Senandung Abnormalitas

51 2 2
                                    


 Aku adalah sebentuk gelisah

Yang membuncah

Pasrah

Pada roda semesta

Sambil bersyair dalam batin, Abu Nawas tak henti meneguk ludah, dan menjaga pandangan terhadap bilah tajam yang menghunus lehernya.

"Jadi, ingin bayar hutangmu dengan uang atau nyawa?" Si pengancam menyeringai, menodong lebih kuat, dan membuat sang mangsa semakin terpojok. Dia adalah Abu Yahya. Saudagar rentenir yang punya ladang seluas Green Folks—itu kata-kata penggosip di Duroluk, kalau Abu Nawas tak salah dengar, lagipula orang-orang Ramsand sama sekali tak bisa dipercaya—, berperut buncit dan rambutnya botak.

Pamornya terkenal di seluruh kalangan masyarakat sebagai satu-satunya keluarga Yasir—imigran dari Utara yang terkenal pandai mengelola harta—paling pelit. Beberapa penyair menyebutnya sebagai Matahari Kosong, secara sarkastis.

"Demi Dewa Barat. Bahkan, bila Merkurius benar-benar nyata. Saya tak akan pernah membohongi anda, kisanak. Saya tak punya uang sepeser pun. Bahkan untuk membeli konsumsi, saya harus mengais tanah, mencari keajaiban."

"Hentikan omong kosongmu itu," Abu Yahya berseru muak, makin memojokkan sang mangsa. "Sudah dua purnama kutunggu, dua ratus Skeef itu adalah jumlah yang sedikit bahkan untuk gelandangan."

Ya, bila standar gelandanganmu adalah orang-orang miskin di Utara

Untuk satu momentum, Abu Nawas berharap penduduk Ramsand adalah orang-orang bersimpatik. Tapi, bahkan bila di ujung spasi sempit ini adalah pusat perbelanjaan, masyarakat terlalu sibuk untuk menolong orang lain.

"Cepat. Pilihan yang kuberikan hanya dua. Kepala atau uangmu?"

Sungguh retorik

Masih pagi, dan Abu Nawas sudah dihadapkan opsi paradoks. Karena tak punya pilihan lain, si pemuda menghela napas, dan bersuara berat. "Maaf, kisanak. Anda yang memaksa."

Abu Yahya mengernyit, kemudian membelalak ketika tiba-tiba sesuatu memukul tenggorokannya keras. Tanpa momentum untuk menghindari, membawa Abu Yahya perlahan menuju gulita temporer. Sebelum pingsan sepenuhnya, si pria sempat melihat benda yang menjadi pelaku. Itu sebuah lengan? Lalu kegelapan merayap cepat.

Abu Nawas menatap Abu Yahya yang tumbang tanpa ekspresi. Segala puji bagi Dewa Barat dan Sang Pencipta. Abnormalitas memang bukan gelar yang pantas dibanggakan, tapi setidaknya, kemampuan Estetika Kinematik membuatnya berhasil keluar dari situasi tegang barusan. Lantas, Abu Nawas balik badan, melucuti senjata si penodong, dan keluar dari spasi sempit itu menuju sudut terbuka.

*#*

Ironi itu bernama kehidupan

Koin, tahta, bahkan ampunan Dewa

Tumpah-ruah

Berpadu dalam kesatuan ego

Abu Nawas melewati tiap stand dagangan sembari bersenandung, membalas sapaan orang-orang sok kenal, dan tak lupa bersyair lantang—meski suaranya langsung tumpang-tindih oleh euforia transaksi di sekitar. Awalnya ia ingin ke Kafe Mama, tetapi, ia baru ingat harus mencari klien dan hutang untuk dilunasi. Jadilah ia berbalik arah, dan menuju tempat yang disebut 'kantor'.

Abu Nawas berhenti di sebuah bangunan nyaris terbengkalai. Letaknya di sudut kota. Hanya tersisa pemukiman masyrakat yang saling berjauhan, sisanya adalah pedagang makan keliling. Suasana sepi yang kondusif—namun tak relevan bila dikonotasikan sebagai 'tempat mencari nafkah'. Tapi, Abu Nawas—mengidahkan kondisi tak strategisnya—bersiap masuk dan memulai rutinitas.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 20, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Metafora AstarosaWhere stories live. Discover now