S1

172 30 64
                                    

🎶Mosawo - Gyutto

✨✨✨

Azan berkumandang membuatku terbangun dari tidur nyenyak. Aku melihat jam di ponsel yang menunjukkan pukul 04.30. Aku bergegas menjalankan rutinitas pagi seperti biasa. Ibadah, membersihkan rumah dan bersiap sekolah.

Aku hanya tinggal berdua dengan Bunda. Ayahku telah tiada sejak aku masih bayi. Aku harus menjadi anak yang rajin dan mandiri karena tidak mungkin 'kan aku terus bergantung pada bunda.

Selesai membersihkan rumah dan mandi, aku langsung memakai seragam putih abu-abuku yang dibalut dengan hoodie berwarna putih, karena cuaca pagi ini lumayan dingin. Aku mengikat rambut hitam seperti model Cha Eun Sang, berharap Kim Tan melepaskan ikatannya seperti adegan di drama The Heirs. Haha dasar halu. Aku juga tidak lupa memakai kacamata yang sepertinya harus diganti karena sudah bertambah minusnya.

Setelah semua rapi, aku menghampiri bunda yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Kulihat bunda sedang mengusap keringat di dahinya. Baru saja aku ingin membantu, tetapi bunda mencegahku.

"Selamat pagi, Sayang! Udah kamu duduk aja. Udah mau selesai kok."

Aku mengangguk dan menghampiri kursi. Aku tidak bisa berhenti tersenyum melihat bunga.

"Selamat pagi juga bundaku yang cantik, manis dan hebat!"

Bunda tersenyum menanggapi. Duh, senyuman bunda sangat manis. Kenapa enggak turun ke aku ya?

"Kita makan seadanya ya."

"Ini aja udah enak, Bun. Telur mata sapi 'kan kesukaan aku. Apalagi ini setengah matang dan pakai kecap. Woah! ini adalah kenikmatan dunia."

Bunda tertawa renyah, "Dasar lebay. Ya sudah makan."

Kami makan bersama. Sesekali kulirik bunda yang sibuk menyantap makanannya. Aku sayang sekali padanya. Hanya bunda satu-satunya yang kupunya. Bunda adalah penyemangat hidupku.

Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00, aku berpamitan dan mulai menyusuri pinggiran Kota Bekasi.

Minimnya kondisi keuangan keluarga mengharuskanku berjalan ke sekolah. Jarak dari rumahku ke sekolah sekitar dua kilometer. Tidak terlalu buruk. Bunda bilang, aku harus prihatin terhadap kondisi ekonomi keluargaku saat ini. Toh, aku bukan anak manja yang setiap hari memaksa bunda untuk mengantarkanku sekolah. Bagiku berjalan tidak membuatku sakit justru berjalan bisa membuatku sehat.

Aku bersekolah di SMK Kamea dan mengambil jurusan perbankan. Sebenarnya aku ingin masuk sekolah yang lain, tetapi Tante Rena--majikan bunda--sudah mendaftarkanku di sekolah ini.

"Kamu enggak usah mikirin biaya. Semua biaya sekolah kamu tante yang tanggung dengan syarat kamu harus rajin belajar dan mendapatkan nilai bagus. Tante yakin kamu bisa." Begitu katanya.

Aku menerima kesempatan itu. Kapan lagi bisa sekolah gratis tanpa memikirkan biaya. Aku sangat bersyukur bisa masuk sekolah ini. Walaupun kurang mendapatkan penerimaan yang baik di sekolah, aku tidak peduli. Toh, tujuanku disini untuk belajar, bukan mencari popularitas.

Biasanya, saat tahun ajaran baru akan ada pengumuman pembagian kelas di mading. Dan benar saja, begitu aku melihat mading, sudah banyak siswa yang berkerumun.

"Permisi, permisi." Aku menyelinap mencari luang diantara kerumunan. Untung saja badanku kecil, jadi aku mudah menyelinap.

"Kanzia Farza Zareena. Oh ternyata di kelas 12-Perbankan 1.."

Aku keluar dari kerumunan tersebut dan menuju kelas baruku. Belum sampai depan kelas, dua sejoli yang biasa kusebut cabe-cabean menghadangku.

"Zareena, apa kabar?" Gadis berambut pendek yang kerap disapa Fara itu merangkulku.

STRUGGLE (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang