31 | me, and the sun, and the girl-who-will-go to reach her dream

Start from the beginning
                                    

"Jadi, kau orang berjiwa seni, ya?" Aku berusaha terkekeh seolah itu adalah sesuatu yang lucu padahal sebenarnya tidak sama sekali. "Apa impian terbesarmu?"

Penulis, pelukis? Seniman? begitu tulisnya, dan kurasa itu lebih seperti bertanya balik oadaku alih-alih menjawab pertanyaanku.

"Kurasa kau lebih baik menjadi segalanya," Aku tersenyum, dan kuharap, itu berarti baginya. "Ya, semuanya. Jadilah apa pun yang kau mau. Selama kau masih hidup."

Tulisnya, entahlah. Banyak alasan membuatku bimbang akan masa depan.

"Salah satunya?" tanyaku, heran.

Aku, tulisnya lagi.

"Apa yang kau takutkan?" aku mengatakannya sebisaku dengan nada yang terdengar bersahabat sekaligus memotivasi.

Dan ini, bagian yang mengkhawatirkan. Ia menulis, Diriku yang tidak bisa bicara.

Aku setengah menahan napas karena membacanya lalu mulai bisa menahan diri untuk tidak terlihat kasihan padanya, "Baiklah, lalu, buat dirimu bisa bicara." Aku tersenyum, namun Julia memberiku tatapan kebingungan setengah sendu. "Buat dirimu bicara, dengan puisi-puisimu, dan goresan lukisanmu." Aku tersenyum lagi, seolah aku benar-benar terkena penyakit gila sejenis senyam-senyum sendiri di depan seorang gadis. "Apa kau pernah mencoba mengirimkan mereka? Ke penerbit?"

Julia menggeleng, dan itu berarti tidak. Aku tahu, aku tahu itu. Mungkin rasanya sulit baginya untuk berambisi disamping kenyataan bahwa dirinya adalah seorang yang tuna wicara. Sulit sekali, aku tahu.

Mendadak aku kehabisan obrolan ketika tiba-tiba Julia menyodorkan secarik kertas yang telah disobeknya, untukku. Aku sempat berpikiran kurasa ia menghabiskan berlembar-lembar untuk sekadar percakapan tidak penting kami selama ini. Aku membacanya, dan, itu indah sekali. Kalimatnya, puisi Julia yang pertama kali kubaca.

khawatir,
banyak emosi
ranting dan daun-daun
memandangi diriku
seolah mereka tertawa
dan bisa bicara

Aku langsung memujinya, "Indah. Tidak perlu majas untuk memperindahnya, itu sudah sangat keren untuk dibandingkan denganku yang tidak bisa apa-apa. Julia, kurasa kau memang harus menjadi segalanya. Apa yang kau inginkan." Julia tersenyum, menunduk mengamati jemarinya. Aku tahu ia pasti merona karenanya. "Lalu, apa alasan lainnya? Alasan lain kenapa engkau ragu untuk bermimpi?"

Kau, tulisnya.

"Aku?"

Aku takut tidak akan menemukan tetangga seperti kau lagi.

Sejenak aku tersipu yang mana kusembunyikan. Cepat-cepat kusingkirkan pikiran menjijikkanku tentang cinta yang bodoh dan harapan-harapan. Julia mungkin hanya berkata sebagai sebatas tetangga saja yang besok akan pindah, tidak lebih.

"Apa kau mulai kedinginan?" tanyaku setelah beberapa saat. Julia menggeleng tegas dan kujawab baiklah dan setelahnya kami hanya akan terus menyaksikan semburat oren di cakrawala di depan kami. Matahari masih belum sepenuhnya menghilang; kurasa masih ada waktu sekitar lima menit untuk menyaksikannya benar-benar lenyap di balik perkotaan hingga gelap. Kurasakan jemari mungil Julia menyentuh lenganku dan aku menoleh setelahnya. "Ada apa?" tanyaku dengan memasang kekhawatiran dalam wajahku, takut kalau-kalau Julia ternyata sudah mulai benar-benar kedinginan seperti yang kukatakan beberapa menit yang lalu.

Gadis itu menggeleng, lalu tersenyum. Aku pasti kelihatan sangat heran di matanya karena kemudian Julia menuliskan sesuatu di buku kecilnya selama beberapa detik hingga setelahnya diberikan kepadaku.

Aku tidak ingin pulang, Jason.

Aku membacanya, dan kupikir maksud Julia adalah gadis itu tidak mau pulang buru-buru sekarang. Jadi, ya, "Tenang saja, aku juga belum mau pulang," kataku, disertai seringaian kecil.

Julia bukannya membalasku dengan tersenyum atau sejenisnya, justru ia malah memberiku tatapan dongkol seolah aku berbuat kesalahan yang menjengkelkan. Namun sedetik kemudian, wajahnya berubah memelas, seperti memohon-aku tidak tahu, aku tidak paham, oh sial. Lalu, Julia menulis lagi. Astaga, kurasa aku benar-benar orang bodoh sialan. Tidak mengerti seorang gadis.

Ketika kubaca tulisannya, aku melihat sesuatu di sana—seperti kemarahan yang ditulis dalam huruf kapital namun dengan kata-kata yang halus. A-aku tidak paham artinya...

AKU ... BENAR-BENAR TIDAK INGIN KEMBALI...

Apakah itu berarti ... "K-kau tidak ingin kembali ke negaramu?" tanyaku setelahnya.

Dan, astaga, Julia mengangguk. Seolah penuh keyakinan atas segalanya. Apa maksudnya? "K-kenapa?"

Di sana tidak ada yang lucu, yang keren seperti dirimu...

Aku selesai membacanya, dan sial, kurasa kali ini aku benar-benar terlihat tersanjung karenanya. Aku dan Julia bertatapan selama lima detik, hampir-hampir tidak berpaling ke arah apa pun. Dan kurasa, aku mulai sedikit berani. Melakukan kemajuan. Sebagai seorang lelaki, pada umumnya.

Aku menciumnya, di bibir. Sesaat aku sempat berhenti dan mundur karena ragu. Namun, Julia memutuskan menutup mata, lalu aku benar-benar tenggelam bersamanya saat matahari juga terbenam. []

 []

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Ten Rumors about the Mute GirlWhere stories live. Discover now