“ Senang bertemu denganmu. Aku ayahnya Yeri. Panggil saja Paman Jung,” Jaehyun tersenyum tipis dan Taeyong membalas dengan anggukkan kecil.

***


Appa-ku.. tidak seseram yang kau bayangkan kan? “,  ujar Yeri setelah mengantar Taeyong sampai ke depan gerbang rumahnya. Taeyong hanya tersenyum tipis dan mengangguk samar.

“ Tidak buruk untuk dijadikan calon mertua,” ujarnya dengan mata menerawang, seolah-seolah ia memang sudah punya rencana untuk menjalin hubungan sejauh itu dengan Yeri. Yeri terkikih dan memukul lengan Taeyong.

Taeyong tahu keadaan keluarga Yeri. Yeojachingu-nya itu seorang puteri tunggal dari orangtua tunggal. Yeri hanya memiliki ayah dan setiap kali ada orang yang bertanya tentang siapa ibunya atau dimana ibunya Yeri tak akan suka dan tak akan pernah menjawabnya. Taeyong satu-satunya orang yang mengerti dirinya –menurut Yeri.

Tidak mempermasalahkan keluarganya yang kata banyak orang tidak jelas asal-usulnya. Bahkan semua orang berani taruhan kalau Yeri tidak dapat menyebutkan siapa nama ibunya. Dengan kata lain, ia hanya anak yang dibuang dan kemudian dikutip, atau argumen lain—ayahnya yang terlalu brengsek sehingga tidak tahu wanita mana yang sudah dihamilinya.

Taeyong mengacak rambut Yeri pelan, lalu menaiki sepeda berjenis hybrid bike-nya. Jarak dari rumah ke sekolahnya tidak terlalu jauh, oleh sebab itu Taeyong lebih memilih menggunakan sepeda sebagai transportasinya ke sekolah dibanding bus. Selain itu, penyebab lainnya agar ia bisa berjalan-jalan bersama dengan Yeri.  Karena mereka berbeda arah jika menaiki bus. Dan bersekolah di negara seperti Hanguk yang memiliki jam pelajaran lebih dari dua belas jam membuat mereka memiliki waktu yang sangat sedikit untuk berkencan.

***


Pagi itu, bel rumah keluarga kecil Jung berbunyi. Bukannya sang empunya tak mendengar. Hanya saja, ada urusan lain yang lebih penting dan darurat saat ini sehingga membuat Jaehyun dan Yeri memilih untuk tidak membukakan pintu dulu.

“ Apa appa perlu panggilkan dokter? “, tanya Jaehyun pada Yeri yang meringkuk di ranjangnya. Ia tampak sangat cemas melihat sang puteri yang sudah dua jam mengeluh kesakitan pada perutnya, dan tidak mendapat posisi yang rileks untuk mengurangi rasa sakitnya.

“ Tidak usah, appa. Ini.. ss.. penyakit langganan. Efeknya hanya satu-dua hari,” ujar Yeri sambil merintih menahan rasa sakit.

Ini bukan pertama kalinya Jaehyun melihat Yeri seperti ini. Tapi Jaehyun tak pernah mengingat hal ini dengan baik. Jaehyun selalu cemas berlebihan. Wajar saja. Ia takut Yeri kenapa-napa. Mungkin saja pada saat Yeri sakit perut bukanlah tanda datang bulan, melainkan yang lain. Hanya saja Yeri tidak menyadarinya.

Appa,  bisa tolong bukakan pintunya? Mungkin itu Taeyong.. “, perintah Yeri dengan suara lemah. Jaehyun menghela napas, dengan berat ia beranjak dari ranjang Yeri dan memenuhi permintaan puterinya.

***


Taeyong mulai resah dan menatap arlojinya. Seharusnya Yeri sudah tahu kalau mulai sekarang setiap pagi Taeyong akan datang ke rumahnya untuk menjemputnya dan mengajak berangkat sekolah bersama. Dan biasanya juga Yeri paling antusias kedatangan Taeyong. Tapi apa sekarang? Apakah Yeri lupa?

Ketika Taeyong memutuskan untuk menelpon Yeri, pintu gerbang yang terbuat dari kayu dan di desain seperti gerbang era kerajaan kuno Korea Selatan itu terbuka. Hanya satu daun pintu yang terbuka sedikit.

Taeyong menoleh dua kali pada pria yang keluar dari balik gerbang, sekaligus sang pelaku pembuka gerbang. Tadinya ia ingin mengeluh karena ia pikir yang keluar adalah Yeri.

“ Maaf. Yeri tidak bisa pergi ke sekolah. Dia sedang sakit,”

“ Sakit? “, kedua mata Taeyong melebar. Jaehyun melihat reaksi Taeyong yang tampak begitu kaget. Lama Jaehyun menatapnya lalu mengangguk.

“ Dia.. sakit apa? Apa aku boleh tahu? “

“ Apa kau ingin melihatnya? “. Taeyong hendak mengiyakan sebelum kemudian ia teringat untuk melihat arlojinya dulu. Kakinya baru saja mau melangkah kalau saja ia tidak sadar sekarang ini sudah hampir jam setengah 8.

Taeyong mendesah. “ Aku akan menjenguknya setelah pulang sekolah saja,” ia menunduk sejenak sebagai tanda hormat kemudian menaiki sepedanya.

Setelah kepergian Taeyong, Jaehyun kembali ke kamar Yeri. “ Appa sudah bilang padanya, dia bilang dia akan menjengukmu setelah pulang sekolah,” ujar Jaehyun dan menyodorkan segelas air putih pada Yeri yang mendudukkan dirinya.

“ Terima kasih, appa,” kata Yeri lalu meneguk air putih tersebut. “ Dia pasti terlambat gara-gara menungguku,” ujar Yeri setelah selesai meneguk minumannya dan meletakkan di atas nakas. Jaehyun menatap arlojinya.

Appa harus pergi. Jaga dirimu,”. Yeri mengangguk ketika Jaehyun menyentuh puncak kepalanya dan membelainya lembut. Jika saja ia tidak punya janji penting hari ini ia akan lebih memilih mengawasi puterinya dirumah.

***


Dalam perjalanan menuju kantornya Jaehyun yang saat itu menyusuri jalan tak jauh dari rumahnya melihat sosok yang dikenalnya sedang berada di bahu jalan dan berjongkok, tampak memperhatikan ban sepedanya. Jaehyun mengernyitkan dahinya. Kepalanya memutar ke belakang karena mobilnya masih terus berjalan.  Lalu ia memutuskan untuk berhenti tak jauh dari seseorang yabg dilihatnya tersebut.

“ Ada yang bisa dibantu? “

Taeyong mendongak ketika ada yang berdiri didepannya, menghalanginya dari cahaya matahari yang terik. Taeyong baru saja ingin beranjak tapi pria didepannya malah ikut jongkok.

Jaehyun menyentuh ban sepeda Taeyong dan menekan-nekannya. “ Bocor? “. Taeyong tertegun sejenak, lalu mengangguk. “ Ayo masuk ke mobil. Aku akan mengantarkanmu ke sekolah,” ajak Jaehyun kemudian.

Tanpa menunggu persetujuan Taeyong, Jaehyun mengangkat sepeda  Taeyong dengan kedua tangannya sendiri dan meletakkanya diatas atap mobilnya. Membuat Taeyong tertegun dengan perbuatan dan keputusan Jaehyun yang reflek.

Jaehyun membukakan pintu untuk Taeyong yang masih tertegun dengan pikiran kosong. “ Masuklah,” perintah Jaehyun sambil menggerakkan kepalanya pada pintu yang dibukanya. Dengan gugup yang ditutup-tutupi Taeyong memasuki mobil Jaehyun,  lalu Jaehyun menutup pintu dan masuk dari sisi pintu lainnya, yang khusus untuk penyetir.

***


Suasana begitu hening ketika mereka berdua dalam perjalanan menuju sekolah Taeyong. Aura kecanggungan terasa sangat pekat menyelimuti udara didalam mobil Jaehyun. Taeyong mencoba menahan napasnya sebisa mungkin. Karena –asal tahu saja— ia bahkan takut suara napasnya terdengar.

“ Kau tampak gugup,” Jaehyun tersenyum tipis sambil tetap fokus pada jejalanan meski sekilas tadi ia sempat menoleh pada Taeyong. Tanpa menolehpun Taeyong tahu ada senyum ketika Jaehyun mengutarakan tebakannya.

Taeyong mengedipkan matanya gugup dan memalingkan pandangannya ke arah lain. “ Apa aku mengintimidasimu? “, tanya Jaehyun lagi.

“ Apa? O-oh.. tidak,”

“ Maaf kalau aku membuatmu tidak nyaman,”

Taeyong tidak menjawab. Oh.. astaga.. apa Jaehyun akan menilainya angkuh? Karena dia sudah beberapa kali tidak menanggapi kalimat Jaehyun. Perlu di ketahui. Jika Yeri tidak memiliki ibu, maka Taeyong kebalikannya. Ia tidak punya ayah. Memiliki seorang ayah adalah impiannya. Tetapi disisi lain ia takut. Ia takut untuk memiliki seorang ayah. Ia takut figur yang disebut sebagai ayah itu akan menyakitinya, seperti pria yang menyakiti ibunya dan meninggalkan mereka.

Taeyong bahkan beberapa kali berpikir kalau ia tidak ingin menjadi ayah. Tapi setelah ia pikir-pikir itu tidak mungkin. Semua namja didunia ini akan berakhir menjadi seorang ayah saat mereka dewasa. Itulah mengapa berada didekat Jaehyun terasa sangat mengancam baginya, membuatnya gugup seolah Jaehyun akan menyakitinya. Karena Jaehyun adalah seorang ayah. Pria yang disebut Yeri dengan ayah.







Tbc

THE LAST [JaeYong]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin