30 | a ticket, to Iceland

Start from the beginning
                                    

Hingga akhirnya, kutemukan secarik kertas di atas sebuah kardus yang ukurannya paling kecil dari yang lain, terletak di samping pintu masuk. Kertas putih, kertas itu yang paling menonjol di antara kardus-kardus yang warnanya hanya serba cokelat muda dan agak tua. Aku tertarik untuk melihat apakah tulisannya begitu penting hingga sengaja diletakkan atau hanya sekadar kertas yang tidak sengaja tercecer di situ.

Aku terlampau percaya diri untuk membaca apa isinya hingga ruangan berujung senyap setelahnya. Telingaku bisa mendengar jantungku berdetak, begitu cepat dan nyaring hingga aku bertanya-tanya apakah yang kubaca ini benar-benar sebuah tiket keberangkatan pesawat ke Islandia atau bukan. Aku hampir-hampir tidak percaya dengan kertas ini. Otot jemariku bahkan mulai bergetar, lalu setelahnya lemas dan kurasa aku mulai butuh udara segar untuk bernapas.

Satu tiket... keberangkatannya besok pagi... ke Islandia... dan, apa lagi? Siapa yang akan pergi? Apakah... Julia akan... pergi? Bahkan setelah belakangan ini semuanya mulai baik-baik saja?

"Apa yang kau lakukan di sini?!" Oh tidak lagi... Nyonya Carpenter. Berdiri. Tiba-tiba. Di hadapanku. Aku bergeser—dengan tiket itu masih berada di tanganku—menjauhi kardus di sampingku, berharap tidak ada apa-apa sekarang namun yang kudapati malah kardus yang lainnya, lebar dan padat. Aku hampir-hampir terhuyung karenanya terlebih lagi keringat dingin mulai mengaliri punggungku karena di ambang pintu Nyonya Carpenter menyorotiku tajam. Oh, sialan, kenapa wanita itu tiba-tiba muncul, sih? "Apa yang kau lakukan—tiba-tiba—di sini?!" tanyanya lagi. "Dan, kau mengambil tiketnya!" tuduh Nyonya Carpenter seketika yang membuatku refleks melirik sesuatu di tanganku—tiketnya.

Tidak. Aku tahu ini bodoh. Tindakanku menyelinap ke sini sedari awal memang sebuah kesalahan dan aku sudah sepantasnya meminta maaf. Maka kusempatkan meminta maaf terlebih dulu pada wanita itu. Kujabarkan semua kesalahanku, kelancanganku, ketidaksopananku selama ini yang selalu mengendap masuk rumah keluarga mereka. Namun tetap saja, ekspresi di wajah Nyonya Carpenter tidak bisa kusimpulkan ia langsung memaafkanku begitu mudahnya.

Kukatakan, "Saya hanya bermaksud menjadi teman Julia, tidak lebih. Dan apakah itu salah?!" Kusadari nada bicaraku yang satu oktaf lebih tinggi dari biasanya. Tidak, aku tidak boleh lemah. Mungkin benar apa kata Mom soal diriku yang seperti anak gadis, tapi, aku Jason, dan tetap akan menjadi Jason apa pun keadaannya. Semburat emosional muncul melewati celah-celah mataku dan kuyakin Nyonya Carpenter melihatnya. Entah karena apa kenapa aku tiba-tiba merasa terlalu berani.

Ya, apa salahnya memberontak? Aku laki-laki, dan untuk pertama kalinya, kucoba menentang, oke, jangan cemen, jangan seperti anak perempuan...

Kutarik napas, dan, "Nyonya Carpenter," kuhembuskan napasku perlahan, lalu kuhirup udara sebanyak-banyaknya, dan setelahnya, kucoba menstabilkan gelombang suaraku, "Maafkan saya sekali lagi, tapi tolong, apa maksud tiket ini?"

Dan setelahnya, hening. Aku tidak melakukan pergerakan apa pun begitu juga dengan Nyonya Carpenter. Sejurus setelahnya, aku mendengar wanita itu mulai menjelaskan sesuatu kepadaku dengan nada yang coba ia rendahkan, "Kami akan pergi, Jason. Sudah tidak ada tempat di Amerika."

"M-maksud anda?"

"Aku sudah lelah lari dari masalah. Tidak ada tempat yang benar-benar seperti rumah bagiku dan Julia. Kami diburu setiap minggu, oleh petugas imigrasi Amerika." Lamat-lamat, isakan-isakan Nyonya Carpenter terdengar seiring detik berjalan, seolah memang itulah seharusnya yang ia sesali, seolah wanita itu benar-benar merasakan sesuatu yang amat pedih, tapi aku tidak tahu itu apa. Punggungnya kini bersandar di gawang pintu, kemudian melanjutkan, "Kami imigran gelap, Jason. Imigran gelap!" Namun, tangisnya belum berada di puncak kesedihan. Aku yakin sekali Nyonya Carpenter masih ingin lanjut bicara karena wajahnya masih terus menatapku. Tajamnya sorotan yang tadi ia luncurkan ke arahku sontak meluntur dan berganti dengan kerlingan nanar seolah meminta belas kasihan terhadap seseorang—terhadapku. Aku masih menunggunya bicara melanjutkan, dengan tiket yang masih kupengang dengan gemetar.

Ten Rumors about the Mute GirlWhere stories live. Discover now