Chapter 1

1.7K 216 9
                                    

~"Mungkin aku yang terlalu larut dengan keyakinan, berharap dirimu sudi mengerti. Aksaraku, sudah ku katakan melalui udara. Aku rindu..."

***

Minggu menyebalkan ini Haru habiskan untuk mengerjakan tugas-tugas kelompok di rumah, tapi apa yang dilakukan anggota kelompoknya membuat ia berang sendiri. Yuki tengah fokus membaca majalah, sedangkan Stefan malah asik sekali bermain zuma di ponselnya. Haru mulai mengumpati Pak Nigi yang bisa-bisanya membuat ia satu kelompok dengan mereka. Hanya dengan Yuki saja tidak apa-apa, masalahnya adalah Stefan. Dua-duanya itu seperti kutub yang sulit disatukan. Layaknya mendapati problema tiada ujung, Haru memijat dahinya tidak kuasa. Mereka kan bertetangga, seharusnya bisa hidup berdampingan secara rukun. Benar-benar tindakan yang tidak terpuji.

"Bisakah kalian membantuku dan tidak sibuk dengan urusan masing-masing?"

"Suruh dia keluar dari kelompok kita dulu, baru aku mau membantumu." Yuki menunjuk Stefan seolah menyalahkan hingga membuat laki-laki itu jengkel bukan main.

"Kau saja yang keluar!"

Kenapa pula Stefan jadi sangat menyebalkan?

Yuki ingin memukul kepalanya tapi urung, beralih merebut laptop hitam milik Haru. "Mana yang harus ku kerjakan?"

"Tidak banyak sih, hanya tinggal saran dan kesimpulan.

"Ini mudah sekali, tapi kenapa kau tidak kunjung selesai mengerjakannya? Kau bodoh sekali." Dia kena juga.

Beruntung Yuki seorang perempuan, jika tidak maka Haru sudah pasti melayangkan buku tebal yang dipegangnya. Ini sudah mendekati pukul setengah satu, waktu yang tepat untuk tidur siang. Dan berhubung tugasnya telah beralih tangan, maka tanpa rasa bersalah ia langsung merebahkan diri di atas ranjang. "Aku mau tidur siang, jangan mengangguku."

"Kenapa kau tidak mati saja, Haru?"

"Sst, berisik!"

Baiklah, Haru tidak bisa diganggu. Yuki memperhatikan Stefan yang masih memainkan ponselnya, ia jadi jengkel sendiri sembari berusaha menarik laki-laki itu sampai berada tepat di sebelahnya. Posisinya sedikit memberi ruang untuk Stefan. Bagaimana tidak? Yuki melilit lehernya menggunakan tangan kiri tanpa menyadari kepala Stefan yang begitu dekat dengan bahunya, terlihat seakan tengah menyender. "Setidaknya kau harus membantuku, Jabrik!"

Stefan cukup menikmati, ia bahkan tidak segan menyentuh pinggang seksi Yuki. Sial, dia masih tetap tidak menyadari. "Kau sudah bisa mengerjakan itu sendiri, lalu kenapa juga harus menyuruhku?"

"Kita ini masih satu kelompok, bodoh!"

Letupan-letupan itu hadir di tengah kebisuan. Yuki lebih memilih fokus menyelesaikan tugas kelompok, tanpa mempedulikan pancaran tajam yang diberikan Stefan untuknya. Mereka memang sering bertengkar, tetapi di luar itu satu sama lain saling mencari. Yuki merasa aneh jika dalam satu harinya tidak bertemu seorang Stefan, dia menjadi pengacau. Selama ini ia tidak begitu sadar akan segala tingkah laku Stefan yang selalu mencairkan dirinya ketika dalam keadaan resah, cintanya bertepuk sebelah tangan sendiri. Prioritas Yuki selalu Log, dan rasanya sudah tidak tersisa hati lagi untuk yang lain.

Stefan mengamati wajah cantik Yuki dari samping cukup lama. "Sebenarnya kau dengan Logic memiliki hubungan apa?"

Tidak biasanya, Yuki spontan mengeryit heran. "Kami bersahabat."

"Benarkah?" Sinyal-sinyal menjebak, Yuki tidak dapat berpaling dari iris karamel Stefan. Sekarang baru sadarlah ia jika posisi mereka cukup mesra. Si perempuan langsung meradang, kemudian Stefan harus menerima tamparan atas tindakannya. "Kurang ajar! Ini sakit sekali, Yuki!"

ApologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang