"Alasannya?"

"Tanyakan saja pada mereka. Aku hanya mengikuti kemauan mereka."

Aku menarik nafas panjang. "Aku tidak yakin mendapat jawaban yang benar dari mereka."

"Tidak perlu dipikirkan, sekarang kau ganti pakaianmu. Aku akan keluar."

Aku mengangguk dan Aleea melangkah pergi. Aku melongok kearah pintu goa dan segera mengganti pakaianku setelah kupastikan bahwa mereka tidak akan masuk. Ternyata memang benar, pakaian Aleea lebih baik ukurannya di tubuhku dari pada Velian. Aku merasa lega karena ada Aleea yang selalu membantuku di saat kesulitan.

Aku menjemur pakaian Velian didekat perapian supaya kering kemudian kembali duduk. Lambungku berderu karena kosong, aku benar-benar lapar. Aku menarik nafas kemudian mengambil pisau ku lagi.

Mereka menatapku ketika aku melangkahkan kaki keluar goa, sejenak kemudian Velian dan Zealda menatap Aleea dengan tatapan tajam sementara yang ditatap hanya meringis. Mereka sama sekali tak berkomentar dengan penampilanku.

"Mau kemana kau?" tanya Zealda.

"Tentu saja berburu," sahutku acuh.

"Jangan bilang kau ingin berburu buaya lagi." Kali ini Velian yang bersuara dengan nada menyindir.

Aku mendengus tertawa. "Kau pikir aku sebodoh itu sampai-sampai tidak tahu bahwa sungai itu tidak ada buayanya. Ingat bung, jangan menyusahkan dirimu untuk memburu sesuatu yang tidak ada." Aku tersenyum menang kemudian melengos pergi.

Aku kembali mematahkan ranting dan meruncingkan ujungnya untuk dijadikan tombak. Kali ini aku masuk ke hutan lebih dalam lagi dan beberapa saat kemudian aku melihat seekor kelinci hutan nan gemuk.

Aku mengendap-endap sambil menggenggam tombak ku erat. Aku mengambil posisi siap untuk menembak kemudian melemparkan tombak ku sekuat tenaga. Aku tersenyum puas karena lemparan ku berhasil mengenai kakinya.

Aku mencabut tombak ku dan menangkap kelinci itu dengan sigap. Ku tatap kelinci itu sekali lagi dan aku merasa hatiku sedikit teriris. Dia—sangat imut sampai-sampai aku tidak tega untuk membunuhnya.

Aku memekakkan telinga ketika mendengar suara geraman dari semak-semak. Kuletakan kelinci terluka itu di bawah pohon kemudian meraih pisau ku dan memasang posisi siaga.

Aku menatap semak-semak itu dan mataku melihat sekumpulan rumput liar disana bergerak. Untuk beberapa menit aku masih terdiam sambil memicingkan mata.

Tubuhku mengerjap kaget ketika sosok binatang buas melompat kearah ku. Butuh waktu untuk menyadari bahwa binatang itu adalah Harimau kelaparan. Ia menggigit bahuku dan mengoyaknya. Aku menggenggam pisau ku dan menyerang matanya.

Ia meringkik kesakitan kemudian melompat pergi, namun ia mengaum keras dari kejauhan. Tanpa pikir panjang, aku langsung membawa Kelinci itu dan lari.

Aku menarik nafas lega karena aku sudah keluar dari batas wilayahnya. Aku terduduk di bawah pohon sambil meringis kesakitan. Luka di pinggangku kembali terasa nyeri di tambah bahuku juga terluka.

Aku berjalan dengan langkah gontai menuju goa sambil membawa si kelinci. Rasa bersalah mulai menyelimuti ku ketika menyadari bahwa pakaian Aleea koyak dan ternoda oleh darahku. Sesuai dugaan ku, mereka terpana melihatku.

"Valen kau terluka?" Aleea langsung bangun dari duduknya dan menatap bahuku dengan nanar.

Aku melangkah mundur ketika ia hendak menyentuh bahuku. Pasalnya, aku sudah membayangkan sakitnya ketika bahuku disentuh.

Velian menatap kelinci dalam gendonganku dan bahuku bergantian. "Apa kau rebutan Kelinci dengan Harimau?"

Tebakannya menyadarkan ku akan satu hal. Mungkin Harimau itu memang sedang mengincar kelinci ini ketika aku memburunya.

AssassinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang