Kepiluan dan kabar gembira

Comincia dall'inizio
                                    

     Sudah ya, Dira. Maafkan jika tulisanku jelek. Kau tahu sendiri, 'kan kalau aku sudah lama tidak menulis? Tidak sepertimu yang suka menulis puisi untukku. Hayo, kau ketahuan, Dira! Jangan pernah memarahiku soal ini, ya. Maafkan aku yang sudah lancang membuka buku puisimu itu. Kau memang penyair handal dan tentu saja kau sangat berbakat. Kau perempuan multitalenta. I'm proud of you! Eh, begitu tulisannya, 'kan? Ah, sepertinya Tuhan sudah tak sabar ingin menjemputku. Maafkan aku yang terlalu sering membuatmu kesal, Dira.

     Maaf juga bila aku terlalu bertele-tele. Aku hanya ingin kau menyimpan kertas ini. Ini kenang-kenangan terakhir dariku. Dan jangan lupa jaga kalung liontin persahabatan kita, ya! Kau akan selamanya tetap berada di hatiku. Aku tak bisa berbicara kau akan tetap berada di hatiku sampai maut memisahkan kita. Karena nyatanya kita sudah berbeda alam, bukan? Ah, kau tidak boleh banyak mengeluh ya, Dira. Banyak yang masih ingin hidup sepertimu. Kau wanita unik! Sungguh aku tak bisa melupakanmu sedetik saja! Jangan lupakan kenangan konyol ketika kita bersama ya, Dira. Aku benar-benar menyayangi gadis mungil yang sedang membaca surat ini.

     Oh iya, jangan lupa tinggikan badanmu ya, Dira, wleee!

From your best friend, Si Tampan Tere.

Aku merengkuh, memeluk secarik kertas yang ditulis Tere itu. Air mataku sudah memenuhi permukaan wajahku. Kenapa perpisahan harus sesakit ini? Kemarin Kakak, sekarang Tere. Kumohon jangan rebut siapa-siapa lagi, Ya Allah.

Kupegang kalung liontin yang masih berada di leherku. Aku mengelusnya, memeluknya, dan menggenggamnya erat-erat seakan kalung itu adalah Tere yang sama sekali tak boleh pergi dari hidupku.

"TERE! KU MOHON KEMBALILAH WHUAAA .... MAMAH, hiks ...." Aku menangis sejadi-jadinya.

"TERE, AKU MENYAYANGIMU! JANGAN TINGGALKAN AKU, hiks..." Aku berteriak sekencang-kencangnya, berusaha menyiratkan rasa pilu yang semakin dalam. Rambutku kini seperti tak ada bentukannya lagi.

Prang ... trak ... prak ....

Semua peralatan di meja belajar, kuhamparkan ke lantai. Tak peduli dengan keadaan kamar yang hampir mirip kapal pecah.

Prang ... sret . ..

Aku merobek kertas yang biasa kusediakan untuk mesin printerku. Setelah itu kuhamburkan bak orang kesetanan. Kutarik semua selimut dan seprai yang berada rapih di atas tempat tidurku.

"TERE, K–KU MOHON KEMBALI, hiks ... Aaaa!" Teriakanku berhasil menggelegar ke seluruh ruangan kamar.

Ceklek ....

Pintu kamarku terbuka, menampilkan sosok perempuan yang setia menemaniku sedari aku masih dikandungnya. "Astaghfirullah, kau kenapa, Dira?" tanyanya sembari memelukku.

Aku Masih memberontak. Mamah berusaha memelukku lebih erat. "Istighfar! Ikuti Mamah! Astaghfirullahaladzim." Mamah menuntunku secara perlahan.

"A-astaghfirullahaladzim, hiks." Aku mengikuti perintahnya.

Emosi dan hatiku perlahan mulai dapat dikendalikan.

"Tenangkan dirimu, Dira!" perintahnya sembari membenarkan rambutku yang berantakan. "Lantunkan dzikir di hatimu."

Aku terus menyebutkan asma Allah sembari memegangi dada kuat-kuat. Setelah dirasa lebih tenang, Mamah mulai menatapku.

"Kau ini kenapa, Dira? Apakah ada masalah dengan sekolah barumu? Ceritakan pada Mamah!" Ia mengecup keningku untuk terus memberikan rasa tenang di hati.

"T–tere, Mah, hiks .... " Mulutku terbata dengan bibi yang masih bergetar karena sesenggukan hebat yang kualami.

"Dira, ceritakan! Jangan menangis. Coba ceritakan perlahan, ya!" bimbingnya sembari memelukku hangat.

Bisikan Mereka ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora