6 - Patah Hati Pertama

22 6 3
                                    

Sudah satu jam, namun Bara belum kunjung siuman. Faiz dan Namira masih menunggunya di kamar inap sementara di IGD.

“Mir, lo kenal dia?” Tanya Faiz.

“Dia Bara, temen gue dulu waktu SD. Sekarang gak tahu, deh, dia masih inget atau nggak.” Namira sedari tadi hanya diam memperhatikan Bara yang terbujur kaku di ranjang. Kata dokter, lukanya tidak begitu parah. Lengan kanan Bara terkilir, kakinya memar karena tertimpa vespanya sendiri, dan untungnya Bara memakai helm, jadi benturan dikepalanya tidak parah. Tapi dokter menganjurkan untuk sementara waktu dirinya di rawat inap, agar keadaannya lebih terkontrol sehingga Ia bisa cepat pulih.

“Sudah ada jawaban?” Tanya Namira. Faiz yang sedari tadi menghubungi orangtua Bara, belum kunjung di respon. Mungkin bapaknya sedang sibuk mengotak-atik mesin motornya yang masih rusak.

“Sepuluh kali nelpon, satu pun gak diangkat. SMS juga belum di bales.” Jawabnya.

“Coba kontak kakaknya.” Usul Namira.

“Siapa namanya?”

“Duh, gue juga nggak tahu..” Namira menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Walau gadis itu mengenal Bara sejak SD, tapi Ia tidak begitu kenal dengan keluarganya. Satu yang pasti, dia hanya ingat Bara memiliki seorang kakak perempuan, tapi entah siapa namanya.
“Nah, akhirnya!” Setelah beberapa saat lalu Faiz menimang-nimang ponsel Bara, akhirnya kini berdering. Telepon masuk dari bapaknya.

“Assalamu’alaikum, pak? Ini dengan Faiz, teman sekolahnya Bara.”

“Di mana Bara sekarang?” Dari ujung telepon, suara bapak terdengar parau.

“Sekarang ada di Rumah Sakit Medika. Bapak segera kemari ya, pak.”

“Ok, saya kesana. Terima kasih, nak Faiz..”

“Mari, pak.” Faiz menutup teleponnya.

“Gimana?” Namira harap-harap cemas.

“Beres. Bapaknya menuju ke sini, kita tunggu aja.”

“AU!” Bara. Akhirnya Ia siuman. Bara mengaduh kesakitan saat hendak menggerakan lengannya yang dibalut perban putih itu.

“Alhamdulillah, sadar juga..” Faiz segera mendekati Bara, begitu juga Namira. Gadis berwajah ketimuran itu sangat senang melihat Bara sudah siuman, Ialah yang paling cemas dengan kondisi Bara.

“Kalian siapa?” Tanya Bara samar-samar.

“Gue, Faiz. Dan ini Namira. Kata dia, lo teman SDnya. Namira ngeliat lo waktu kecelakaan, dan untungnya gue juga ada di tempat, jadi bisa bawa lo ke rumah sakit.” Jelas Faiz.

“Maaf, jadi merepotkan. Terima kasih ya, Faiz, Namira.” Bara tersenyum.

“Nggak masalah. Oiya, tadi Faiz sudah mengubungi bapak kamu, dan sekarang beliau sedang menuju ke sini.” Ucap Namira.

“Kamu benar-benar nggak kenal aku ya?”
Bara terdiam ketika gadis itu bertanya tentang dirinya. Bara sama sekali tidak ingat bahwa Namira adalah teman SDnya. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah Audi. Lagi-lagi mantan pacarnya itu tidak bisa lepas dari ingatannya. Jangan-jangan seluruh otaknya sudah terisi penuh dengan bayang-bayang Audi sehingga Ia lalai dalam berkendara dan membuatnya harus masuk IGD.

“Tidak apa-apa. Tidak usah dipaksakan untuk mengingat-ingat siapa saja teman SD kamu. Mungkin, akunya saja yang terlalu tertutup, jadinya kamu tidak kenal.” Namira menjelaskan. Sebenarnya gadis itu sangat menyayangkan, mengapa lelaki yang sejak dulu selalu Ia perhatikan itu tidak mengenali dirinya.

“Tunggu, tunggu. Apa saya amnesia?” Tanya Bara tiba-tiba.

“Oh, nggak, kok. Kata dokter, kepala lo aman. Walau ada sedikit benturan, tapi itu tidak parah. Jadi nggak mungkin lupa ingatan. Hehe” Jelas Faiz sambil terkekeh.
Bagaimana Ia bisa amnesia? Sedang pikirannya saja masih menuju pada Audi. Bahkan setelah siuman, Bara masih terbayang-bayang dengan isak tangis perempuan itu tadi pagi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 04, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BackrestWhere stories live. Discover now