Tersesat di Jalan yang Benar

35 1 0
                                    


Zaman yang disebut "masa depan" hanyalah fiktif belaka. Kini kebanyakan orang fokus berpikir bagaimana cara untuk bertahan hidup saat ini. Faktanya, dari sekian banyak orang tidak mampu menyebutkan cita-citanya. Termasuk anak kecil seusia SD.

Teknologi terus meningkat, semakin menggila. Ilmu pengetahuan terus meningkat luas, sempat aku berpikir untuk mencari ilmu di instasi favorit, ternama. Biarlah biaya mahal, yang penting aku bisa mewujudkan masa depan itu, dan membuktikan bahwa itu bukan hanya fiktif belaka.

Namun semua itu berubah saat orang tua ku mengeluarkan fatwanya. Mereka seolah-olah seperti sosok Tuhan, mengatur skenario kehidupan. Bahkan mereka menjadi orang yang paling benar, dan paling tahu. Semua perintah dan larangannya aku laksanakan tanpa pikir panjang. Tanpa ragu.

Lalu... Tibalah saat mimpi buruk itu dimulai. Di mana masa depan benar-benar hanya fiktif belaka. Perlahan semua itu menjadi nyata. Awalnya aku ingin menjadi dokter. Konyol, itu hanyalah pikiran liarku saat masih SD.

Tapi ini sungguh gila.

Bahkan orang tua ku sudah mengisikan formulir masuk pesantren. Padahal ujian nasional belum juga usai. Andai saja boleh menentang orang tua. Tapi mereka adalah skenario kehidupanku. Bagaimana jika kehidupanku suram karena menentangnya?

Harapanku dihancurkan secara pelan-pelan. Satu per satu keinginanku kena, sampai membuatku berpikir tidak ada lagi yang aku harapkan. Padahal mereka tahu itu. Tapi entahlah.

Semua itu bermula dari...

***

"Kamu sudah lulus SD, setelah ini masuk pondok pesantren", pernyataan ayah memecah keheningan di antara kami.

"Terserahlah, ikut orang tua saja", jawabku tidak terlalu peduli sambil menekan remote TV, mengganti channel bola kesayanganku.

Kedua orang tua ku pernah bersemayam di pondok pesantren. Tidak lama. Namun ketika ada undangan ulumni mereka tidak menghadirinya. Bagi mereka alumni adalah mereka yang berhasil sampai lulus di pesantren. Dan mereka tidak sampai se-hebat itu. Begitulah opini mereka. Aku juga sering diajak ke berbagai majelis pengajian. Walau aku hanya jalan-jalan saat sampai di sana. Memang benar di kampungku hanya ada satu orang yang masuk ke pesantren. Dan aku akan menjadi orang kedua.

Sepertinya mereka berambisi sekali menjadikanku seperti para alumni pesantren yang berhasil. Atau justru mereka merasa gagal di pesantren lalu mengirimkanku menggantikan posisi mereka agar berhasil? Mungkin.

"Pesantren ya? Aku tidak mengerti, bukankan nilai ujianku selalu tinggi? Bahkan aku selalu peringkat satu di kelas", ujarku sambil mematikan TV. Lalu pergi dengan gestur tampak tidak tertarik dengan pembahasan ini.

"Ilmumu tidak akan ada gunanya jika tidak disertai akhlak yang mulia,"

Sontak aku terdiam mendengarnya. Berdiri tegak di depan pintu kamar sembari tangan memegang gagang pintu. Ugh, lantas buat apa aku masuk pesantren? Bukankah di sana aku juga mencari ilmu?

(BERSAMBUNG)

Ini masih prolog, awal cerita ini, heheee...

Keep reading okey? Dan jangan lupa! Vote dan komen kalian aku tunggu...

Salam,

@Ahmad_Sangidu

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 22, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Masa Depan Arah Mana?Where stories live. Discover now