NARRATED, 0.5

95 20 21
                                    

Hari ini adalah hari yang sama dengan hari sebelumnya, hari dimana aku menceritakan "voice colour" bersama teman sekamarku. Aku tidak bisa bercerita karena aku sedang flu saat ini. Sebagai gantinya, aku menyuruh temanku untuk melanjutkannya. Sepertinya, akan ada perubahan gaya cerita, pikirku sesaat.

"Aku akan istirahat dulu", ucapku pada temanku. More namanya.

"Oke, obat flu-nya ada di atas lemari", jawab More dengan santainya sambil membuka laptopku, sesaat sebelum aku merebahkan tubuh dan menarik selimutku.

"Dear?", tanya temanku tiba-tiba.

"Iya?", balasku penasaran.

"Cerita 'voice colour' ini bukan genre fiksi yang ada sihirnya atau apalah itu kan?", More bertanya.

"Iya, memang kenapa?", balasku lagi.

"Kenapa ada kata 'bergabung' di bagian ini?", ucap More sambil menunjuk layar monitor laptopku.

"Benarkah? Berarti aku salah ketik. Seharusnya, huruf keempatnya diganti dengan abjad keseb-",

Belum sempat aku melengkapi kalimatku, tiba-tiba More berlari ke arahku dan membungkam rapat-rapat mulutku dengan tangannya sebelum aku menyelesaikan ucapanku.

"Jangan spoiler PA!", More membentakku.

"Kwamwu ywang swudwah spowilwer PwA", balasku, kesulitan berbicara.

"Baiklah ini cerita selanjutnya,...", ucap More yang masih membungkam mulutku.

"Oyyy!!...Betwulkwan dwulwu twypwo-nya!!", teriakku.

1 menit kemudian..

###

(setelah diralat oleh More)

voice colour chapter 2: yang kulihat

Histeris, itulah hal yang terlintas di pikiran orang awam saat melihat kejadian tiga hari yang lalu. Tepat di depan almamater SMA Karangmanis 4, truk bermuatan batuan besar hilang kendali dikarenakan sopir sedang dalam keadaan mengantuk berat. Ditambah dengan suasana senja yang sudah cukup menjadi alasan kecelakaan itu terjadi.

Peristiwa itu menjadi bahan perbincangan di seluruh kelas, hampir tidak ada yang tidak tahu tentang bagaimana kecelakaan itu terjadi. Di kelas korban itu berasal, suasana menjadi sangat canggung. Tidak terkecuali ketiga teman akrabnya yang menyaksikan sendiri kematian temannya, Edo.

Di sudut ruangan setelah jam pelajaran selesai, hanya Mine dan Erza yang masih tersisa. Mine tetap bersikap biasa, menggoreskan pensil warna di atas buku gambar yang selalu dibawanya ke sekolah belakangan ini. Mine seperti itu bukan karena tidak peduli dengan keadaan sekitarnya, tetapi karena memang seperti itulah sikapnya. Tidak heran jika Erza merasa kesal dengan sikapnya itu. Dan dia pun mengambil tindakan,

"Mine sialan! Bersedihlah atas kematian temanmu!", seketika Erza mendekati Mine dan menarik kerah bajunya dengan paksa hingga membuat beberapa pensil warnanya jatuh tersebar.
"Apa dengan berkabung, Edo akan hidup kembali?", jawab Mine dengan tenang, bahkan melebihi sikap tenang dari biasanya.
"Setidaknya berpura-puralah menangis!", Erza menarik kerah Mine semakin keras dengan wajah merah marahnya.
"Seandainya itu bisa, sudah kulakuan sejak dia masih hidup", jawab Mine memalingkan pandangannya dari Erza. Terlihat Erza sangat kecewa dengan sikap Mine,
"Dan satu hal lagi, aku tidak sedingin apa yang kau pikirkan, sampai membiarkan kematian menghampiri temanku begitu saja", ucap Mine meneruskan perkataannya.
"Apa yang kau bicarakan?!", Erza melepaskan Mine dengan keras hingga membuatnya terjatuh, lalu meninggalkan Mine sendirian di kelas.

Memang benar, dilihat dari sudut manapun, Mine tidak menunjukkan sikap seorang yang sedang bersedih. Namun berbeda dengan hatinya, Mine sangat merasa terpukul atas kematian temannya itu.

Mine mencoba bangkit dan memungut pensil warna yang terjatuh sebelumnya. Dari 5 pensil warna yang terjatuh, dia hanya menemukan 4 buah saja. Hal itu membuat dirinya kebingungan dan harus mencarinya. Di tengah kesibukannya itu, dia mendengar bunyi langkah kaki mendekat, kemudian berhenti, lalu terdengar suara seseorang memanggil namanya, Dani.

"Mine, kau sedang mencari ini?",ujar Dani, mengacungkan pensil warna yang tengah dicari Mine. Dani menghampiri Mine dan memberikan pensil warna itu kepadanya.

Di antara teman-temannya, Dani lah yang cukup akrab dengan Mine setelah Edo. Dia adalah teman bermainnya sejak kecil. Jadi, dia sedikit mengerti apa yang Mine rasakan.

Demi bisa pulang bersama, Dani menunggu Mine sambil memperhatikannya menggambar. Mine pun tidak keberatan dengan hal itu.

"Setiap orang itu memiliki cara tersendiri untuk menggambarkan perasaannya", ucap Dani tiba-tiba. Gerakan pensil Mine terhenti, dia terlihat kebingungan dengan apa yang baru saja Dani katakan.
"Maksudku, kau itu kurang pandai menunjukkan kesedihanmu, benar bukan?", tambah Dani.
"Hmm, kurasa begitu", balas Mine.

Beberapa menit berlalu, pukul 16:12. Mine mulai memasukkan semua peralatan menggambarnya, berkemas dan bergegas untuk pulang.

"Kau sudah mau pulang?", tanya Dani.
"Iya, hari ini aku pulang lebih awal", jawab Mine singkat. Keduanya berjalan berdampingan, menuju gerbang seperti layaknya anak SMA yang tengah pulang sekolah.

"Synesthesia,..."
Itulah yang Mine katakan. Dani merasakan keanehan dari sikap Mine yang tidak biasa. Karena, jarang sekali Mine memulai sebuah pembicaraan. Terlebih lagi, Dani tidak mengerti dengan perkataan Mine itu.
"Kau pernah mendengarnya?", ucap Mine melanjutkan. Dani masih terjebak dalam kebingungan.
"Tidak", kata Dani yang ingin segera mengetahui apa itu synesthesia sebenarnya.

"Tahukah jika 'angka 5' itu kenyal? Dan apakah 'huruf K' berasa manis atau pahit?", tiba-tiba Mine mengatakan hal yang tidak sewajarnya. Dani melambatkan langkah kakinya, tetapi Mine tetap tidak menurunkan kecepatan berjalannya. Sehingga, Dani tertinggal di belakang Mine, Dani mengejar ketertinggalannya dan menepuk pundak Mine.

"Kau baik-baik saja kan, Mine?", ujar Dani sedikit khawatir.
"Benar sekali! 'Mine', kata itu berwarna kuning, sedangkan suaramu berwarna biru laut. Sehingga menjadi hijau muda jika disatukan", ucapan Mine semakin menjadi. Ada yang tidak beres, pikir Dani.

"Kau pasti berpikiran kalau hal ini tidak wajar. Tapi, memang itu yang kulihat dan yang kurasakan", Mine mendadak seperti mendapatkan kesadarannya kembali. Hingga tanpa disadari, mereka sudah melewati gerbang sekolah, dan hendak menyeberang jalan.

"Disini kan?", ucap Dani memecah keheningan.
"Hmm", jawab Mine yang sudah paham sekali merujuk kemana pertanyaan Dani itu.

"Kau tahu? Ada berbagai macam jenis warna. Warna primer, kemudian sekunder, lalu tersier", ujar Mine menjelaskan. Dani hanya mengangguk paham.
"Dari warna-warna itu, ada satu warna yang paling kubenci dalam hidupku", jelas Mine lagi.
"Warna apa itu?", tanya Dani penasaran. Mine menghela napas beberapa saat lalu menegakkan kepalanya ke atas,

"Warna kematian",...

###

"Begitulah bagian kedua dari 'voice colour' berakhir",

"Salam dari More, and bye",..

"Ohya. Dear, dimana chapter ketiga-nya?", tanya More kepadaku yang masih setengah mengantuk.

"Belum dipikirkan", balasku.

"Hah?!!!",

#continued#

story by: Rhytm_
art by: gun_kaiz

PLEAZZE, TINGGALKAN JEJAK BERUPA
VOTE+COMMENT/SHARE

~aku ngga suka kacang soalnya, tapi sukanya kamu. iya, kamu yang menunjukkan diri 😊

NARRATED, (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang