Bagian Awal

2.8K 292 79
                                    

CHAPTER 1/2

.

HAPPY READING

.

Dingin menusuk kulit.

Sunyi, sepi... Aku benci.

Tatapannya menusuk jauh jantungku yang detaknya pun mulai terasa sakit.

Bagaimana aku harus memulai?

Bagaimana aku harus mengakhiri tanpa menyakiti?

Kuremat tanganku di sisi kursi. Mencari cara untuk hilang, namun tidak pergi.

.

Aku tidak tahu.

Aku tidak tahu.

Aku tidak ingin tahu.

Kututup semua indra. Kuabaikan semua tanya.

Harus bagaimana aku sekarang?

Kemana aku harus berkelana?

Jika sang jarum kompas mulai menunjukkan keraguannya.

.

Johnny Pov.

Aku meninggalkan rumah dengan dasi yang dipasangkan Ten. Rapi, namun mencekik leherku terlalu kuat. Tidak aku beri dia keluhan, tidak aku beri dia protesan. Cukup dengan pergi saja akan membantuku merasa sedikit longgar. Semudah itu.

Di kantor, semua orang menyapaku dengan hangat. Bukan karena aku memperlakukan mereka dengan hangat pula, namun karena sebuah lencana kecil di kerah jas formal yang membuat perbedaan kasta terlihat jelas. Aku pemimpin, mereka bawahan. Bawahan harus memperlakukan pemimpin dengan baik. Dan pemimpin, akan melakukan hal yang wajar pada bawahannya. Tidak terlalu ramah, tidak terlalu baik, hanya biasa-biasa saja.

Ruangan sudah dalam suhu yang pas saat aku masuk. Dokumen yang menggunung di meja tak lagi jadi bahan erangan, sudah biasa. Aku duduk di seberang meja. Mulai mengerjakan apa yang seharusnya kukerjakan.

.

Ten Pov.

Aku meninggalkan rumah dengan dasi yang kupasang sendiri. Rapi, sempurna. Tak lupa aku kunci pintu dari rumah yang kosong. Satu tangan kujalin dengan tangan kecil Mark yang berlonjak girang di hari ke limanya di sekolah. Buah hatiku, duniaku.

Setiap pagi sejak beberapa hari lalu, kulihat dia selalu berlari senang masuk ke dalam sekolahnya. Melepaskan tangannya dari tanganku dengan begitu mudah untuk meraih tangan teman-temannya yang berteriak tak kalah antusias. Ada rasa sesak kala tak kurasakan lagi hangat tubuhnya dalam jangkauan. Aku tak terbiasa tanpanya sejak dia lahir. Aku masih tak bisa percaya, bertahun-tahun telah terlewati dengannya.

"Appa, saranghae!"

Mark berlari ke arahku lalu mencium bibirku seperti biasanya.

"Eoh... Sudah sana. Belajar yang rajin dan buat daddy-mu bangga."

Jagoan kecilku mengangguk antusias lalu kembali berlari masuk ke dalam sekolahnya.

Saat itu, aku telah terlambat kerja.

"Kau terlambat, Ten."

"Ne, sepertinya akan terus seperti itu."

Doyoung, teman kerja satu departemenku, menyapa sambil mengetik pekerjaannya di komputer. Ia melirik, melewati sekat yang memisahkan meja kami.

"Apa Mark rewel?"

"Tidak. Kalau ada seseorang yang rewel, itu pasti aku. Hahaha..."

"Dasar kau ini. Dia 'kan sudah besar jadi wajar kalau mulai suka bermain diluar ketimbang denganmu."

I don't love you  | JohntenWhere stories live. Discover now