Raja Yang Egois

94 6 12
                                    


Pria itu hanya duduk diam. Menatap kosong peti persegi panjang keemasan di hadapan.

Ekspresinya tak menentu. Kadang tertekuk hampa, tak jarang berkerut sendu.

Dalam keambiguan itu, di sisi luar pintu ruangan terdengar gaduh. Seseorang nampaknya berusaha mendobrak dan para penjaga menghalangi.

Tapi, si pria tetap kukuh dan bungkam. Hingga pintu granit berhias itu didorong paksa, wajah asing merasuk begitu saja, para penjaga masih berusaha menghadang sembari berdalih, "Pangeran Sinbad butuh waktu untuk berkabung."

Sang pendatang mendecih dan balas menggerutu, "Sinbad kini adalah raja. Dan raja tak punya waktu untuk menemui mayat sementara rakyatnya kelaparan."

"Biarkan kami berdua," Sinbad pun membuka suara. Nadanya tinggi. Mungkin jengkel.

Para penjaga saling mengendurkan barikade, bergerak menyingkir ke kanan dengan perlahan—agaknya ragu, tapi perintah adalah perintah, mengingat yang mentitah barusan adalah pemimpin tertinggi baru mereka.

Pintu granit menutup secepat terbukanya. Sinbad masih membelakangi Rasyid—si pendatang tak sopan.

"Dia adalah prajurit yang pemberani,"

Rasyid menutup mata, menghela napas maklum. Jahsy adalah ayah kandung mereka. Membesarkan keduanya sebagai orangtua tunggal penuh kasih sayang juga kedisiplinan ketat yang dibarengi tugas sebagai raja. Sebelum gugur dalam perang yang dimulai oleh Jahsy sendiri.

Rasyid tahu perang itu beralasan, tapi Jahsy tetap saja salah karena telah berani memercik amarah dari sosok yang takkan pernah mereka kalahkan. Bahkan jika keberadaan para Dewa Benu memang nyata.

Ibaratnya; jangan memercik api bila tak ingin terbakar

Sebabnya, kematian Jahsy sama sekali tak meninggalkan luka di hati Rasyid. Hanya amarah. Karena Jahsy hanya mewariskan keterpurukan untuk Kerajaan Al-Munawwar, dengan pemimpin baru yang ambisius

"Beliau mati dengan berani. Bergerak gagah membela panji. Semoga Dewa Timur menerima rohnya di alam yang lebih baik," usai berkata, Sinbad menyembah simbolis. Diikuti Rasyid. Semacam tradisi para penduduk Timur bila orang-orang terdekat berpulang.

Sinbad pun berdiri. Berbalik dengan raut serius yang didukung secara tak sinkron dengan mata sembab.

"Sinbad. Aku ingin berbicara serius."

Sinbad menggeleng. "Kita lakukan perbincangan setelah Narr Khandaq terambil alih. Sekarang pergi keluar, siapkan lima belas batalion untuk kupimpin menuju utara." Sinbad mengalihkan perhatian, berjalan gontai menuju meja kecil di sudut ruangan yang menampilkan peta mungil dari kulit yang terkuak.

Rasyid mengepalkan tinju, menggeram, lantas berlari menerjang Sinbad. "KAU GILA?" ujar Rasyid sebagai pembuka.

Sinbad tertegun. Rasyid adalah pria dan adik yang sinis, tapi Sinbad tak pernah dihardik seperti ini sebelumnya.

Rasyid terdiam, menggemerutukkan gigi, kemudian lanjut berucap berang. "Kuda-kuda kita mati ditembak panah. Ribuan prajurit juga telah gugur sejak pertempuran terakhir. Tak sadarkah kalau kau ini sia-sia?"

Sinbad memalingkan wajah, dan menjawab mantap. "Perintah adalah perintah, Rasyid. Rampas seluruh ternak kuda didesa-desa. Jadikan itu sebagai tumpangan. Kemudian pilih para pria dan remaja potensial, persenjatai mereka untuk—"

"Untuk menyerahkan nyawa? Rasyid menyela sarkastis, "Kau tak waras, Sinbad. Rakyatmu kelaparan. Mereka menderita karena perang yang tak berhujung ini. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan mereka adalah ini," Rasyid merogoh saku, mengambil sesuatu, dan mengeluarkan botol bening berisikan kintaka kulit berikat pita merah.

Metafora AstarosaWhere stories live. Discover now