Hening.

"Kau tidak boleh membenci ayahmu lagi. Kehilangan ayah itu rasanya... Menyakitkan"

"Baiklah. Aku tidak akan membencinya lagi"

"Aku senang mendengarnya"

"Pulang? Sekarang? Tapi aku masih ingin bersamamu"

"Apa? Haha. Kau bercanda. Ayo. Sudah sore. Atau kau mau tetap duduk disini? Kalau begitu aku pulang duluan ya" Dy berjalan meninggalkannya

"Eh, tidak tidak. Aku akan mengantarmu" Greyson berjalan mendahului Dy yang masih membersihkan sisa-sisa pasir yang menempel di gaunnya.

Angin semilir yang tidak biasa berhembus. Dy melihat sekeliling. Tidak ada apa-apa. Sekali lagi angin berhembus, melewati lehernya. Ia lalu berjalan lebih cepat menyusul Greyson.

***

Greyson mengantarnya sampai dirumah.

"Terima kasih. Mampir dulu?" kata Dy begitu turun dari sepeda

"Mungkin lain waktu. Rumahmu sepi ya"

"Kami hanya bertiga. Makanya terlihat sepi"

"Baiklah aku pulang dulu. Sampai jumpa"

Dy melihat Greyson sampai ia menghilang diujung gang, lalu masuk kedalam rumah

"Ibu tidak suka kau seperti itu" kata ibunya begitu Dy masuk kedalam rumah

"Tapi, kenapa? Kami hanya berteman"

Ibunya tidak menjawab, tetapi langsung masuk kedalam kamar.

"Bu?"

"Kau lapar? Makan saja apa yang ada di dapur"

"Oke"

Dy tahu, secara tidak langsung ibunya melarangnya untuk sering bertemu dengan Greyson, itu karena ibunya sayang padanya. Ia lalu beranjak ke dapur.

Makan saja apa yang ada didapur, berarti ia bisa memakan kursi, meja, bahkan lemari didapur? hihihi. Ibu begitu lucu-pikirnya

Disaat Dy sedang menyantap roti jagungnya, dirumah Greyson,

.

.

.

.

.

PLAK!!!

Tamparan keras mendarat diwajahnya yang kemudian memerah. Greyson mundur selangkah. Itu adalah tamparan pertama ayahnya.

"KETERLALUAN! SUDAH BERAPA KALI AKU MEMBERITAHU MU?" bentak ayahnya. Greyson hanya diam

"Kalau begini caranya, rencana terpaksa kita percepat"

"Apa?! Ayah?!"

"DIAM! Kau tidak tahu apa-apa!" ayahnya langsung pergi meninggalkannya

"Ayah, aku sudah berumur sembilan belas tahun. Aku tahu apa yang aku lakukan"

"MASUK KE KAMARMU! SEKARANG!"

Ibunya hanya duduk diam di kursi ruang tengah, tidak berani angkat bicara. Matanya terlihat berkaca-kaca, seperti akan menangis, mungkin karena tamparan tadi.

Greyson hanya tersenyum pada ibunya, lalu berjalan dengan gontai menuju kamarnya. Sebenarnya ia menyesal, ia terlalu cepat memotong pembicaraan ayahnya, yang berakibat fatal, ayahnya justru semakin marah dan berkata kalau dia tidak tahu apa-apa.

***

Bumis masih berputar seperti biasa, waktu tetap berjalan dengan konstan, Greyson dan Dy, semakin sering bertemu. Sesekali mereka tetap berkirim surat untuk memastikan rencana pertemuan selanjutnya. Tidak peduli bagaimana ayahnya marah, ia tetap pergi setiap akhir pekan untuk bertemu Dy, rela menempuh jarak yang lumayan jauh dari Parks road ke High Street. Tamparan yang mendarat dipipinya setiap kali ia pulang sudah menjadi hal biasa, dan rasanya tidak lagi sakit seperti pertama kali. Greyson sudah kebal.

Scarlet Letter (Not Greyson's Love Story)Where stories live. Discover now