Beranjak Pergi

41 3 2
                                    

  "Ya Allah, aku capek, pengen nikah aja.."lirih Arini.

  Aku tertawa di belakangnya. Dia berbalik sambil senyam-senyum gaje. Kami sedang dirumahnya Arini. Dia sedang mengerjakan tugas yang diberikan Dosen Killer, katanya.

  "Sumpah ya, Syif. Aku ga tau harus hadapi bagaimana Pak Dosen ini, dia selalu menghukumku. Bayangin deh, di setiap dia ngajar, paling maksimal aku dihukum tiga kali. Bayangin. Syukur aja mapel nya dia cuma satu doang.."

  "Kalo dihukum itu, ada dua pertanda.."ucapku, lalu berpindah di sampingnya. "Yang pertama, ya karena kamu punya kesalahan. Ga mungkin ada hukuman kalo ga ada kesalahan.."

  Dia menggaruk kepalanya.

  "Iya sih, tapi teman-teman lain? Bahkan mereka yang sering ribut, tapi kok cuma aku doang yang sering dihukum? Ga adil dong"

  "Kan aku udah bilang, pertandanya itu ada dua"

  "Ohh.. Terus yang kedua apa?"

  "Ya suka sama kamu lah"

  Matanya melotot lalu memukulku pake bantalnya. Eh tunggu, mukanya memerah. Apakah sesuatu telah disembunyikan dariku?

  "Wait! Kok muka kamu merah sih? Hayooo... Kamu suka ya?"godaku.

  Mukanya tambah merah, dia berusaha menutupi mukanya dengan buku. Aku mendekatinya lalu merangkulnya.

  "Dia masih single atau udah punya istri?"

  "Maksudnya apaan sih? Aku itu ga ada perasaan apa-apa sama dia. Lagian dia itu Dosen Killer, dengar namanya aja aku merinding"

  "Ih, jawab aja, dia itu single atau udah ada yang punya?"

  "Dia itu jomblo ngenes. Ah udah ah, ngapain bahas dia? Lagian aku mau fokus ngerjain dulu ini. Sana-sana minggat"

  Aku masih terkekeh mendengarnya. Dia berusaha menghindar. Ku raih salah satu buku yang berada di sekitarnya.

  "Ngomong-ngomong, Dosen Killer itu mapelnya apa?"

  "Farmakologi"

  "Adnan Syarif.. "ucapku sambil membaca nama Dosen yang dia tulis di buku itu.

  Dengan cepat, Arini mengambilnya dariku. Mulutnya ngedumel tak jelas.

  "Jangan-jangan kamu berharap nikah ya sama dia?"tanyaku.

  "Eh-eh Syif, aku lupa ngasih tau kamu, kemarin itu, Pak Rezfan datang ngajar gantiin Pak William di Mapel Bahasa Inggris. Satu lagi deh, dia agak kurang sehat gitu.."

  Aku duduk sambil berhadap-hadapan dengan Arini. Sungguh, kita sudah tidak bertemu tiga hari. Mana aku tahu kalau dia sedang tidak sehat. Aku hanya ingin tahu surat perceraianku sedang dalam proses.

  "Syif, jujur, aku ga mau kalo kamu sampe pisah sama Pak Rezfan. Dia baik kok Syif, kamu kebayang ga sih kalo ternyata perceraian ini hanya karena kesalah pahaman? Kamu ga bakalan tahu bagaimana kamu selanjutnya"

  "Aku tahu dia baik, sangat malah, dia imam yang sangat bertanggung jawab. Hanya saja perceraian ini bukanlah kesalahpahaman, tapi ini real kesalahan. Dan aku ga mau kamu kira aku bakal nyesel, karena itu ga ada dalam kamusku. Lagian, aku hanya pengen dia bahagia dengan perempuan yang dia mau. Aku ga mau ngekang"

  Arini menghela napas. "Udahlah, lagian aku ga bisa ikut campur dalam rumah tangga kamu. Aku hanya berdoa SEMOGA KAMU GA BAKALAN CERAI SAMA PAK REZFAN! AAMIIN!"

