Bab 1. Kami Putus

111 12 28
                                    

Bab 1. Kami Putus

   Iris menatap jam di pergelangan tangannya. Waktu mereka masuk ke dalam bioskop kurang 20 menit lagi, sedangkan makanan yang mereka pesan belum juga diantar. Kalau bukan karena perutnya yang melilit karena belum makan dari pagi, mana mau Iris pergi makan lebih dulu

   Perempuan berkacamata itu menarik napas panjang. Dia berharap semoga mereka bisa masuk tepat waktu dan tidak melewatkan satu adegan film pun.

   "Kita bakal telat nonton nggak sih?"

   Iris mendongak. Netranya menatap lama pada Gya--teman sekantornya--yang hari ini lebih pendiam dari biasanya. Mereka tidak terlalu akrab, hanya saja cocok sebagai teman nonton karena punya kesukaan pada genre film yang sama. Tapi meski begitu, Iris tahu, Gya tidak pernah sependiam ini sebelumnya.

   "Nggak kok Mbak. Masih lama juga." Mengikuti jejak Gya, Iris ikut-ikutan mengambil ponsel di tasnya. Berpura sibuk membuka aplikasi Whatsapp padahal tidak ada juga yang mengiriminya chat.

   Jelas. Iris jomlo. Tidak seperti Gya yang sekarang mungkin sibuk mengirimi pesan pada pacarnya yang berada di Jakarta.

   Sepuluh menit sebelum film mereka dimulai, akhirnya makanan diantarkan. Uap mie ayam yang mengepul membuat perut Iris semakin lapar. Iris mengeluarkan bawang goreng yang tidak Iris sukai dari dalam mangkuk mienya dengan semangat.

   "Aku putus sama Mas Yuda."

   Klontang.

   Iris meringis. Bunyi sendoknya yang jatuh menggema memenuhi foodcourt yang siang ini kebetulan sepi. Hanya bapak-bapak di sudut saja yang menoleh kesal ke arah mereka.

   "Mbak Gya bercanda ya?" Iris mencoba mencari wajah usil yang biasa Gya tampilkan saat mengerjainya. Tapi nihil. Wajah Gya sekarang seserius ucapannya barusan. "Kok bisa?" lanjutnya lagi. Setengah tidak percaya.

   Bagi Iris, Gya dan pacarnya yang bernama Yuda adalah panutan. Ldr selama dua tahun dengan tingkat saling pengertian yang tinggi. Iris tahu, kedua orang itu tidak pernah bertengkar hanya karena rindu tidak bisa bertemu. Tidak seperti para remaja jaman sekarang.

   "Enaknya gimana?" Gya mencoba bercanda.

   "Mbak Gya ini serius? Nggak bercanda? Beneran putus?"

   Gya tertawa sumbang. "Aku ngapain bercanda sih Ris."

   "Ya aku kira Mbak Gya lagi ngerjain aku." Iris menggigit bibir nampak bersalah. Rasa lapar yang tadi menyerangnya hilang entah kenapa. Persoalan ini lebih penting. Iris berpotensi kehilangan couple goals favoritnya.

   "Kami putus. No. Aku diputusin sama Mas Yuda. Setelah dua tahun ini bersama. Setelah semua yang aku kasih ke dia—"

   Iris kembali meringis. "Mbak bahasanya ih. Segalanya apa ini maksudnya ...." Iris berusaha mengajak Gya tertawa dengan gurauan mesum mereka seperti biasa. Tapi Gya hanya menanggapi dengan tawa setengah hati.

   "Ini bukan yang ada di otak kotor kamu itu ya, Ris." Gya menggeleng. Dia menggeser mangkok mie ayamnya ke samping. Sama dengan Iris, perempuan berambut sebahu itu kembali kehilangan nafsu makannya.

   Gya kira, dengan pergi dan makan bersama teman, nafsu makannya yang dua mingguan ini menghilang tidak tahu kemana itu bisa kembali. Tapi nyatanya sama saja. Perutnya tidak terasa lapar walaupun baru sepotong roti yang masuk ke dalam lambungnya sejak pagi tadi.

   Hidup Gya hancur. Secara tiba-tiba, rencana kehidupan yang sudah Gya rancang baik-baik rusak begitu saja. Semua itu karena Yuda memutuskannya.

   Padahal hubungan mereka baik-baik saja. Dua minggu lalu bahkan dia menyambangi lelaki itu di Jakarta sekaligus menonton Asians Games yang diadakan di sana. Gya berangkat dengan hati gembira, dan pulang dengan hati berduka.

   "Mbak nggak apa-apa?"

   Gya menoleh. Sedetik dia menatap Iris lalu menatap ke arah lain. Gya benar-benar membenci ekspresi kasihan yang Iris tampilkan. Mungkin Iris sendiri tidak sadar.

   "Aku nggak baik Ris." Gya tertawa pedih. "Tapi mau gimana lagi, 'kan?"

   "Kalian ... kenapa putus?"

   "Alasan yang sama penyebab aku sama Mas Yuda bertengkar dulu."

   "Mbak sekretaris?" Iris terpekik kaget.

   "Hmm." Mata Gya menerawang. Matanya sudah berkaca-kaca, kemudian cepat-cepat dia menekan matanya itu dengan tisu sebelum ada air mata yang turun. Gya tidak ingin menangis lagi. Sudah cukup semingguan ini dia membuang-buang air matanya untuk makhluk bernama Yuda itu.

   Kalau Yuda ingin pergi maka Gya akan ijinkan. Kalau berada di sisi Gya hanya membuat Yuda tersiksa, maka Gya dengan senang hati akan melepaskan.

   Memang Yuda siapa di hidup Gya?

   Yuda hanya pacar pertamanya walaupun sekarang sudah menjadi mantan. Lelaki pertama yang dia kenalkan pada Bapak Ibunya di Jember. Lelaki yang sudah dia tambahkan dalam rancangan hidupnya lima tahun ke depan.

   Intinya ... sekarang Yuda sudah bukan lagi siapa-siapa. Yuda tidak akan berarti lagi di hidup Gya.

   "Mbak Gya jangan nangis dong."

   Iris menyodorkan tisu. Tidak menyangka Gya yang selalu kuat itu sekarang menangis di depannya. "Aku kira Mbak Gya bisanya bikin orang lain nangis aja. Ternyata bisa nangis juga ya."

   Gya tertawa kecil. "Aku juga manusia, Iris," jawab Gya.

   "Mbak Gya, maaf ya. Mungkin karena dulu aku sering bercanda dan bilang Mas Yuda ditikung sama Mbak sekretaris, jadinya sekarang beneran terjadi. Aku cuma bercanda Mbak. Nggak ada maksud doain juga," ujar Iris. Tangannya yang berada di bawah meja terjalin satu sama lain. Iris benar-benar merasa bersalah. Bukankah ucapan adalah doa?

   "Hahaha ... Nggak lah. Bukan karena omonganmu itu." Gya menggeleng pelan. "Tapi aku nggak nyangka aja Mas Yuda bisa kayak gitu. Maksudku, kamu tahukan Mas Yuda gimana? Dia itu pendiam. Dia itu introvert. Jadi ... aneh aja kalau dia mutusin aku karena cewek lain."

   "Mungkin Jakarta mengubah seseorang Mbak." Iris mencoba menerka-nerka.

   "Mungkin."

   Mie ayam keduanya masih sama-sama penuh di mangkok masing-masing. Gya melirik singkat ke arah jam pink di pergelangan tangannya. Mereka sudah telat menonton film selama dua puluh menit. Tapi sudah terlanjur membeli tiket.

   Gya akhirnya bangkit. "Masuk yuk Ris. Filmnya sudah mulai ternyata," ajaknya.

   Iris mengikuti dalam diam. Dalam kegelapan bioskop, mereka mencari kursi tempat mereka duduk. Bioskop nampak lenggang. Jelas saja. Film yang mereka tonton sekarang merupakan sequel dari film Korea yang tayang tahun lalu.

   Yang kemungkinan besar sebentar lagi bajakannya sudah beredar di laman internet. Orang-orang pasti malas mengeluarkan uang untuk nonton di bioskop.

   Setelah duduk pada kursi masing-masing, tidak seperti biasanya nonton kali ini diisi dengan keheningan. Tidak ada celetukan-celetukan mengomentari adegan film seperti yang sering mereka lakukan.

   Iris larut dalam film. Sedang konsentrasi Gya terpecah pada pesan yang ditampilkan pada layar ponselnya.

   Mas Ghanistra Yuda : Are you okay, now?
   Mas Ghanistra Yuda : I'm so sorry Gy.

   Gya tidak baik-baik saja. Dia terluka. Dia patah hati. Harus berapa kali dia menjawab pertanyaan yang sama seperti itu?

   Tangan Gya bergerak cepat mengetik. Memencet tombol kirim, dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Gya sudah tidak akan peduli lagi.

   Gya Anida : I'm not fine.
   Gya Anida : Tapi nggak usah khawatir. Aku bakal baik-baik aja, nanti.
   Gya Anida : Entah kapan.

***
15/11/2018

LepasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang