PROLOG

229 27 0
                                        

Cacing menggeliat, mencari celah dalam intesitas cepat saat air mengguyur membasahi tanah. Sama seperti itu pula pikiranku, menggeliat, membucah hingga kematian begitu memeras darahku habis-habisan.

Kerongkonganku terasa terbakar, tubuhku berkedut nyeri, perih. Sesuatu telah menancap perutku. Aku bisa merasakannya saat bernapas. Berat. Mengganjal dan basah.

Siapa di sana? Bayang-bayang apa itu? Apakah itu malaikat? Aku menutup mataku dan membukanya kembali, kelopak mataku berat. Aku melihat darah di sekitaran bulu mataku.

Mengalir...
Mengalir...
Mengalir...

Dan menetes ke sebelah pipiku.

Aku tidak tahu, apakah aku akan diberi sebuah jaminan hidup kembali jika aku menutup mataku dan membiarkan rasa kantukku menyerang atau bertahan selama yang aku bisa dengan serangan bertubi-tubi pada tubuhku. Apa pun akan kulakukan untuk mendapatkan lima menit berharga, memutar kembali semuanya dan mengingat mereka.

Mataku terpejam, namun aku masih dapat mendengar suara derap langkah kaki yang berlari mendekat. Lalu derap langkah itu berpacu semakin lambat dan memudar sama seperti degup jantungku. Dentaman keras terdengar di telingaku disusul suara lain. Apa itu malaikat?

“Nona! Nona! Bangunlah!”

Itu bukan malaikat.

MEMORY TRACEWhere stories live. Discover now