"Kenapa emangnya?"

"Pantes pelit. Pelit senyum."

Aku otomatis tersenyum mendengarnya.

"Jeh acong, digituin aja baru senyum."

"Apaan sih? Zhong itu bacanya Chung bukan Cong, Nadir."

"Eh tau?" Ia menegakkan posisi duduknya.

Aku mengerutkan dahiku bingung, "Tau apa?"

"Nama saya."

"Nadir Jose Prasetya kan?" Tanyaku memastikan.

"Iya. Panggil aja Jisung."

"Kok bisa Jisung? Ada keturunan Korea?"

Nadir atau Jisung atau apapun namanya tertawa kecil, "Keturunan poseidon kali."

Aku memutar bola mataku, "Ga mungkin. Itu kan cuma di fiksi."

"Dari Blitar saya mah."

Aku mengangguk saja walaupun tidak percaya.

"Terus nama Jisungnya gimana bisa?"

Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak, "Dulu pas kecil gigi saya gingsul. Ada temen saya. Anaknya ga pintar, ga bisa nyebut gingsul. Dia nyebutnya Jisung. Ya udah deh jadi melekat nama itu."

"Ih lucu." Aku otomatis tersenyum.

"Dia nyebut doyan aja dewan. Emang dikira Dewan Permusyawaratan Daerah."

"Dewan Perwakilan Daerah!" Aku tertawa.

Nadir menjentikkan darinya, "Oh iya. Itu."

Obrolan tidak bermakna namun dapat menjadi pelipur lara. Sampai akhirnya bel berbunyi pertanda pelajaran telah berakhir. Tetapi aku dan Nadir tetap setia bertengger di atap menikmati dinginnya senja.











Nadir itu baik. Nadir itu luar biasa. Begitulah yang kutahu tentang arti dari kata Nadir, namanya. Dan itu semua benar.

Nadir itu Jisung.












[✓] nadir | jichenNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