PALASIK

306 33 20
                                    

Kisah ini akan bermula dari kata "dulu": dulu, dulu sekali, tapi tidak terlalu dulu karena satuan waktunya hanya sebatas masa hidupku, belum masuk hitungan abad. Waktu itu aku masih kecil, masih bayi. Ketika itu aku belum dinamai Surya—sekarang sudah. Aku masihlah terlalu kecil untuk dinamai, belum seminggu aku lahir. Kalau kata orang Muaro Bungo, masih bau amis.

Ibuku perawan tulen dan belum pernah melahirkan sama sekali. Jadi agak wajar dan sedikit termaafkan kalau dia agak lalai dan tidak terlalu ambil pusing dengan omongan orang tua. Puluhan tahun dia susah payah menjaga kesuciannya, jadi rasanya sikap keras kepala dan enggan patuh pada nasihat orang tua—terutama mertua—bisa dianggap sebagai hadiah atas kesuciannya.

*"Ang belikanlah anak ang gelang perak. Dak usah nak tebal nian, asal cukup di kakinyo biak aman," ujar mertua ibuku yang perempuan dengan dada terbusung.

    *"kau belikanlah anakmu gelang perak. Tidak usah yang tebal-tebal, asal cukup di kakinyabiar aman."    

"Iya, nanti," balas ibuku seadanya sambil menimang aku yang masih bayi.

*"Copeklah ang ke pasar sekarang. Ang dak takui anak ang diincar palasik?"

*"Cepatlah kau ke pasar sekarang. Kau tidak takut anakmu diincar palasik?"

Ibuku mengaguk malas saat itu.

Di sana palasik, di sini palasik, palasik di mana-mana. Sejak hari pertama aku lahir, hal pertama yang diucapkan tetangga sekitar bukan ucapan selamat. Alih-alih ikut berbahagia atas kelahiranku, wajah para tetangga cenderung waswas dan mengimbau dengan tema yang sama: palasik!

Wajar kalau ibuku kurang awas dengan kata palasik yang membuat lusinan ibu-ibu baru melahirkan giginya bergemertak. Ibuku bukanlah orang asli Muaro Bungo yang menjadi asal mitos palasik ini berkembang. Terutama dia bukan pula jenis orang berprilaku moderat. Jadi legenda asal mula palasik yang mengisap darah bayi melalui ubun-ubun kepala, dia tidak tahu. Dan legenda asal muasal palasik ini, diceritakan oleh nenekku—yang tentu saja dadanya masih terbusung karena mengingat tabiat keras kepala ibuku, yang dengan kurang ajar tidak pernah sekalipun mengikatkan gelang perak di kakiku yang konon berfungsi menangkal palasik.

Palasik, yang menjadi tema sentral kisah ini, serupa manusia tapi bukan. Bisa dianggap setan, tapi bukan. Pokoknya tak jelas. Dulunya dia adalah manusia biasa. Kemudian karena kesulitan dalam hidup, dia kemudian bertapa mencari kesaktian. Setelah sakti kebal bacok, dia ingin bisa terbang. Setelah terbang, dia ingin tak kasatmata. Setelah kebal bacok, mampu terbang, dan tak kasatmata sehingga sudah lebih menyerupai setan, dia ingin jadi manusia. Tapi tidak bisa, sudah terlambat. Jadilah dia palasik—manusia setengah bukan, atau setan setengah bukan.

Bagi mereka (sengaja pakai kata "mereka", karena kabarnya ada lebih dari satu) yang terlanjur jadi palasik, hidupnya bergelimang kesaktian tapi sekaligus ketidakjelasan. Satu-satunya yang jelas bagi mereka, adalah keharusan mengisap darah bayi yang belum empat puluh hari demi keberlangsungan ilmu hitam mereka. Mereka diharuskan mencari bayi-bayi yang kalau kata orang Muaro Bungo masih "bau amis".

Seumpama mereka, para palasik, berhasil mendapatkan "bau amis" yang dicari, mereka akan berusaha mendekat dengan berbagai cara. Entah itu sebagai tukang parkir, perwakilan kepala desa, atau yang paling sering sebagai sales. Penyamaran terakhir, yang sebagai sales, adalah yang paling sering digunakan—katanya. Karena itulah, orang-orang di Muaro Bungo punya kecenderungan menolak tiap sales yang menawarkan apa pun ke rumah, sekalipun membawa embel-embel diskon dan acap kali membandingkan harga yang mereka jual dan harga pasaran. Kecuali pada kasus tertentu: yakni kalau-kalau sales-nya punya penawaran bisa bayar di belakang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 19, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kumpulan Cerpen SayaWhere stories live. Discover now