6

36 1 0
                                    

Ini singkat, dan kayanya ada beberapa bagian yang kurang oke. Iya...jujur aku nggak puas sama hasilnya. Tapi, semoga kalian suka...

Happy Reading!

Niall tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum selama perjalanan dari bandara. Lupakan soal jetlag, bayangan wajah Elisa yang tengah tertawa selalu menjadi penawar yang ampuh baginya. Kira-kira bagaimana reaksi wanita itu saat nanti melihatnya?

Niall memang sengaja merahasiakan kepulangannya untuk mengejutkan Elisa, sekaligus melihat reaksinya. Jujur saja, Dia berharap pelan-pelan dapat meluluhkan hati wanita itu. Elisa jelas masih mencintainya. Niall tahu betul itu dari tatapan matanya. Dia hanya takut mengambil resiko dan dihancurkan kembali. Persis seperti saat bersama Kenzie.

Niall memakluminya. Diceraikan saat hamil dengan tuduhan berselingkuh hingga mengandung anak selingkuhannya jelas bukan hal sepele. Terlebih bagi Elisa yang menghabiskan hampir separuh hidupnya untuk memuja Kenzie. Mengira pria itu adalah satu-satunya yang tidak akan menyakitinya.

Luka terdalam memang biasanya berasal dari orang terdekat.

Niall benar-benar mempercayai kalimat itu sekarang. Tapi dia pastikan Elisa tidak akan mendapatkan itu kembali. Setidaknya tidak jika bersamanya.

***

Di luar dugaan, rumah pantai itu terlihat sepi begitu Niall tiba. Tidak ada Elisa yang duduk di teras sambil membaca buku, atau suara raungan speaker yang mendendangkan lagu Korea dari ruang tengah. Bahkan, Edgar dan Liana yang dia minta menemani Elisa juga tidak terlihat dimanapun.

Pintu depan tidak terkunci. Itu tandanya ada seseorang di rumah. Elisa tidak mungkin meninggalkan rumah dalam keadaan tidak terkunci. Dia tidak seceroboh itu.

"Elise."

Niall meninggalkan kopernya di luar sementara dia mulai memindai satu per-satu ruangan dalam rumah. Mencari Elisa. Pertama, jelas ruang tengah, yang ternyata masih sama dengan terakhir Niall tinggal, kemudian dapur, kamar mandi, kamarnya, bahkan kamar Elisa. Wanita itu tidak ada dimanapun.

Ruangan terakhir yang Niall periksa adalah ruang kerjanya sendiri. Dia sebenarnya agak ragu Elisa ada di sana, tapi tidak ada salahnya melihat.

Elisa memang di sana. Duduk bersandar di kursi kerjanya sambil memakai headphone. Sesekali, bibirnya ikut bersenandung sesuai lagu yang tengah dia dengarkan, sementara matanya terpejam.

Cantik sekali.

Niall tanpa sadar menarik ujung bibirnya. Rasanya, dia sanggup berdiri berjam-jam hanya untuk melihat Elisa seperti saat ini.

Elisa tiba-tiba saja membuka mata. Manik gelapnya langsung beradu dengan manik sebiru langit milik Niall. Untuk sejenak, mereka saling terdiam.

"Nii!"

Elisa menerjangnya. Untung saja Niall dengan cepat dapat menyeimbangkan tumbuhnya, jika tidak mungkin mereka kini sudah terguling di lantai.

"Hati-hati," katanya, sambil membalas pelukan Elisa. "Miss me?" tanyanya kemudian.

Elisa tidak menjawab, namun Niall bisa merasakan wanita itu mengangguk dalam rengkuhannya. Begitu saja, dadanya langsung menghangat.

"Kemana Lian?" tanyanya lagi begitu Elisa melepaskan rengkuhan mereka.

"Pergi ke rumah orangtua Edgar. Mereka katanya ingin lebih dekat dengan calon menantu."

"Mereka sudah akan menikah?"

"Ya, tapi mungkin tidak dalam waktu dekat. Mereka kelihatannya cukup nyaman dengan hubungan yang seperti ini." Elisa mengangkat bahunya. Beranjak memungut headphone ungunya yang terlempar di dekat pintu saat menerjang Niall tadi.

***

Elisa mengulurkan bungkus keripik kentangnya pada Niall. Meminta dibukakan. Sementara dia sendiri sibuk mencari film bagus yang bisa mereka tonton. Pilihannya jatuh pada series netflix yang menceritakan kehidupan salah satu ratu Inggris.

"Seleramu unik." Niall berkomentar.

"Tidak suka?" Elisa meraih remote lagi, berniat mencari tontonan lain.

"Suka. Kubilang seleramu unik, bukan jelek."

Elisa memberengut, merenggut kasar bungkus keripik kentangnya dari tangan Niall. Seperti biasa, alih-alih ikut kesal, pria itu malah tertawa. Tampaknya kekesalan Elisa sudah menjadi hiburan wajib baginya.

"Bulan depan sepertinya aku harus pergi lagi," ucap Niall, membuka suara. Setelah sekian lama hanya suara bising televisi yang menemani mereka.

"Kemana?" tanya Elisa. mengabaikan tayangan netfix-nya.

"Kau ingat resort yang pernah kuceritakan punya perijinan susah itu? Ada sedikit masalah di sana, jadi aku harus pergi. Hanya sebentar."

"Sebentar dalam versimu berarti waktu yang tidak bisa diperkirakan," Elisa mencibir.

Niall tidak membantah. Selama ini dia memang selalu menggunakan kata sebentar untuk mendiskripsikan waktu yang tidak bisa dia pastikan, dan sialnya, waktu itu tidak pernah benar-benar berakhir singkat.

"Aku boleh ikut?" tanya Elisa.

Niall terbelalak. Dia tidak akan terlalu kaget jika Elisa meminta ikut di perjalanan bisnisnya yang lain. Tapi kali ini, tempat yang akan dia datangi adalah kota yang harusnya paling dihindari oleh wanita itu.

"Tidak boleh?" Elisa bertanya lagi dengan tidak sabar.

"Tapi, Els..." Niall terdiam, menimbang. Kalimat semacam apa yang bisa dia katakan untuk menolak permintaan Elisa tanpa membuatnya tersinggung? Astaga, tempat ini bukan sembarang tempat. Ini adalah kota tempat Elisa tinggal sekian lama, tempat wanita itu memulai kariernya sebagai penulis, tempat dimana bisnis kafe kecil-kecilannya dibangun, sekaligus tempat dimana dia banyak mengukir kenangan menyakitkan. Kota tempat Kenzie dan Amira tinggal.

"Aku ingin ikut!" Elisa berkeras.

"Lupakan, akan kusuruh orang lain saja yang pergi."

"Niall!"

***

"Kubatalkan pesanan keripik kentangnya jika kau terus memasang wajah seperti itu," ancam Niall, begitu melihat wajah Elisa masih ditekuk hingga pagi saat mereka sarapan.

Wanita itu memutar bola mata, kemudian menarik ujung bibirnya dengan ogah-ogahan. Niall menahan diri untuk tidak langsung mengelus dada. Dia menghela napas panjang, menatap intens pada Elisa yang juga tengah menatapnya.

"Elise, dengar. Aku bukan ingin menjauhkanmu dari kehidupan lamamu. Suatu saat, aku akan mengantarmu kembali ke sana untuk membenahi semuanya, tapi nanti. Saat kita sudah menemukan material baru untuk mengganti bagian yang rusak. Jika kembali sekarang, dengan keadaanmu yang seperti ini, dan dengan aku yang berdiri di sampingmu. Orang-orang akan semakin yakin bahwa kebohongan yang mereka ketahui selama ini adalah kebenaran."

Elisa bergeming, namun pandangan matanya yang sesekali melirik ke bawah membuat Niall yakin wanita itu memahami maksud perkataannya.

"Aku sedang mengumpulkan material baru itu, Els. Tunggu sebentar lagi, paling tidak hingga aku menemukan material intinya."

"Sekarang atau nanti sama saja, Nii. Orang-orang hanya percaya pada apa yang ingin mereka percayai."

"Ya... setidaknya kita berusaha, itu tidak akan terlalu sia-sia kan?"

"Kenapa repot-repot membantuku, Nii?"

"Kau bilang kita bisa berteman."

Niall hampir tercekat saat mengucapkan kalimat itu. Namun, demi mendapat kepercayaan Elisa, pria itu memaksakan sebuah senyum.

"Ah... iya, kita bisa berteman." Elisa ikut tersenyum. Kali ini bukan sebuah tarikan bibir ogah-ogahan seperti beberapa waktu yang lalu.

-TBC-

See you next part!

Btw... maintenance wattpad bikin cerita offlinenya ikut hilang nggak ya?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 31, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

80% + 20%Where stories live. Discover now