Dua

244K 10K 204
                                    

Berbagai pertanyaan berseliweran dalam kepala Ara. Siapa sebenarnya sosok yang menjewer telinganya dan membawa dirinya ke ruang guru seperti ini? Laki-laki yang Ara perkirakan berusia di awal dua puluhan itu terlihat arrogant dan sangat serius. Ara tak menyukai tipe laki-laki seperti ini, sangat jauh dengan tipe cowoknya yang ramah ala prince charming. Jenis laki-laki di depannya ini mungkin tipe yang membosankan dan kaku, tipe yang pasif jika menyukai seseorang.
“Lo siapa sih?”
Ara melipat kedua tangannya di dada, dia tak menyadari jika sedang berbicara dengan guru baru di sekolahnya. Sementara Deo hanya menatap Ara dengan pandangan datar. Ternyata benar, Ara ini biang onar di SMA 39. Lihat saja kelakuannya, berbicara dengan bahasa yang tidak sopan, bahkan dengan orang yang baru pertama kali ditemuinya.
“Kalau sekolah hanya untuk tidur, lebih baik tidak usah sekolah!”
“Suka-suka dong, kok lo yang repot sih?”
Deo diam sejenak, laki-laki itu menatap tajam pada Ara. Kesabarannya hampir habis, Ara telah menaikkan emosinya di hari pertamanya mengajar. Dia ajaib, baru kali ini Deo bertemu dengan cewek seperti Ara, bahkan di kampusnya dulu tak ada yang seperti Ara. Semuanya bersikap manis, walau ada sebagian yang beringas tapi tak ada yang sekurang ajar Ara.
“Dengar, saya adalah guru baru yang menggantikan Bu Rukmi, jadi, bersikaplah sopan kalau kamu tidak ingin mendapatkan nilai di bawah KKM dari saya.”
Ara membatu, menatap Deo dengan pandangan tak percaya. Guru baru? Dia meringis, baru sadar telah melakukan kesalahan besar yang mengancam kelanjutan hidupnya di SMA 39, lebih lagi catatan pelanggarannya di sekolah ini hampir mencapai ambang batas. Ara menghirup napas dengan susah payah. Oksigen seperti turut menghilang saat ini juga.
“Eh? Serius?”
“Menurutmu?”
Glek! Ara menelan ludahnya. Bukankah ini gila? Apa yang telah diperbuatnya? Berbicara kasar dan tidak sopan pada guru barunya itu.
“Ya, maaf deh Pak,” kata Ara singkat menutupi keterkejutannya.
Deo menatapnya sengit, laki-laki itu tak habis pikir, mengapa di SMA ini memiliki murid seperti Ara. Minim kesopanan dan tata krama. Padahal Deo tahu benar, sekolah ini termasuk salah satu sekolah dengan tata krama yang cukup dijunjung tinggi. Tapi melihat Ara ini benar-benar menguji kesabarannya, padahal Deo adalah tipe laki-laki dengan pengendalian emosi yang baik, tapi dengan Ara, emosinya seperti tak terkendali. Laki-laki itu menulis sesuatu di selembar kertas yang ada di meja kerjanya.
“Saya akan menulis catatan ini untuk kamu sebagai bukti kamu telah melakukan pelanggaran di kelas saya. Sekali ini saya maafkan, tapi ingat, jangan harap kamu bisa tenang menghabiskan masa sekolahmu di sini kalau kamu masih sibuk membuat keonaran! Ini bukan sekolah keluarga kamu, jangan seenaknya di sini!”
“Oh oke, saya permisi!”
Deo mengelus dadanya. Cewek itu ke luar dari ruang guru dengan muka sebal, membuat guru baru marah di hari pertamanya mengajar bukan situasi yang baik untuknya apalagi kata-katanya tadi yang tak sopan sama sekali. Ara tahu, guru itu pasti akan menandainya jika kelak dirinya melakukan pelanggaran lagi, sudah pasti akan ada hukuman berat yang siap menantinya, cewek itu mendengkus, bodo amat, batinnya. Sebenarnya mengingat wajah songong guru baru itu juga membuatnya gregetan sendiri, wajah datar, minim ekspresi, kata-kata yang singkat tapi menusuk, apalagi yang lebih buruk dari itu?
