Aku berusaha menahan apa yang akan ku lakukan. Aku sekuat tenaga menyuruh jiwaku untuk mendobrak pintu otak agar menyuruhku tak melakukannya. Tapi, bisikan yang membuatku frustasi semakin kuat memerintahku.

Aku mengayunkan tangan. Mataku membelalak.

Dengan jeritan bercampur tangisan wanita itu, aku merasakan pisau yang ada di tanganku menggores sesuatu. Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Namun, ku temukan lengan seseorang yang lain menerima goresan pisau itu.

Aku masih belum bisa sadar. Dalam bayanganku hanya terlihat sosok pria lain berwajah Indonesia, dengan mata hitam kecokelatan yang gelap, hidungnya yang mencuat dan bibir tipisnya meringis menahan kesakitan.

Bola mata-nya menatapku lekat. Seakan berkata: "lihat apa yang sudah kau perbuat?" Lalu, ada sebuah bisikan lembut dari dirinya memintaku segera sadar. Aku tak pernah melihat tatapan ini sebelumnya. Tatapan yang mampu meluluhkan otakku agar segera tersadar. Tatapan yang seolah aku ingin menuruti semua perintahnya, semua permintaannya.

Pisau kecil itu lepas dari tanganku. Suara-nya berdenting ke lantai jalanan ketika jatuh. Sesaat itu juga, aku tersungkur lemas. Aku kesal sambil meratapi apa yang telah ku perbuat. Mataku juga panas. Sungguh, ini hal memalukan yang sudah berkali-kali ku lakukan. Air mataku mulai mengalir di pipi.

Sedangkan, pria yang menyuruhku membunuh kekasihnya kabur begitu saja. Si wanita sambil menangis terisak-isak berterimakasih pada pria yang ada di depanku dengan bahasa perancisnya.

"Vale! Astaga!" sebuah suara memekik memanggil namaku. Ia terkejut dan tak percaya pada apa yang ku lakukan di lingkungan rumahnya. "Kenapa lagi-lagi kau begini!" omelnya. Ia memelukku. Aku menahan tangis namun tak bisa. Bulir-bulir air mata menetes-netes ke lantai jalanan.

"Tu vas bien, monsieur?" seorang pria di sebelah kakakku bertanya pada pria yang masih ada di depanku. Aku masih merasa, Ia menatapku dingin sambil emosi dengan apa yang terjadi. Sementara, lengannya mengeluarkan darah karena tergores pisau. "allons a notre maison," kata suami kakakku dengan logat perancisnya yang kental. "soigne tes blessures," katanya lagi.

"non, merci," jawab pria itu dingin. "Je dois y aller," ucapnya. Ia lalu melangkah pergi sambil menekan luka di lengan kanannya akibat perbuatanku.

Terakhir yang ku lihat adalah sosoknya yang pergi, namun pandangan matanya masih melekat kuat dalam ingatanku. Tatapan yang belum pernah membuatku selemah ini.

*****

Rusak sudah rencana liburan-ku di Toulouse, Perancis. Seharusnya, aku bisa merasakan bagaimana semilir angin sore di pinggir sungai Garonne. Seharusnya, bisa menikmati salmon keju kambing sambil menyesap cokelat panas di salah satu restoran samping Place du Capitole.

Ternyata mengambil cuti dan mengunjungi kakakku tak mengubah apa yang menjadi kelainan-ku. Ya, kelainan. Belakangan ini aku juga membuat kekacauan di kantor-ku. Kekacauan yang membuatku malu setengah mati, hingga sebenarnya aku takut untuk kembali bekerja.

Dua minggu lalu, dua orang staf sekretaris redaksi kami bertengkar hanya karena masalah penataan dokumen-dokumen yang tak rapi. Lisa, staf sekretaris berambut panjang menuduh Kiki yang menaruh dokumen kehadiran narasumber tidak sesuai dengan tempatnya. Saat itu, aku yang ingin mendubbing (mengisi suara dari naskah untuk paket berita) terpaksa melewati mereka. Keduanya masih adu mulut ketika aku berjalan. Hingga secara tak sengaja aku melihat mata Kiki yang kesalnya bukan main, aku berbalik arah. Seperti terhipnotis entah darimana datangnya. Aku menuruti apa yang ada di benak Kiki.

Sebuah tamparan keras dari telapak tanganku mendarat di pipi kanan Lisa. Semua staf, orang-orang yang ada di newsroom kantor-ku luar biasa terkejut-kejut. Semua orang terbelalak menatapku. Bahkan, Kiki pun yang menyuruhku melalui mata dan pikirannya terkejut dengan apa yang ku lakukan. Sementara Lisa mengeluarkan air mata meringis kesakitan sambil keluar dari newsroom, kemungkinan menuju toilet.

Setelah peristiwa itu besoknya aku langsung mengambil cuti dan terbang ke Perancis. Berharap bisa lebih tenang, namun kenyataannya semakin runyam.

Aku tak mengerti apa yang terjadi pada diriku sendiri. Ini seperti bakat namun menjadi sebuah bencana. Dengan memandang mata seseorang, aku bisa mengetahui sekilas apa yang ia pikirkan. Aku juga seakan menuruti kehendak orang itu untuk melakukan sesuatu yang tak seharusnya.

Sewaktu kecil aku tak mengerti bakat ini. Aku hanya menyadari bahwa aku hanyalah seorang anak kecil yang menuruti semua kemauan Ayah dan Ibu-ku. Namun, semakin remaja dan beranjak dewasa, aku semakin tak bisa mengontrol diri untuk tidak dikontrol orang lain.

"Tinggallah lebih lama di sini," kata kakakku, Alice Aldric. Ia memohon padaku sembari khawatir dengan hidupku yang sendiri di Jakarta.

Aku menghela nafas berat. "Kak, belum-belum kemarin saja aku sudah membuat masalah," kataku muram.

"Aku tahu, sebenarnya kau ingin membela wanita itu," kakakku meyakinkan untuk menghiburku. Iya, dia yang paling tahu bagaimana kelainan pada diriku.

"Yah, dan untungnya aku tak dilaporkan ke polisi sama pria itu," kataku lagi. Otakku langsung dipenuhi sosok pria dingin itu kemarin. Aku cukup bersyukur karena kasus ini tak dilaporkan ke polisi di sini. Bisa bayangkan'kan bagaimana kalau turis Indonesia terlibat kasus di luar negeri? Pasti ribet luar biasa. "Jadi, lebih baik aku pulang saja kak, daripada akan menambah masalah di sini," kataku lagi.

"Baik-baik di Jakarta," sebut Alice. Ia masih saja mengkhawatirkanku.

Setelah memeluk Alice dalam-dalam dan berpamitan pada suaminya, aku menggeret koperku. Rasanya baru dua hari kemarin aku tiba di Bandara Blagnac, dan hari ini aku berangkat lagi di bandara ini menuju Paris untuk transit dan langsung terbang selama kurang lebih 14 jam ke Jakarta.

* * * * *

Ante Meridiem #GrasindoStoryIncWhere stories live. Discover now