“Semoga hanya dengan surat ini Mr. chance sudah mengerti maksudku” Dy berbicara pada dirinya sendiri, lalu melipat surat itu, dan memasukkannya kedalam amplop merah maroon. Surat siap untuk dikirim melalui kantor pos.

Angin bertiup semakin kencang, udara juga semakin dingin, baru saja Dy memutuskan untuk beranjak tidur, lilinnya sudah padam tertiup angin, buru-buru ia menaiki tempat tidur, meringkuk dalam selimut tebal, sambil menebak-nebak bagaimana rupa Mr. Chance, apakah ia pria yang tinggi besar? Berjenggot atau berkumis? Tampan atau biasa saja? Ramah atau justru menyeramkan? Ia benar-benar tidak sabar untuk bertemu dengannya.

***

Dy berlari mengejar kereta kuda petugas pos yang lewat didepan rumahnya. Mungkin karena hentakan kaki kuda yang terlalu keras ia tidak mendengar teriakan Dy dibelakangnya.

“PAMAAN! BERHENTI” teriak Dy sambil bersusah payah mengangkat gaunnya yang lumayan berat agar tidak terinjak dan sesekali menahan bonnet dikepalanya agar tidak jatuh. Akhirnya sang kusir menyadari hal itu, ia pun berhenti.

“Oh, maafkan aku, aku tidak mendengarmu. Ada yang bisa ku bantu nak?” Tanya petugas ramah sambil turun dari kereta kudanya

“Ini, aku ingin mengirim surat” sambil menyerahkan suratnya dan beberapa keping uang logam Poundsterling.

“Hmm… Parks Road ya? Tidak terlalu jauh”

“Kira-kira, kapan akan diantar, paman?”

“Besok. Surat yang kami terima hari ini akan kami antar keesokan harinya”

“Baiklah. Terima kasih banyak paman”

“Sama-sama nak. Ini sudah menjadi tugasku. Baiklah, kurasa aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa!” ia lalu kembali mengendarai kereta kudanya.

***

Murid yang datang ke sekolah tidak banyak, mungkin karena hujan lebat semalam, beberapa anak harus membantu orang tua mereka membereskan rumah, dan dengan senang hati mereka melakukannya. Saat itu, sekolah masih menjadi tempat menuntut ilmu yang menyeramkan. Dibeberapa sekolah umum, guru benar-benar memaksa muridnya untuk belajar, kesalahan sedikit saja, guru tidak segan-segan untuk memukul mereka dengan rotan, bagi mereka para guru, itu adalah tindakan bijak agar murid jera sehingga tidak melakukannya lagi.

Gadis bertubuh ramping yang mengenakan gaun merah muda berjalan  mendekati Dy yang duduk sendirian dibangkunya.

“Hai Dy,” sapa gadis itu

“Hai, Melissa” balas Dy dengan senyuman

“Kau sudah dengar berita terbaru?”

“Berita terbaru? Berita apa? Aku tidak berlangganan surat kabar, jadi aku tidak tahu”

“Ini adalah berita mengerikan. Baru beberapa hari kita mulai belajar disekolah, sudah ada satu orang murid yang meninggal” jelas Melissa dengan raut wajah yang sedih

“APA?! Kau bercanda, kan? Siapa yang meninggal?” Dy benar-benar terkejut

“Oscar Travolta, dia murid sekolah umum di Skotlandia, kabarnya ia dipukul dengan rotan hingga─”

“Stop! Jangan diteruskan. Aku sudah bisa menebak kelanjutannya” Dy memotong penjelasan Melissa sambil menutup telinganya

“Hmm, ya, kau tahu sendiri kan. Sebenarnya, aku merasa tersiksa hidup di zaman pemerintahan ratu Victoria. Oh Tuhaann, kenapa masa remaja ku harus begini? Huh” Melissa menopang dagunya diatas meja

"Tersiksa? Kenapa?”

“Ya, tentu saja. Terutama kita perempuan, setiap pagi harus melaksanakan ritual berpakaian yang rumit, mulai dari chemise, drawers, stockings, garter, buckle yang harus dipasang terlebih dahulu, lalu corset, crinoline, petticoat, bodice, bonnet, ahh dan masih banyak lagi. Belum lagi permasalahan sosial,” Melissa mulai berbicara dengan pelan dan setengah berbisik, “Kau pasti menyadari kecurangan-kecurangan yang dilakukan Ratu.. ah aku malas memanggilnya dengan sebutan seperti itu, maksudku Victoria, ya Victoria, dia hanya santai-santai saja disinggasananya, sedangkan rakyat kecil dipaksa bekerja keras namun tidak mendapatkan upah yang sesuai dengan jerih payahnya. Apakah itu adil? Sungguh tidak adil. Beruntung kita termasuk keluarga menengah, Dy. Aku tidak bisa membayangkan mereka yang tinggal didaerah kumuh, penyakit menular, belum lagi jika mereka kelaparan,” jelas Melissa panjang lebar

Scarlet Letter (Not Greyson's Love Story)Where stories live. Discover now