Kabur!

19 2 0
                                    

Lima orang hidup bersama dalam satu atap bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Apa lagi kami semua datang dari beragam latar belakang keluarga, suku bangsa, isi kepala, dan lain sebagainya. Begitu juga kami.

Kami layaknya keluarga bahagia. Walaupun pertengkaran-pertengkaran kecil sering mewarnai istana kami di Bojong Cae tetapi itu tidak benar-benar membuat kami bercerai. Justru itu adalah pengalaman pertamaku dalam memahami karakter orang. Karena sebelumnya aku belum pernah jauh dari orang tuaku.

Abang Faisal adalah kepala keluarga kami. Sekilas dia adalah orang yang sangat tidak perhatian. Terkesan cuek. Wataknya keras, maka kami agak takut untuk melanggar hak-hak pribadinya. Tak hanya satu dua kali aku menangis tersedu-sedu oleh perkataannya yang terbilang cukup tajam menghujam dada. Mungkin karena logat Bataknya yang kental seringkali membuat aku salah sangka menebak keadaan emosionalnya. Tetapi di balik itu dia adalah pria yang lembut dan bertanggung jawab. Beberapa kali aku pernah terselamatkan olehnya.

Faisal juga seorang yang teramat perfeksionis. Pria yang sangat mengetahui bagaimana cara mencuci baju dengan baik menurut kaidah yang benar. Deterjen apa yang paling baik, berapa lama sebaiknya merendam, berapa kali seharusnya membilas, berapa lama seharusnya merendam dalam larutan pewangi. Atau bagaimana trik menggunakan cairan peRanaah agar dapat berfungsi dengan baik. Termasuk bagaimana harus menggosok agar licin. Maka tak heran dibalik kecuekannya. Dia adalah pria yang senang berlaku sempurna. Walau terkadang kecuekannya seringkali lebih dominan dibanding sifat serba sempurnanya.

Sedangkan Fian adalah pria pesolek. Hari-hari pertamaku di Istana Bojong Cae. Aku dibuat terheran-heran dengan tingkahnya. Ketika kami sudah siap pergi ke peraduan, maka dia asyik membersihkan mukanya. Ketika kami bersiap untuk melakukan kunjungan ke pelosok desa, maka dia sibuk mengoleskan tabir surya ke wajah dan sebagian kulitnya yang tampak. Dia adalah kebalikan dari Abang yang 'cowok' banget.

Begitu pun masalah kebersihan. Fian satu-satunya orang yang tidak bisa mencuci dengan baik di antara kami. Entah teknik mencuci apa yang dia gunakan. Hingga hasil cuciannya masih saja berbau. Padahal dia yang paling banyak menghabiskan persedian deterjen.

Dewi satu-satunya mahasiswa gizi di tempat kami, adalah salah satu orang yang paling tidak suka kelakuan Fian. Hampir bisa dipastikan Fian adalah bukan tipe pria yang ideal. Malah kami sempat berpikir, justru Abang yang mampu merebut hati Dewi.

Dewi suka sekali memenuhi piring makannya dengan nasi yang menggunung. Tidak untuk dihabiskan. Tetapi untuk dibuang percuma sisanya. Dia hampir tidak pernah menghabiskan nasinya. Hanya lapar mata di permulaan. Kemudian hilang rasa di pertengahan. Selalu begitu. Aku beberapa kali menasihatinya.

"Duh, Dewi lain kali kalau ambil nasi sedikit aja. Nanti kalau kurang tambah! Kan mubazir kalau dibuang", suatu kali aku menasihati. Dan kejadian itu terus berulang, hingga akhirnya Dewi benar-benar berubah.

Lain lagi dengan Khadijah adalah perempuan Batak. Wataknya keras, dia memiliki ketegaran baja seorang perempuan tangguh. Sebelumnya, aku dan dia memang sudah saling mengenal dekat. Sesekali kami memang suka beradu argumen. Namun dia sebetulnya adalah perempuan yang paling mengerti aku. Aku yang tidak terlalu pandai mengekspresikan perasaanku dalam bentuk kata-kata lisan, seringkali terbantu dengan dirinya.

Sebagai keluarga kami selalu berbagi apa saja. Tidak hanya berbagi cerita, pengalaman, opini, kami juga berbagi makanan. Siapa pun si empunya makanan camilan di Istana Bojong Cae berkewajiban untuk membaginya kepada anggota keluarga lainnya.

Kami biasa menaruh camilan kami di atas meja. Jadi siapapun boleh mencicipinya. Seperti ada peraturan tak tertulis yang mengizinkan semua anggota keluarga untuk mengambilnya tanpa permisi.

Istana Bojong CaeWhere stories live. Discover now