Mereka berdua terlihat salah tingkah.

Aku memutuskan untuk kembali ke rumah saja. "Sorry, ganggu."

"Ta, tunggu," panggil Jingga sambil mengejarku.

"Ta, kok lo langsung pergi gitu aja?" Jingga menahan lenganku.

"Ya terus gue harus apa Dee? Gue gak mau ganggu waktu lo berdua."

Raut wajah Jingga terlihat panik. "Gue sama Ketan gak ada apa-apa kok."

Lho, kenapa Jingga bisa berpikiran ke arah sana?

"Maksudnya? Gue gak berpikiran lo ada apa-apa sama Ketan, cuma gue gak tahu aja kalo kalian udah sedeket ini. Anak satu sekolah gak ada yang pernah lo ajak masuk ke kamar kecuali gue dan Yura. Jadi wondering aja sih gue," sahutku santai.

"Ini semua gak sama seperti yang lo pikirin Ta," ucap Jingga lagi.

"Yaudah lo temenin Ketan, gue pulang," aku meminta Jingga untuk menemani Ketan yang tadi terlihat sedang menangis.

Ketika aku ingin berjalan keluar dari rumahnya, Jingga kembali memanggilku.

"Claretta, tunggu! Gue sayang dan cinta sama lo Ta," ucap Jingga dengan tegas dan sedetik kemudian ia langsung mencium bibirku ketika aku menoleh ke arahnya.

Deg... jantungku kali ini benar-benar berdebar lebih keras.

Ciuman ini rasanya berbeda dari ciuman kami di mobil malam itu.

Aku memundurkan sedikit tubuhku. "Dee?"

Jingga juga melakukan hal yang sama. "Eh, sorry Ta."

Kami berdua sama-sama memegang bibir masing-masing lalu menatap satu sama lain.

"Gue, balik dulu aja ya ke rumah," ijinku pamit.

"Iya Ta, gue juga ke kamar lagi ya temuin Ketan," sahutnya.

"Okay."

Aku kembali ke rumah dan duduk lagi di halaman belakang sambil memandangi langit malam ini.

Jingga, jika aku boleh jujur, ciuman tadi rasanya nyaman sekali. Dan aku masih saja memegang bibirku sambil mengingat kejadian barusan. Kalau di antara kami tumbuh perasaan lebih dari seorang sahabat, apa yang akan terjadi nanti? Dan Tania, bagimana perasaan dia jika mengetahui isi hatiku dan tentang janjiku itu dengan sepupunya sendiri.

"Retta..." tiba-tiba saja terdengar suara Jingga.

Aku menoleh. "Tania udah pulang?" tanyaku.

"Udah barusan. Lo kenapa jadi gelisah gitu sih? Apa yang lo sembunyiin dari gue Ta?" tanya Jingga.

Dari dulu aku memang paling tidak bisa berbohong padanya, kecuali tentang janji itu.

Akhirnya aku menjelaskan ke Jingga tentang beban pikiranku, namun tidak secara detail untuk mengenai janji itu.

Sampai pada Jingga bertanya padaku tentang perasaanku.

"Perasaan lo ke Ketan gimana?" tanyanya.

"Cuma lo yang bisa bikin gue nyaman," jawabku. Dan memang benar, aku menyadari kalau sampai detik ini hanya sosok Jingga yang bisa membuatku nyaman menjadi diriku sendiri di hadapannya.

"Gue gak ngerti maksud lo Ta."

"Someday you will get it."

Jingga terlihat tidak puas dengan jawabanku. "Hemm, okay."

Aku tersenyum.

"Oh iya Dee, tadi kenapa Tania nangis?"

"Someday you will know it," dia membalas perkataanku.

Aku menghela nafas. "Masih karena Ajeng?"

Tiba-tiba aku kepikiran cerita Jingga tentang Tania yang dijahili lagi sama senior-senior gila itu sampai lutut Tania terluka.

"Oh bukan karena itu kok."

"Emmm, Tania tau tentang hubungan lo dan Ajeng?"

"Engga, cuma lo yang tau Ta."

"Jadi Ajeng gak akan gangguin Tania lagi ya?"

"Yaaa, kayaknya sih. Dia pasti takut karena proyek bokapnya dia kan lagi di-review sama Papa. Dan lo tahu kan Ta, sekali gue bilang A ke Papa, pasti Papa bakal nurutin gue..." Jingga menghela nafas.

"Sebenernya sih gue gak mau pake cara ancem-anceman kerjaan orangtua ya. Cuma gue jengah aja sama kelakuannya si Ajeng ke Ketan. Biarin deh, biar dia kapok sekali-kali karena nge-bully junior."

Aku tersenyum bangga ke Jingga. "Lo emang selalu bisa diandelin Dee."

Obrolan kami kembali santai dan aku jadi penasaran kenapa Jingga berani menciumku tadi.

"By the way, lo tadi kenapa nyium gue di rumah deh? Kalo ada yang lihat gimana?" tanyaku sok santai, padahal aku ingin tahu sekali alasannya.

"Rumah gue lagi sepi kok, cuma ada si Mbak dan Ketan doang," jawabnya.

Aku berpikir sejenak. "Kalo tadi Ketan lihat gimana?"

Jingga terlihat baru menyadari sesuatu. "Oh My God, gue gak kepikiran ke sana. Gimana dong Ta? Gue gak enak banget sama Ketan."

"Gue harus ngomong sih sama Ketan," ucapku. Setidaknya Ketan harus tahu kenapa aku terlihat tidak peduli dengan ciuman kami waktu itu.

Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung menuju ke rumah Tania.

Sesampainya di sana, Bunda Tania mempersialakanku masuk ke dalam kamar Tania.

Tania membukakan kamarnya dengan mata sembab serta air mata yang masih membasahi wajahnya.

Dia pasti tadi melihat aku dan Jingga berciuman.

"Kamu abis nangis?"

"Kenapa Kak?"

"Kenapa?"

"Iya, kenapa?"

"Kenapa apa Tan?"

Tania terlihat sangat berusaha menenangkan dirinya.

"Kenapa aku punya perasaan kayak gini ke kakak? Kenapa kakak terlalu baik sama aku? Kenapa seakan-akan kakak punya perasaan lebih ke aku?" Tania sudah tidak bisa lagi membendung tangisnya.

"Maafin aku Tan," ucapku lalu menjelaskan padanya kalau aku tidak bisa membalas perasaannya karena suatu hal.

Tania pun beranggapan kalau aku lebih memilih Jingga. Lalu aku menjelaskan padanya kalau aku tidak memilih siapapun.

Tania terlihat kecewa dan sepetinya belum bisa menerima penjelasanku.

Untuk ke sekian kali, aku membuatnya menangis. Aku menyakiti Tania, juga Jingga, hingga Gista.

I'm the worst person. I hate to be me in this kind of situation.

Aku gak pernah mau menyakiti perasaan seseorang, membuat hatinya terluka, bahkan menjadikan dirinya membenciku.

Maafkan aku Tan, Dee, dan Gista.

I deserve to be hated.

Reminisce 1.5Where stories live. Discover now