28 | she said she really sorry for her father

Start from the beginning
                                    

"Hai," sapaku singkat, sementara itu Julia hanya membalas dengan senyuman kecil. Cukup kaget diriku tatkala mendapati bibirnya yang begitu putih dan kering seolah-olah Julia memang benar-benar sakit.

Aku menyunggingkan seulas senyum dengan rentetan gigi putihku sewaktu Julia memberikan gestur tubuh silakan masuk untukku. Langsung saja aku masuk, dan dalam sekejap, begitu Julia menutup pintu (namun tidak sepenuhnya rapat) suasana ruangan begitu senyap, seolah benar-benar tidak ada apa-apa di sini. Hanya ada aku dan Julia, dan kami seolah mematung di tempat masing-masing. Aku masih tersenyum seolah wajahku sudah rusak. Aku tidak bisa menghentikannya karena rasa kecanggungan sudah mulai menyelimuti kami.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanyaku.

Julia memainkan jemarinya perlahan tapi pasti. Meskipun aku tidak paham betul apa maksudnya, namun kuyakin itu maksudnya adalah dia baik-baik saja, atau mungkin, dia sudah lebih baik dari kemarin, dan kalimat-kalimat lain semacamnya yang mendeskripsikan bahwa gadis itu sudah dalam keadaan sehat.

Aku mendekati meja belajar dimana di situ terdapat kursi yang lantas kududuki kemudian. Julia mendekati tempat tidur busa miliknya sebelum akhirnya mendarat dengan menghempaskan tubuh mungilnya. Helaian rambut panjang cokelatnya bergerak-gerak seiring dengan guncangan kecil tubuhnya yang melambung akibat tempat tidur berbahan busa itu terlampau empuk dan nyaman untuk diduduki, Julia dan aku sempat bertukar pandang meskipun aku tahu ini adalah adegan paling menjijikan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

Kuamati pergerakan Julia yang sekonyong-konyong mendekatiku, perlahan dan perlahan menuju tempatku duduk. Tubuhku seketika mematung. Degup jantungku mulai berkejar-kejaran dengan detak jam di dinding. Astaga, tidak, ini tidak boleh terjadi... Apakah Julia akan melakukan itu—kenapa cepat sekali?

Dan dalam waktu satu detik, wajah Julia mendekati wajahku. Hanya saja, sorot matanya tidak mengarah ke arah bibirku. Sial, tidak. Bodoh sekali otakku. Gadis itu rupanya hanya ingin mengambil buku catatan kecil yang berada di atas meja belajar (di mana aku sialnya sedari tadi membelakanginya). Tolol sekali... Baiklah, kalau begitu, aku tidak akan berharap akan kemungkinan-kemungkinan kecil semacam ini lagi lain kali. Dan sepertinya memang tidak akan pernah terjadi. Ah, lupakan!

Kudapati tangan Julia sibuk menggoreskan tinta hitam di permukaan kertas catatan kecilnya yang kemudian disobek kertas itu sebelum akhirnya disodorkan ke arahku. Aku menerimanya dalam satu tarikan napas, lalu kubatin kalimat-kalimat yang tertulis di sana. Dokter bilang aku kena tifus. Dan kau tahu apa yang bisa membuatku pulang dalam waktu empat hari? Aku menghabiskan enam botol infus! Aku membaca tulisan tangan Julia sambil tertawa karena hei, rupanya Julia punya selera humor yang tidak buruk.

"Sungguh? Kau habiskan enam botol?" tanyaku antusias. Julia mengangguk tegas sambil tersenyum penuh arti.

Gadis itu duduk di tempat tidur, lalu menulis lagi. Kakiku beranjak dari kursi dan mendekati Julia. Niatku adalah mengintip apa yang dia tulis, dan rupanya, dia menulis...

Aku suntuk di rumah terus tapi Ibu pasti melarang pergi.

Julia bosan di rumah, begitu tulisnya. Ah, tentu saja dia cepat bosan. Gadis itu 'kan jarang berkeliaran ke luar bahkan unuk sekadar mencari udara segar. Dalam sekelebat, entah dari mana otakku ini bisa berpikir konyol karena aku malah berkata, "Bagaimana jika besok kita jalan-jalan?" tawarku dengan memasang muka ayolah, ini pasti menyenangkan! Julia cemberut karena melihatku berkata seolah Ibunya mengizinkan hal konyol seperti ini. Lanjutku, "Ah, tidak. Maksudku, tentu saja bukan berdua. Kita bisa mengajak Penelope dan adikku Seth. Mereka berdua mungkin terlampau muak dengan sekolah sehingga aku hanya bisa melihat wajah mereka yang terus-terusan lesu."