***
Hari senin memang membuat pelajar seperti Ara malas, benar kata banyak orang senin adalah monsterday, ditambah lagi dengan mata pelajaran yang sangat membosankan. Ekonomi? Ara berdecak, mata pelajaran menyebalkan dengan guru baru yang sudah dibuatnya kesal di hari pertamanya mengajar—satu minggu yang lalu. Paket lengkap yang semakin membuat Ara ingin mengiyakan naluri membolosnya, andai tidak ingat dengan perkataan Bu Jasmin—konselor di sekolahnya, kalau sekali lagi dirinya membolos mata pelajaran Ekonomi, Bu Jasmin akan memberinya skors.
Senin dengan sejuta masalah dan keluhannya sering menjadi momok besar bagi Ara, lebih lagi Ara harus bertemu dengan guru baru itu. Satu-satunya hal yang menyenangkan di hari senin adalah upacara. Jika kebanyakan siswa malas untuk upacara, Ara sangat bersemangat untuk hal itu. Ketika upacara cewek itu bisa melihat wajah Reynald selama tiga puluh menit utuh. Cowok yang sudah ditaksirnya hampir tiga tahun ini. Setidaknya senin masih meninggalkan hal baik dari sekian puluh hal menyebalkan yang lahir di hari itu.
Ara berjalan bersemangat menuju lapangan saat ekor matanya menangkap Reynald sedang bergerombol bersama teman satu gengnya, ada Dido dan Rain. Sebenarnya Ara tidak mengenal Dido dan Rain, yang Ara tahu mereka adalah kumpulan cogan yang banyak diidolakan di sekolahnya. Memang, baik Reynald, Dido maupun Rain bukan cowok yang se-perfect serial drama Korea yang biasanya Ara tonton hingga larut, tapi bagi anak-anak di SMA 39, Reynald dan teman-temannya adalah gambaran cogan yang tidak akan membuat malu jika diajak ke kondangan atau sekedar dipamerkan pada keluarga. Lagipula siapa yang tidak senang melihat cogan? Ara yakin semua cewek normal pasti senang jika bertemu dengan cogan—cowok ganteng, tapi Ara menggeleng sambil terkekeh geli, pemikirannya konyol sekali. Dipamerkan pada keluarga? Cewek itu mendengkus.
"Pagi Rey?"
Ara menghampiri Reynald yang terlihat sedang bergurau dengan Dido dan Rain. Ara tak pernah malu untuk menyapa Reynald, meski mereka belum terlalu akrab mengenal tapi beberapa kali memang Ara pernah mengobrol dengan Reynald, mereka pernah sama-sama menjadi pengurus OSIS saat kelas dua dulu, hal yang membuat Ara lebih banyak tahu tentang Reynald selain mengamati Reynald secara terang-terangan selama ini. Ara hanya akan menyapa dan berkelakuan sok akrab pada orang-orang yang membuatnya nyaman dan orang-orang yang sudah lama mengenalnya, sedangkan pada mereka yang hanya sekilas lewat dalam hidupnya, Ara tak terlalu bisa mengolah kata untuk mengakrabkan diri.
"Pagi Ara."
Seutas senyum muncul dari bibir Ara yang selalu kehilangan kontrol diri untuk tidak tersenyum di hadapan Reynald. Kadang, jika bertemu dengan Reynald pun kata-kata yang susah payah disusunnya raib entah ke mana. Mendadak Ara menjadi kicep. Emosinya sering meledak-ledak, hingga membuat cewek itu sulit untuk mengendalikan diri. Entah itu emosi marah ataupun bahagia, semuanya sulit untuk dikendalikan jika sudah berada dalam situasi tertentu, seperti berhadapan dengan Reynald misalnya.
“Duluan ya."
Ara mengangguk melihat Reynald berlalu. Ara masih tersenyum sambil melompat tidak jelas bahkan hingga punggung Reynald tak lagi terlihat. Cewek itu terus menatap sisa bayangan Reynald yang raib tertelan kerumunan teman-temannya yang bersiap untuk upacara di lapangan. Reynald memiliki pengaruh besar di masa SMA Ara, membuat cewek itu merasa nyaman berada di dekatnya. Membuat dirinya kadang kehilangan kewarasan ketika bertemu dengan Reynald. Rasa nyaman yang pada akhirnya dianggapnya sebagai cinta.
"Ehem?"
Ara tersentak mendengar suara deheman dari balik punggungnya. Cewek itu membalikkan tubuhnya, di sana ada seseorang yang membuat hari minggunya diliputi gelisah sehingga dirinya melewatkan jadwal menonton bola di minggu malam. Seseorang itulah yang membuat keinginan membolos Ara kian besar. Andai tidak ingat betapa mengerikannya Bu Jasmin kalau sudah memarahinya karena membolos dan Ara bosan mendengar ceramah panjang kali lebar dari Bu Jasmin.
"Kalau tidak salah upacara akan segera dimulai."
Ara tersenyum kikuk, cewek itu menggerak-gerakkan kakinya gelisah. Baru sekali ini ada guru yang membuat kerja jatungnya tak beraturan antara takut dan gelisah bercampur menjadi satu. Melenyapkan senin paginya yang cerah karena baru saja bertemu dengan Reynald. Ara pikir senin kali ini menjelma menjadi senin yang mengerikan dengan permasalahan baru. Sepertinya, senin tak akan lagi secerah senin biasanya. Pelangi mejiku di hari senin paginya sudah raib terbawa badai yang kini datang tiba-tiba.
"Iya Pak saya tahu, permisi,” kata Ara singkat.
Tanpa menunggu jawaban Deo, Ara berlalu dari hadapan laki-laki itu. Lama-lama berada di dekat Deo, Ara yakin dirinya akan mendapatkan masalah baru. Bagai dua sisi, dia dan guru baru itu adalah utara dan selatan yang tak akan bisa bersatu walau bernaung pada langit yang serupa.
***
Selesai upacara, Ara tidak langsung diperbolehkan masuk oleh Bu Jasmin, alasannya satu, karena Ara pakai kontak lens. Ara lupa untuk melepas kontak lens itu sebelum berangkat sekolah. Kontak lens itu baru dibelinya sore kemarin, dirinya berniat mencobanya pagi ini tapi gara-gara kakaknya keburu meneriakinya untuk segera berangkat sekolah, membuatnya lupa untuk melepaskan kontak lens itu. Jadilah Ara dijemur di lapangan yang diguyur matahari musim kemarau seperti ini. Bu Jasmin yang sibuk menceramahinya hanya didengar sekilas oleh Ara, ini bukan kali pertama cewek itu mendapatkan hukuman, sudah menjadi kebiasaannya untuk mendengar Bu Jasmin berceramah panjang lebar seperti ini. Dan setelahnya pasti kepala sekolah bidang kemahasiswaanlah yang akan memberinya hukuman.
"Kamu itu nggak bosan ya, Ra, melanggar peraturan sekolah? Saya bosan Ara, melihat wajahmu tiap hari."
Ara menatap Bu Jasmin sambil tersenyum serba salah, perempuan berusia dua puluh lima tahun itu hanya menghela napasnya lelah. Kentara sekali perempuan itu sudah sangat muak melihat wajah Ara yang selalu memenuhi senin paginya juga jurnal absensinya.
"Tapi saya cinta loh lihat wajah Bu Jasmin tiap hari, adem Bu." 
Bu Jasmin menggeleng-gelengkan kepalanya. "Yasudah, kamu lepas kontak lensa kamu dan tanda tangan di sini."
Lagi-lagi harus mengisi jurnal absensi pelanggaran di buku Bu Jasmin, Ara pasrah. Ada 6 kali pelanggaran yang dilakukannya bulan ini. Bu Jasmin sendiri hanya bisa menatap Ara dengan pandangan kesal ketika melihat muridnya itu menandatangani absensi keenam pelanggarannya. Rekor baru bagi Ara, tiga kali telat, satu kali memakai barang yang tidak diperbolehkan di sekolah, satu kali melabrak adik kelasnya dan satu kali membantu demo menuntut pencairan kas OSIS. Hanya dengan Bu Jasmin Ara sedikit sopan, mungkin karena Bu Jasmin sudah lama dikenalnya, perempuan itu adalah teman kakaknya sewaktu SMA.
“Sekali lagi kamu melakukan pelanggaran besar, saya tidak tahu apakah kamu masih bisa sekolah di sini atau tidak.”
"Iya, Bu. Saya tahu, saya permisi."
***
"Kamu bisa menjelaskan alasanmu telat masuk kelas!"
Apa lagi ini? Batin Ara. Setelah mendapat sesi berjemur gratis dari Bu Jasmin, sampai di kelas cewek itu ditodong dengan pandangan kurang mengenakkan dari guru barunya. Ara berjalan lesu ke arah Deo, ditatapnya laki-laki berwajah tegas yang sepertinya kurang menyukainya itu.
"Tadi saya ada perlu sama Bu Jasmin, Pak."
Deo tahu, Ara melakukan pelanggaran lagi. Laki-laki itu sempat melihat Ara saat dijemur di lapangan oleh Bu Jasmin satu jam yang lalu sebelum kelasnya dimulai.
"Kalau begitu, tolong kamu kerjakan soal neraca lajur yang saya buat tadi, ini spidolnya."
Dengan malas, cewek itu meraih spidol dari tangan Deo. Neraca Lajur? Ara memandang papan dengan bingung, dia tidak mengerti sama sekali tentang neraca lajur. Ini adalah materi baru, yang lama saja Ara tidak bisa apalagi yang baru? Lagi-lagi Ara menelan ludahnya susah payah. Apa yang harus dilakukannya kali ini?
"Ini kan materi baru, Pak, mana saya bisa," kilahnya.
"Saya tahu, dan ini sebagai hukuman karena kamu sudah melanggar peraturan sekolah dengan memakai kontak lens."
Beberapa kerutan muncul di dahi Ara. Ternyata Deo tahu dirinya melakukan pelanggaran lagi. Ara sempat bingung sebelum dirinya sadar mungkin saja Deo melihatnya dihukum oleh Bu Jasmin satu jam yang lalu atau karena Deo yang bertemu dengannya sesaat sebelum upacara tadi dan melihatnya memakai kontak lens. Ara melupakan satu hal, kontak lens itu terpasang di matanya, siapapun pasti bisa tahu jika dirinya memakai kontak lens. Sifat cerebohnya yang selalu berkelit ini kadang memang membikinnya susah.
"Tapi, Pak…”
"Sudah jangan banyak bicara, cepat kerjakan!"
"Saya tidak bisa, Pak."
Deo mengusap wajahnya kesal. "Ya sudah, kembali ke tempat duduk kamu!"
Tanpa banyak membantah, Ara segera duduk dan menikmati sisa pelajaran Deo dengan penuh gerutuan, menikmati kesialan monsterday-nya. Sedangkan Deo tak ingin berlama-lama berdebat dengan Ara, itu hanya akan memotong jam pelajarannya. Ara pikir istirahat nanti, dia harus menarik Gumay, Lea atau Nana untuk ke kantin. Mungkin dua mangkuk bakso lengkap dengan sambal tiga sendok akan membuatnya tenang.

Arayana & AdeoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang