh, ya! Masuk! Silakan masuk!)"

Lalu Pram masuk dengan basahnya baju dengan kopernya. Pram dipersilahkan masuk oleh tuan itu dan duduk di ruang tamu.

"Ik heet meneer Westerling, terwijl ik meneer Pangemanann bel (Namaku Tuan Westerling, sebentar aku panggilkan Tuan Pangemann)" kata Tuan Westerling


Selagi duduk, ia mengambil tisu didepannya untuk melap basahan bajuku serta kopernya. Diam-diam ia melihat pemandangan ruang tamu ini, glamor sekali meskipun rumah ini kecil. Penuh dengan koleksi kepala binatang dan jam besar. Tiba-tiba seorang pembantu menyuguhkan Pram sebuah Teh Hangat dan Roti Lapis yang cukup dingin.


"Bedankt (Terima kasih)" kata Pram


Tanpa ekspresi apa-apa, pembantu itu hanya mengangguk lalu kembali ke dapurnya untuk kembali tidur karena ini sudah malam. Selagi ia menyeruput Teh Hangat itu. Datanglah Pangemanann dengan baju tidur juga.


"Selamat datang, Tuan Pram. Lebih baik kita gunakan Bahasa Melayu saja, itu akan lebih baik" Pangemanann menyapa

"Ya, bisa saja."

"Bagaimana anda bisa sampai disini sangat cepat? Saya kira anda masih disekitar perairan Italia."

"Aku kabur dari Pulau Buru lebih cepat dari kekawananku yang lain, beberapa ada yang kabur kembali ke Jawa ataupun ke Singapura. Tapi aku lebih memilih ke Belanda."

"Hm. Kami hanya bisa menyediakan sebuah kamar kecil diatas. Cukup untuk anda menyimpan banyak buku tentunya. Kami juga menyiapkan meja diatas jika anda ingin mengetik."

"Ya, aku beribu terima kasih. Anda sangat baik sekali."

"Tentu saja, sesama mantan napi. Haha! Sebelum itu, apakah anda mengetahui situasi di Jawa?"

"Tidak sama sekali, sebenarnya aku ingin bersinggah dahulu ke Surabaya ataupun Batavia, tapi karena bahayanya polisi disana. Aku langsung menuju kesini."

"Hm. Sangat bisa dimengerti, Tuan Pram. Ini sudah malam, lebih baik anda mengistirahatkan diri. Mungkin anda ingin ikut bersama saya ke Leiden untuk bertemu Tuan Hatta dan Tuan Sjahrir mungkin?"

"Ya, bisa. Sudah lama aku tidak bertemu dengan mereka berdua sejak Kongres pertama Anak Bangsa itu."


Setelah percakapan yang cukup panjang itu, aku diantar sendiri oleh Tuan Pangemanann ke kamarku yang berada di lantai tiga itu. Tidak kecil, tidak besar. Sangat cukup bagiku. Sembari memperkenalkan kamarku, Pangemanann kembali ke kamarnya untuk tidur. Aku mengganti pakaianku dan menaruh kertas, tinta, dan mesik ketikku di meja tersebut. Perlahan melihat ke atas, aku melihat bintang berkelip. Hujan sudah mereda, maka itulah waktunya Sang Pram kembali ke alam mimpinya.

Pram-GieWhere stories live. Discover now