Aku juga menambahkan bahwa, Julian mungkin akan ikut serta karena anak itu sekarang adalah pacar Penelope, dan, di mana ada Penelope, di situ ada Julian. Serta, kemungkinan kami tidak akan repot-repot mengayuh pedal sepeda untuk sampai ujung dunia karena Julian bermobil—maksudku, dia punya mobil sungguhan, miliknya sendiri. Dan karena Julian punya mobil, mungkin Ibu Julia akan mengizinkan kami mengingat Julia yang tidak boleh kelelahan karena gadis itu sedang dalam masa pemulihan. Julia mengangguk bersemangat tatkala aku selesai dengan pembicaraanku. Oh, sial, aku terlalu bersemangat dalam mengambil kesimpulan bahwa ini akan sangat menyenangkan.

Aku pamit pulang ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul lima lebih seperempat. Julia yang menyadari keterburuanku untuk pulang, tiba-tiba menyongsongku sewaktu kakiku sudah sampai di ambang pintu kamar dan hendak keluar. Kurasakan tangan kanan Julia tiba-tiba menggenggam tanganku. Jika kurasakan lebih dalam lagi, rasanya lembut sekaligus menjijikkan (menjijikkan karena memang pasalnya demikianlah pikiran-pikiranku tiba-tiba berubah kotor). Namun, genggaman jemari Julia rupanya tidak benar-benar bermaksud untuk menggaet jemariku karena kusadari, ternyata gadis itu hanya bermaksud meninggalkan selipat kertas catatan di tanganku. Aku tidak sempat untuk membuka dan membacanya dalam hati karena langkahku terlampau bersemangat untuk pulang, sementara itu aku takut jika Nyonya Carpenter melihatku bersama Julia (dalam waktu yang cukup lama).

---

Aku baru akan menaiki tangga menuju kamarku di lantai atas ketika tiba-tiba Mom telah berdiri di tengah-tengah persimpangan tangga sambil melipat tangan di depan dada. Sontak saja aku berhenti kala Mom menatapku dengan sorotan mata penuh dongkol. "Dari mana saja kau?" katanya kemudian, ketus dan itu terdengar persis seperti setiap kali Mom benar-benar dalam keadaan marah sejadinya.

Aku terdiam tanpa kalimat apa pun. Aku tahu Mom kesal dan marah padaku, dan kurasa, Mom sudah tahu ke mana kepergianku sore ini tanpa perlu ia bertanya lagi padaku.

Mom terkekeh, dan aku tahu itu sengaja dibuat-buatnya agar terdengar sensasional. "Julia. Kau masih tidak kapok dengan keluarga itu, hah?" Tepat sekali, dan oh astaga, mau sampai kapan Mom begini ya Tuhan...

"Apa yang salah dengan keluarga Julia, Mom? Mereka tetangga kita dan sudah sepantasnya sesama tetangga saling mengunjungi satu sama lain, dan oh, aku sudah lama tidak bertemu Julia semenjak gadis itu—"

"Besok kau hanya akan pulang sekolah lalu tidur, Jason."

"A-apa?!"

"Tidak ada lagi acara berkunjung. Tidak, dan tidak akan."

"Mau sampai kapan Mom seperti ini?" tanyaku, dan sungguh, rasanya aku ingin merengek di hadapan Mom.

Aku bisa melihat seringaian kecil di bibir Mom meski aku berada kurang lebih dua meter dari tempatnya berdiri di atasku. Mom bilang, "Sampai mereka dideportasi. Sekarang cepatlah mandi dan masuk kamar atau hukumanmu kutambah, Jason—dan oh, kau bau."

Mom turun melangkah satu tangga demi tangga sebelum akhirnya melewatiku. Tepat ketika Mom telah menghilang dari pandanganku, aku teringat lipatan kertas di tangan—yang diselipkan Julia tadi. Begitu kubuka lipatannya, langsung kudapati goresan tinta di permukaan kertasnya.

Aku sungguh minta maaf atas perbuatan ayahku, hanya itu. Dan memang hanya itu tulisannya. []

 []

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Ten Rumors about the Mute GirlWhere stories live. Discover now