  Mataku melotot. Segera ku lempari dia pake bantal.

  "Ihh jahat banget sih! Lagian kamu mengalihkan pembicaraan ya? Tadi bahasnya Pak Adnan kok jadi Pak Rezfan? Awas ya kamu.."

  "Yeee! Siapa suruh?!"

  💞

  Selepas pulang dari Arini, aku singgah di Kantor Pengadilan. Janjinya, tiga hari setelah pelaporan baru didapat surat perceraian itu. Hanya ingin menanyakan.

  "Azalia Syiffa Khairunnisa? Syiffa? Kamu yang ngajuin perceraian ke suami kamu?"

  Aku berdiri di hadapan Jaksa, yang waktu itu tidak datang. Sekarang dia ada di hadapanku. Ternyata dia Om Ibrahim.

Sangat wow bukan? Sungguh spektakuler. Ummi harus mengarang cerita bahwa abiku adalah tentara yang mati di medan perang. Ternyata dia hanyalah seorang jaksa.

  Rasanya sesak dada ini. Setelah melihat orang yang aku benci datang kembali di mataku. Ku palingkan wajahku.

  "Syiffa, jangan, kamu tidak boleh menceraikan Rezfan"

  "Kenapa Syiffa ga boleh menceraikan dia? Bukankah Om hanya seorang jaksa, tugas Om hanya membantu saya, bukan melarang"

  "Syiffa, kamu ga takut nyesel nanti?"

  "Ga! Ini demi kebahagiaan dia. Dan untuk itu, Syiffa ga pernah nyesal"

  Om Ibrahim mengangguk. Ia akhirnya meninggalkanku di koridor. Punggungnya berjalan menjauhi. Tiba-tiba dia berhenti dan menatapku.

  "Syiffa, bisakah Ayah minta, kamu batalkan perceraian ini"

  Mataku rasanya berkaca-kaca. Seseorang di depan sana masih ingin aku panggil 'Ayah'? Benarkah? Bukan lelucon?

  "Pernahkah Syiffa minta, Om mengulang kisah dulu? Agar Om tahu, bagaimana sakitnya merelakan suami hanya untuk kebahagiaannya semata"ucapku lalu membalik badan.

  Agak cepat kaki ini berjalan. Tetes demi tetes mulai membasahi pipiku. Ku gigit sekuat mungkin bibirku agar isakanku tidak keluar.

  Jder!

  Kakiku berhenti. Seseorang di depan sana menatapku dalam. Kami hanya berjarak dua meter. Pak Rezfan. Dia mulai berjalan mendekati. Sedangkan aku mulai berjalan menjauhinya.

  "Syiffa"

  Aku tidak menghiraukan. Aku akan mencari taksi lalu pulang. Kemudian aku tidur dan melupakan bahwa aku bertemu dia hari ini.

  "Saya tahu kamu akan ke sini"ucapnya.

Aku tak memperdulikan perkataanmu Pak, aku hanya tidak ingin bertemu lagi denganmu. Sudah cukup selama ini aku membersamaimu hingga sekarang adalah waktu yang tepat untuk melepaskanmu. Untuk dia, wanita itu.

Derap langkah Pak Rezfan terdengar, sepatu pantofel itu mengikutiku. Aku berusaha secepat mungkin menghindar.

Aku berhenti saat sudah sampai di jalan raya. Ada angkutan umum yang berhenti di seberang jalan.

"Mas, tunggu bentar!"ucapku.

Ku lihat Mas supir itu mengangguk sambil memberikan telunjuknya. Aku segera melihat kanan kiri, aman. Pak Rezfan mendekatiku. Namun, aku memilih berlari ke angkutan umum itu.

Tin!! Tinn!!! TINNN!!!!

Brakkkkk!!!!

"Syiffa!!!!!"


🍭🍭🍭

A

ssalamualaikum readers setia tetangga baru hehe... maaf ya baru upload, udah lama ngga buka wp semenjak ujian. Semoga kalian masih senang ya sama cerita ini hehe...

Happy reading..

 

Tetangga Baru (TAMAT)Where stories live. Discover now