TIGA1 - RULY

191 20 5
                                    

"Ra, yakinko (kamu yakin) mau temani dia?"

"Iya, kasihan. Apalagi mabok begitu."

"Oh, iya. Saya pulang dulu numpang mobilnya Radit."

"Oh, iya, hati-hati, Ces. Takutka' nanti kenapa-napako (kamu kenapa-napa)."

"Saya pulang dulu. Ingatko nah! Janganko macam-macam!

"Siap, Ibunda Ratu!"

"Jangan ketawa, Ra. Saya serius ini!"

“Iya, pulang sana. Saya ngantuk."

Ra?

Elvira?

Suara-suara itu perlahan menghilang. Namun, pening ini masih saja mendera. Saya meringis menahan sakit, ini di mana? Suara-suara ramai dari ruangan sebelah semakin menjauh digantikan keheningan. Yang mendekat hanyalah suara detak heels bertemu ubin dan derit pintu saat seseorang membuka bingkainya.

Saya di mana?

"Hei, kamu udah bangun? Sorry, aku nggak tahu kamu tinggal di mana, orang-orang di kondangan tadi nggak ada yang kenal kamu."

Mata ini masih mengabur meski saya berusaha memicingkan mata. Siluet wanita bertubuh semampai itu mendekat.

Elvira, kah?

"Jadi, aku terpaksa bawa kamu ke sini."

Jemari halus wanita itu menyentuh pipi ini. Hangatnya terasa hingga ke balik kulit.

Elvira kah yang menyentuh saya?

"Pipimu dingin. Aku ambilkan handuk hangat, ya." Wanita itu hendak berbalik tetapi sigap, saya menarik tangannya hingga dia jatuh terduduk di sebelah saya.

"Jangan pergi, di sini saja."

Saya tidak tahu kenapa mendadak melow seperti ini, tetapi keberadaanya membuat hati ini bahagia. Dia pasti Elvira. Dia memilih bersama saya. Dia ada di sini. Meninggalkan resepsinya.

"Aku nggak ke mana-mana, kok." Dia tergelak menahan tawa. Namun, bagaimana mungkin gaya bicara Elvira berubah? "Kamu lucu. Aku hanya mau ngambil handuk," lanjutnya dengan raut wajah menggemaskan.

Saya menegakkan punggung, mencoba bersandar. Namun, yang terlihat hanyalah ruangan yang berputar. Kalau tahu akan begini, saya tidak akan minum-minum.

"Ini di mana?" Saya kembali bertanya dengan suara lirih. Wanita yang saya yakini Elvira itu berdeham pelan lalu menghela napas.

"Ini di studio musik milik temanku. Namanya Hope Music Studio. Di sini kami latihan hampir setiap hari." Dia mengangkat kedua bahu, lalu menoleh ke saya. "Kita nggak tahu rumahmu, jadi kita bawa ke sini."

Saya bingung, ada apa dengan Elvira? Sejak kapan dia punya teman yang memiliki studio musik? Kenapa dia bersikap seolah-olah tidak kenal saya?

Wanita itu melepas sepatunya lalu menyilangkan kaki. "Duh, leganya." Dia menggerak-gerakkan kakinya, tampak puas sekali setelah melepas high heels-nya.

Tatapan saya jatuh pada benda berujung runcing itu. Terkadang saya heran dengan wanita yang senang sekali menyiksa diri untuk tampil menarik. Bagi saya, tanpa hak tinggi pun Elvira selalu memesona. Terlebih saat ini, dress pendeknya tersingkap memperlihatkan paha mulusnya, juga dengan lengan putihnya terekspos dari gaun tanpa lengan yang dia kenakan.

Entah mengapa saya merasa malam ini, Elvira sungguh seksi. Dia sebenarnya jarang sekali berpakaian terbuka, tetapi malam ini kenapa memilih model minimalis kekurangan bahan?

SAVIORAWhere stories live. Discover now