32 | the truth, but not the whole truth

Start from the beginning
                                    

---

Pukul delapan malam adalah waktu yang sangat terlambat untuk makan malam, jadi, ya, detik ini aku sedang menghabiskan makan malamku; spaghetti. Seth, Mom dan Dad berada di ruang televisi, menonton acara Family Freud yang dibintangi Michael West atau siapa namanya aku benar-benar tidak bisa mengingatnya, sial. Ketika spaghetti di piringku sudah habis, aku membawanya ke dapur lalu meletakkannya di wastafel dan ya, tentu saja tidak kucuci. Selanjutnya aku menuju ruang televisi, duduk di samping Seth, ikut menyaksikan apa yang mereka tonton (yang sebenarnya sangat kubenci setengah mati). Lalu karena mengantuk kebosanan padahal baru sepuluh menit aku di sana, kuputuskan naik ke kamar.

Aku menyalakan lampu utama kamar karena tidak ada yang bisa kulihat ketika semuanya redup. Keheranan langsung melingkupi benakku begitu kudapati jendela kamarku terbuka seluruhnya, dengan gorden yang beterbangan tertiup angin. Astaga, langsung cepat-cepat kuambil tongkat pemukul baseball lamaku yang tersandar di sisi tembok dekat pintu. Tanganku mempraktekkan melayang-layangkannya di udara untuk latihanku kalau-kalau maling tiba-tiba menyerangku nantinya. Kukelilingi ruangan kamarku, mencari-cari celah di lemari; kuduga kira-kira ada sesuatu yang mencurigakan, namun tidak ada.

Pokoknya aku harus tetap waspada meskipun tidak ada apa pun. Aku langsung berlari keluar kamar (dengan tongkat baseball masih di tangan) menuju tangga, menuruni tangga dengan cekatan sambil berniat menghampiri Dad untuk memberitahunya bahwa ada seseorang yang menyelinap kamarku.

"Dad, jendelaku terbuka. Apakah di antara kalian ada yang sengaja membukanya?" Semuanya menggeleng dan aku langsung berbisik, "Aku takut itu maling."

Raut wajah Dad berubah geram seketika. Aku tahu ia benar-benar ingin melakukan sesuatu. Cepat-cepat Dad melangkah ke arahku, langsung merebut paksa tongkat baseball dari tanganku. Sial, lalu peganganku apa?

"Kalian berpencar, cari orang itu!" Dad berlari ke arah tangga lalu menaikinya, kurasa ia menuju ke kamar Mom dan Dad, atau Seth.

"Jason jangan diam saja!" Mom membentakku ketika ternyata aku malah mematung di tempat sambil mengamati punggung Dad yang menghilang di balik belokan tangga. Aku gelagapan, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi atau yang sudah terjadi. Seth sudah ikut naik ke lantai atas mengikuti Dad begitu Mom membentakku sementara aku masih mematung. Lalu, Mom menggeretku ke dapur dan kami berdua mengeceknya. Bodoh sekali, memangnya, maling mau mencuri apa di dapur? Aku langsung mengajak Mom ke garasi kalau-kalau malingnya sedang melucuti mobil kami untuk dibawa pergi atau sepedaku untuk diambil diam-diam.

Tidak ada apa pun di garasi. Bahkan meskipun aku dan Mom sudah mengeceknya berulang kali, kendaraan kami masih sepenuhnya utuh, tidak ada yang hilang. Barang-barang di garasi juga tetap pada tempatnya karena aku hafal persis di mana seharusnya barang-barang berada.

Dad memanggil-manggil kami dari ruang televisi. Begitu aku dan Mom ke sana, katanya Dad tidak menemukan apa pun, dan semuanya masih utuh; perhiasan dan barang berharga masih pada tempatnya. Kami sempat berpandangan bingung satu sama lain sebelum akhirnya kusadari Mom dan Dad menatapku tajam.

"Apa?" tanyaku bingung, menggeleng. "Aku benar-benar serius, Mom, Dad, jendela kamarku terbuka sepenuhnya. Aku tidak mengada-ada, serius."

Tepat setelahnya, Seth muncul dari atas lalu berteriak di tengah tangga, "Jason, Jason!" panggilnya, "Kau harus ke sini, cepatlah! Aku menemukan sesuatu."

Aku mengikutinya ke atas dan begitu sampai di atas, Seth terbirit-birit menuju ke meja belajarku, mengambil sesuatu di sana, lalu menyerahkannya padaku.

Itu secarik kertas. Ada tulisan tangannya. Astaga, aku mengenali tulisannya—lengkungan naik turunnya yang familier serta bagaimana ciri-ciri khusus kertas itu sendiri.

Ten Rumors about the Mute GirlWhere stories live. Discover now