22 | Julian

Mulai dari awal
                                    

Sedetik kemudian, aku langsung berlari menuju lobi. Kusapukan mata ke seluruh penjuru ruangan yang seluruhnya berwarna cat dinding putih itu. Ruangan senyap. Hanya ada seorang wanita yang duduk di balik meja resepsionis di ruangan itu. Ia terperanjat dari kantuknya ketika melihat kemunculanku di ambang pintu, mengamatiku, menunggu pergerakanku.

Ketika aku masih berdiri di tempatku sambil menimbang-nimbang apakah aku harus bertanya pada wanita penjaga lobi di manakah letak kamar nama pasien yang kutuju padahal aku sama sekali tidak mengerti apa sebenarnya tujuan Penelope memerintahkanku ke sini, tiba-tiba, seseorang memanggilku.

"Jason!" Aku sempat menduga bahwa itu suara Penelope dan memang benar itu dia. Penelope berdiri di lorong setelah meja resepsionis. Dari kejauhan, ia mengatakan, "Kemarilah!"

Aku berjalan ke arah gadis berambut cokelat itu seraya memperhatikan wajahnya. Ada rasa kecemasan dalam alisnya. Sialnya, Jason (remaja yang menumpang mobil temannya dini hari ini) masih belum tahu sebenarnya ada masalah besar apa yang menimpa temannya, Penelope.

Penelope maju beberapa langkah ketika aku hampir sampai padanya. Ada harum kefemininan yang bisa kucium dari parfum Penelope. Astaga, aromanya malah membuat kepalaku pusing. Aroma parfum bercampur bau keringat, bercampur ... bau alkohol.

Alkohol ... mengapa di saat yang hampir bersamaan, aku bertemu orang-orang yang ... mabuk?

"K-kau mabuk?" tanyaku menaruh curiga, menyelidik ke dalam pikiran Penelope.

"Tidak ... ah, sedikit. Aku hanya minum sedikit," aku Penelope, namun aku masih beranggapan bahwa dia berbohong. "Ah, di mana Julian? Bukankah dia menjemputmu tadi?"

Julian? Menjemputku?

Apa hubungan mereka?

Aku belum sempat menjawab pertanyaan Penelope tentang di mana keberadaan Julian ketika akhirnya Penelope bergumam singkat, "Itu dia," katanya, sambil menaruh pandangan jauh ke arah sesuatu di belakang punggungku, Julian.

Aku ikut menoleh. Yang kudapati adalah benar Julian. Berjalan ke arah aku dan Penelope.

Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu ketika Julian dengan luwesnya bermain mulut dan lidah dengan Penelope selama beberapa detik. Astaga. Apakah aku diundang ke sini hanya untuk menyaksikan pemandangan menjijikkan mereka? Alangkah baiknya aku pulang saja dan tidur di balik selimut tebal bergambar Spiderman kesayanganku ketimbang berlama-lama di sini. Cih.

Kubuang muka, dan karena darahku sudah hampir naik, entah antara sadar atau tidak, kakiku melangkah pergi ketika mereka berdua masih berciuman.

"Jason?" salah satu dari mereka memanggil. Penelope-lah yang menyebut namaku. Aku menoleh, namun berusaha untuk tidak menatap sorot mata gadis itu. Aku tidak mau dibilang cemburu atau apa, aku hanya ... kesal dengan omong kosong semua ini.

Julian melepas lengannya dari pundak Penelope. Kami bertiga terdiam sebelum akhirnya Penelope memulai bicaranya, "Maaf aku tidak memberitahumu kalau kami..." mulut Penelope berhenti bicara, lalu berkata lagi, "Sebenarnya tujuanku menyuruhmu ke sini adalah untuk memberitahumu sesuatu tentang tetangga kita, Julia..."

"Ada apa?!" sergahku.

Raut Penelope menunjukkan rasa letih dan sedih, seolah ia takut aku akan marah besar apabila aku telah mendengar sesuatu dari mulutnya.

Beberapa detik berselang, ruangan kembali senyap setelah sesudahnya, Penelope kembali berucap, "Kami hampir menabraknya. Julia masih belum sadarkan diri dari pingsannya."

Telingaku berdenging, seolah gelombang ultrasonik tengah melintasi tubuhku dan membuat kepalaku bisa meledak kapan saja.

Aku menoleh pada Julian. Anak laki-laki itu berdiri di samping Penelope dengan memasang wajah sok merasa bersalah. Dasar keparat!

"Sialan kau, Julian," umpatku di depan wajah lelaki bertubuh dua kali lebih besar dariku itu.

Sedetik setelahnya, tahu-tahu rasanya seolah aliran darahku berhenti di setiap ujung anggota badanku, memaksa keluar, memaksa untuk meledak. "Kau yang menyetir, benar 'kan?!" Lalu, tanganku terkepal. Sejurus kemudian melayang pada hidung Julian.

Julian tidak jatuh, justru aku yang malah terhuyung ke depan gara-gara kehilangan keseimbangan.

Sial. Kenapa aku melakukannya? batinku.

Mendadak, baju bagian punggungku ditarik oleh Julian, lalu dihempaskannya begitu saja ke arah sisi tembok, membuat wajahku menubruk dinding rumah sakit yang berwarna putih.

Tidak, hukum sebab-akibat itu lenyap. Julian masih belum berubah.

Julian, menghatam hidungku. Lagi. Keras sekali.

Aku tersungkur, masih dalam keadaan setengah sadar namun dengan pandangan mengabur. Dua sosok manusia masih berdiri di atasku. Salah satu di antara mereka mundur beberapa langkah, sementara yang satu memegang lenganku, membantuku berdiri.

Tangan lembut Penelope masih terpaku di lenganku meski aku sudah bisa berdiri dengan bersandar pada dinding. Bau alkohol dan parfum masih tercium, disertai bau amis darah dari hidungku. Kurasa kali ini hidungku patah.

"M-maaf, maaf Jason. Aku tidak bermaksud—"

"Diam kau, Julian. Aku tidak butuh maafmu," kataku ketus.

"Jason, apakah kau mau kami antar pulang atau kau masih bisa berada di sini lebih lama lagi?"

Aku mendesis kasar karena rupanya rasa nyeri tiba-tiba merasuki seluruh tulang hidungku. "Aku hanya akan di sini beberapa lama lagi," untuk Julia, lanjutku di dalam hati. "Aku hanya butuh P3K."

"Baiklah."[]

"[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang