[17] Kehidupan lain seorang idol (bagian 2)

Începe de la început
                                    

"Aku sedang menelepon eonni saat itu. Aku mendengar bagaimana kencangnya suara tabrakan itu. Aku... mendengarnya di terakhir kali."

Kenapa justru aku yang menangis?

Namjoon memejamkan matanya, membiarkan air mata itu mengalir merembes pada masker yang ia kenakan.

"Lalu... ada seseorang meneleponku. Mengatakan bahwa pemilik handphone tak terselamatkan. Aku tidak percaya, awalnya. Sampai saat aku melihat sendiri berita itu. Bus yang terguling menabrak truk."

Sore itu...

Ingatan Namjoon kembali pada wanita itu. Wanita yang pergi terlalu cepat meniggalkannya. Bahkan, sebelum sempat pulang ke rumahnya sendiri.

Sebelum bertemu keluarganya.


~~~


Seseorang mengenakan topi dan masker, berjalan begitu mantap memasuki area tahanan. Setelah sebelumnya melapor pada pihak yang berwenang, ia kemudian duduk di depan ruangan kosong dengan 1 penjaga, dibatasi oleh kaca tebal yang berlubang-lubang kecil membentuk bulatan besar. Ia mengambil napas berulang kali, mencoba menenangkan hatinya yang gugup. Memang, terakhir kali ia berkunjung—ah tidak, terakhir kali ia bertemu dengan seseorang yang ia tunggu sekarang, adalah beberapa bulan lalu. Saat ia harus membuat kebohongan besar demi menutupi kenyataan yang sewaktu-waktu dapat meruntuhkan reputasinya.

Jahat kah ia? Disaat lebih mementingkan reputasi ketimbang satu-satunya keluarga yang tersisa?

Pupilnya membesar kala pintu di ruangan hadapannya terbuka, kemudian masuk seorang pria paruh baya, mengenakan seragam khas tahanan, dengan dua tangannya yang terborgol. Pria itu menatapnya dengan sendu, jelas sekali malu sekalipun yang dihadapinya adalah anaknya sendiri.

"Ayah, apa kabar?"

"O-eo, ayah baik. Bagaimana denganmu?"

Seokjin jelas tau, bagaimana tatapan bersalah itu tertuju sekali pada dirinya sendiri. Hatinya teriris melihat ayahnya tampak kerut usia, dengan wajahnya yang lelah, dan kantung mata yang timbul. Astaga, Seokjin bisa jadi anak durhaka yang mementingkan dunianya sendiri ketimbang ayahnya.

"Aku baik."

Kemudian hening. Seokjin diam-diam mengepal, menahan gejolak di dalam hatinya, mulutnya gatal tapi disaat yang bersamaan menjadi bungkam, kala kata-kata 'rindu' menumpuk menjadi gunung di relung hatinya.

Ayolah, Seokjin. Hanya ada 10 menit waktumu. Batinnya menyemangati diri.

"Ayah,"

"Iya?"

"Ayah harus kuat, bersabarlah. Jika nanti ayah sudah bebas, aku janji, aku sendiri yang menjemput ayah kemari. Aku janji, aku akan membangunkan ayah sebuah rumah di mana pun ayah mau, aku janji akan menuruti permintaan ayah, tapi... Ayah, jangan memintaku untuk keluar dari duniaku. Aku... aku sudah terlanjur mencintai mereka, para fans yang mendukung kami. Aku mencintai duniaku. Kalau pun ayah mau, akan kubuatkan rumah di dekat apartment kami, dan akan kubawa ayah kemana pun. Tapi tolong... restui Seokjin berada di jalan ini." entah apa yang membuatnya sebegitu menyakitkan saat mengucapkan kata-per-kata yang keluar, sehingga Seokjin menangis tertahan di hadapan Ayahnya.

"Seokjin-ah..." sang Ayah memanggil lembut, "maafkan Ayah..."

"Kenapa Ayah minta maaf? Seharusnya aku yang mengatakan itu."

"Maaf karena Ayah menahanmu selama ini. Aku tau, sangat berat bagimu, bahkan bagiku... melihatmu pergi. Seharusnya sedari dulu Ayah mendukung mimpimu, bukan malah mengekangmu. Ayah menyesal, Seokjin-ah... maafkan Ayah... Maaf,"

FATAMORGANAUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum