EMPAT BELAS - PAMERAN DAN PEMERAN

Depuis le début
                                    

Beberapa orang hilir-mudik untuk berlari pagi, dan aku masih ingin berlama-lama melihat pemandangan indah sebelum akhirnya Johan memanggilku untuk memasuki ruangan – lebih tepatnya taman yang disulap menjadi ruangan outdoor. 
Densu,Irfan dan Tiara sudah berada didalam ruangan. Berdiri didepan hasil karya mereka – dan juga aku – yang sudah dipajang berderet pada sebuah tembok buatan. Diantara karya kita juga berderet karya-karya yang lainnya. Karya yang tak kalah artistik.

Para tamu undangan mulai memasuki ruangan pameran dengan satu gelas  berisi cairan sampagne ditangannya. Diantara para tamu undangan aku melihat Kanaya yang sedang berbincang dengan seorang lelaki berhidung lancip, sore itu Kanaya tampak memukau.

Kanaya berkeliling melihat karya demi karya yang terpajang. Hingga Kanaya sampai pada stand galeriku. Entah kenapa aku harus salah tingkah ketika beberapa langkah lagi Kanaya sampai di depanku. Johan berjabat tangan dengan Kanaya, berkenalan sekaligus menerangkan satu demi satu karya galeriku. Tiara tampak tidak suka atas kehadiran Kanaya. Kanaya melihatku, aku semakin salah tingkah. Densu yang tepat dibelakangku menghampiri Kanaya ketika Johan menerangkan salah satu foto ke tamu yang lainnya. Densu berkenalan, dan entah aku tidak menyukai hal itu.

Jujur aku tidak tahu apa yang sedang aku lakukan – yang sedang aku alami, yang jelas aku ingin menjelaskan kesemua foto ku namun bibir seperti kelu disengat rasa salah tingkah. Lalu Kanaya menunjuk foto yang tepat dibelakangku, foto siluet seorang perempuan dengan pemandangan senja disebuah laut, Kanaya minta dijelaskan dan Densu tak berani untuk menjelaskan, Densu memilih untuk mundur. Pun demikian dengan Tiara, tidak ada kekuasaan seorang pun untuk menjelaskan karya masterpiece ku.

Foto itu salah satu karyaku yang aku ambil pada senja beberapa tahun yang lalu bersama perempuan yang dulunya aku cintai – pun sekarang aku masih mencintai namun hilang tak terkendali. Hanya aku yang bisa me representasikan foto itu. Walau hanya mengingatnya aku tak mau, tapi Kanaya ingin tahu lebih.

“ Perempuan bernama Senja” Kanaya membaca tagline yang aku tulis di bawah foto.

“Maksudnya?” Lanjutnya

“ Perempuan dan Senja adalah hal yang sama. Indah, menenangkan. Namun senja hanya bertahan beberapa menit lalu hilang dikuasai malam, senja itu egois. Dia tidak mau tahu berapa ratus juta pasang mata ingin melihatnya berlama-lama. Namun senja terlalu angkuh untuk begitu saja pergi”

“ Lalu hubungannya dengan perempuan?”

“ Siluet perempuan itu sama dengan senja. Meninggalkan ketika ada satu pasang mata ingin berlama-lama melihatnya”
Kanaya tertegun, manggut-manggut lalu menghela nafas panjang. Ini kali pertama aku berbicara sepanjang ini dengan Kanaya. Dan gerakan lembut tanganku terangkat, mengajak kenalan – menjawab perkenalan yang dulu aku acuhkan.

“Saya Kelana”

Kanaya tersenyum.

“Cukup lama juga ternyata hanya sekedar berkenalan”

DEG!

Iya aku salah, batinku.

“ Perlukah aku memperkenalkan untuk yang kedua kali?” Ucap Kanaya

“ Kel, jadi foto mana yang besok malam  akan kamu lelang?”

Belum sempat aku menjawab, Tiara datang menghampiri aku dan Kanaya. Jelas sekali bahwa Tiara tidak suka dengan keberadaan Kanaya, aku bisa melihat jelas dari matanya. Tiara cemburu, dan Kanaya memburu aku dan Tiara.

RUANG LUKA (END)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant