20 | a girl who was slapped

Mulai dari awal
                                    

Mrs. Larson menggeser pandangannya beberapa senti dari Penelope lalu ke arahku. "Oh, dan kau, Mr ...?"

"MacMillan. Jason MacMillan," sahutku tiba-tiba.

"Dan kau dari kelas ...?" Sial. Mrs. Larson sepertinya tahu bahwa aku bukan berasal dari kelas ini.

"Biologi."

"Baiklah, Mr. MacMillan, sepertinya kau salah kelas."

"Ya, aku juga merasa begitu."

Sontak, seisi kelas tertawa, termasuk Penelope. Aku melirik padanya, sial, dia benar-benar tidak punya perasaan.

"Jadi, kapan kau akan keluar dari kelas ini lalu pergi ke kelas Biologi, Mr. MacMillan?" Mrs. Larson terus menanyaiku seolah ia sedang berusaha membuat lelucon bagi seisi kelas. Kuedarkan pandangan ke seluruh wajah anak di kelas ini yang sejak tadi menoleh padaku. Sial sekali lagi, mereka tertawa cekikikan seolah aku ini badut yang memang diperuntukkan untuk lelucon kelas rendahan.

Aku kembali pada Mrs. Larson yang masih menunggu jawaban dariku. "Baiklah, saya akan keluar. Maaf." Kugendong tasku, lalu dengan perasaan kacau sekaligus terburu-buru, aku beranjak dari tempatku duduk.

Nahasnya ketika aku tengah melewati deretan kursi para anak laki-laki, salah satu dari mereka memalangkan kaki tepat ketika aku melangkah di depannya.

Brukk.

Aku tersandung, hampir-hampir jatuh. Seisi kelas tertawa lagi, dan aku mulai merasa mual. Kalau saja aku mempunyai cukup nyali untuk mencegah agar harga diriku tidak terinjak-injak cukup keras, aku mungkin sudah menonjok anak lelaki berambut pirang yang menjegalku.

Mrs. Larson melipat lengannya di depan dada sementara terus mengawasiku dengan sorotan yang menusuk, menungguku berjalan hingga ke luar kelas.

---

Malam harinya, entah mengapa aku merasa begitu lelah akan hari ini. Pelajaran kedua setelah kelas Biologi adalah olahraga (yang ini aku sudah keluar dari kelas Penelope).

Aku pikir tubuhku tidaklah cukup bugar karena pada ronde ke dua permainan baseball dimulai, aku hampir pingsan karena kehabisan napas. Untung saja permainan segera berakhir karena kalau tidak, bisa-bisa seluruh anak di kelasku pasti langsung membatin, Jason yang cupu.

Pukul delapan malam, seharusnya aku belajar. Tapi, kurasa sebaiknya aku tidur saja. Tidak belajar selama satu kali semalam tidak akan mempengaruhi bagaimana nasib masa depanku kelak, bukan? Jadi, yah, kutarik selimut, kuambil ponsel, mengecek notifikasi sebentar (sayangnya tidak ada sama sekali), lalu kumatikan ponsel, dan memejamkan mata.

Lima menit. Tidak bisa tidur. Lalu kuputuskan untuk membayangkan sesuatu-adegan film laga yang biasanya aku tonton (dimana di sini, aku-lah yang jadi pemain utamanya).

Nihil. Sepertinya aku memang harus belajar, batinku.

Kurasakan ponsel di bawah bantalku bergetar, sebuah panggilan masuk.

Segera setelahnya, aku mendapati bahwa rupanya Seth-lah yang menelepon.

Incoming call from Stupid Seth.

Kutekan tombol penerima panggilan.

"Apa-apaan?!" Bukannya 'halo' atau kata sapaan lain yang kuserukan pertama kali layaknya orang lain pada umumnya, aku malah mengumpat di telepon. Ya, tipikal kakak pada adiknya—si pengganggu sialan di malam hari. Kenapa pula dia menelepon padahal kamar kami hanya berbatasan sebidang tembok selebar kurang lebih sepuluh senti?!

"Ke kamarku. Sekarang. Cepat!"

"Ada ap—"

Tut tuut tuut...

Sebenarnya aku malas untuk bergerak lagi. Tapi, mendengar Seth berbicara di telepon dengan cara berbisik dan itu terdengar seperti ia sedang dalam keadaan darurat, maka aku terpaksa beranjak.

Dengan lunglai, aku berjalan ke kamar Seth, kubuka pintunya. Segera setelahnya, aku bisa melihat Seth yang berjongkok diam di tepian jendela.

"Seth?!" panggilku.

Anak itu menoleh. Tiba-tiba dia berdiri dan menggaet bahuku, memaksaku menuruti gerakannya, berjongkok di sisi jendela kamar yang menghadap ke luar.

"Ada apa, sih?" tanyaku.

Ssst! Seth mendesis sejurus kemudian. Tatapannya menjurus. Tajam. Mendelik. "Lihat itu," Telunjuk Seth menghadap ke luar jendela. Refleks aku langsung mengikuti gerakan adikku. "Dia di sana."

Tiba-tiba tubuhku membatu. Aku terus berfokus pada seseorang di seberang sana. Di rumah itu.

Julia. Duduk diam di sebuah sofa.

Lalu ada Nyonya Carpenter muncul dari balik pintu ruangan lain, diikuti suaminya.

Seth menggumamkan sesuatu, namun aku tidak punya cukup konsentrasi tinggi untuk menghiraukan omongan Seth. Semua pikiranku tiba-tiba bercampur aduk menjadi satu. Bayangan semua orang terlintas cepat, seperti kereta api yang menyala di malam hari. Dari mulai kejadian dimana aku sering bertemu Julia dengan membawakan milkshake taro, lalu adegan dimana Nyonya Carpenter selalu menyorotiku sengit, Tuan Carpenter yang misterius, dan lagi ... Julia ... Julia yang tiba-tiba menghilang serta tindakan-tindakan konyolku yang dilatarbelakangi oleh menghilangnya gadis itu secara tiba-tiba...

Segalanya membuatku pusing...

"M-mengapa Julia bisa ada di sana?" bisikku selepas aku terlarut-larut dalam kebingungan.

"Kau tahu, Jason, tadi siang aku juga melihat Julia," Seth berbisik lirih sekali (aku sampai harus mendekatkan telinga beberapa senti ke arahnya).

"Di mana? Apa kau sempat bicara padanya?"

"Aku melihat seorang perempuan bertudung dengan setelan hitam berjalan masuk ke mobil yang terparkir di depan rumah mereka siang tadi. Awalnya aku mengira itu Nyonya Carpenter," Seth berhenti bicara. Refleks kutolehkan wajahku padanya, memunculkan mimik wajah yang antusias sekaligus tertekan agar Seth segera melanjutkan bicaranya. "Namun, kau tahu? Ketika aku menyerukan nama Julia, perempuan itu menoleh. Aku kaget sekali ketika itu benar-benarlah wajah Julia. Sayangnya ia segera masuk ke mobil, dan secepat kilat, mereka pergi. Aku yakin sekali orang lain di dalam mobil itu adalah orangtua Julia-atau siapa pun itu—yang berkendara."

Seth selesai pada ceritanya. Kami lalu kembali pada ruangan yang berisi sebuah keluarga di seberang sana.

Aku melihat pergerakan Nyonya Carpenter yang mendekati Julia, lalu berhenti di depan gadis itu. Satu detik, dua detik ... wanita itu menampar Julia.

Seth terkesiap dan aku juga. Kami sama-sama kaget, menutup mulut dengan telapak tangan, tidak percaya dengan omong kosong dan kemustahilan yang baru saja terjadi.

"S-Seth ... M-mengapa wanita itu melakukannya?"

"Seharusnya tadi siang aku tidak menyerukan nama Julia."

Keningku berkerut. "A-ap—"

"Nyonya Carpenter mungkin marah pada Julia karena aku telah mengetahui kebohongan mereka." []

" []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ten Rumors about the Mute GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang