1 - Day 1

13.5K 741 24
                                    

--- Geraldine POV ---

"Gerald, benarkah kalau Anda telah menikah?"

"Nona Purnama, bagaimana pendapat keluarga Anda mengenai orientasi seksual Anda?"

"Nona Purnama, apakah pernikahan Anda dianggap sah di negara ini?"

"Gerald, tolong beri kami jawaban apakah sosok dalam foto-foto pernikahan tersebut memang benar adalah Anda?"

Pertanyaan-pertanyaan terus mengalir dari para wartawan yang berusaha dihalau oleh bodyguard keluargaku yang bersedia di bandara untuk menjemput kami. Aku sama sekali tidak terkejut melihat lautan jurnalis, kamera, mikrofon, handphone, lampu flash yang terus mengiringi langkahku sejak keluar dari bandara hingga menuju ke mobil. Beruntung aku menyuruh Evel untuk pulang ke rumah menggunakan helikopter. Kalau tidak, bisa-bisa mereka semua sudah memborbardir Evel dengan semua pertanyaan yang jauh lebih ekstrim.

Aku memang seorang lesbian yang telah come out secara publik. Pemerintah negaraku tak bisa berbuat apa pun karena memang tak ada hukum yang melarang orang-orang sepertiku ada di sini. Lagi pula mereka semua juga masih membutuhkan perusahaanku. Investasi dari asing dan vitalnya peran perusahaanku menjadi sebuah pertimbangan khusus dari pemerintah bila ingin mengusirku keluar dari negara ini. Tentu saja aku tak akan kesulitan untuk mendapatkan kewarga negaraan di negara lain, tapi bagaimana lagi. Cintaku terhadap tanah air membuatku bertahan di negeri yang banyak dihuni oleh manusia-manusia berpikiran sempit.

"Bos Gerald, sesuai dengan agenda yang telah disusun oleh Bu Tara. Anda ada pertemuan dengan bapak menteri ekonomi kreatif pagi ini di salah satu restaurant milik kita. Setelah itu, Anda perlu menghadiri rapat dengan dewan pemegang saham perusahaan setelah makan siang. Hanya itu agenda penting Anda untuk hari ini, Bos Gerald."

Kata-kata Alejandro membuat moodku menjadi semakin buruk. Bertemu dengan menteri, artinya aku harus bersikap manis. Bertemu dengan dewan pemegang saham, artinya harus bersikap lebih "manis" lagi. Bruuuhhh...! Ingin rasanya aku pulang saja dan tidur di kasur empukku. Namun, alih-alih menyuruh sopirku untuk pulang ke rumah, aku hanya mengangguk dan menutup mulutku rapat. Mengambil berkas yang dibawakan oleh Alejandro dari asistenku, Tara. Membaca mengenai kepentingan dari pertemuanku dengan menteri ekonomi kreatif. Kalau seorang menteri sampai memintaku bertemu secara langsung, biasanya ada suatu hal besar yang mereka inginkan.

Meski tanganku membuka map yang ada di pangkuanku, namun isi kepalaku masih dipenuhi dengan acara kemarin. Pernikahan. Sekali lagi aku melakukan upacara pernikahan. Sekali lagi aku harus menanggung hidup seseorang di pundakku. Sekali lagi aku mendaftarkan diri dalam antrian orang bodoh sepanjang masa. Mungkin sudah seharusnya aku menerima penghargaan Lifetime Acievement as The Most Stupid Person In The World.

"Blow a kiss. Fire a gun. We need someone to lean on."

Potongan lagu Lean On adalah satu-satunya dering ponsel yang tak boleh kuabaikan bila masih sayang pada nyawaku. "Good morning, sun shine," sapaku pada perempuan yang menelponku dari ujung sana.

"Good morning. Good morning saja. Kau di mana hah?" tanyanya dengan nada jengkel.

"Perjalanan ke All Stars Restaurant. Ada meeting dengan menteri bekraf," jawabku pada sosok perempuan di ujung sana yang tak jelas sebabnya jengkel padaku. Kudengar dengusan napas kesalnya dengan jelas meski hanya melalui saluran telepon.

"Sulit di percaya. Gerald, kamu ini baru saja menikah kemarin. Kenapa sekarang sudah bekerja hah? Bagaimana istrimu? Apa yang akan Evel pikirkan? Aku saja masih menikmati liburan dengan Steve di Belanda. Kamu malah sudah pulang," omelnya panjang lebar. Aku tahu yang kulakukan mungkin keterlaluan, tapi mau bagaimana lagi. Pernikahan ini diatur secara mendadak, tak mungkin aku meninggalkan pekerjaanku dengan agenda yang sudah tersusun rapi.

I Do (COMPLETE)Where stories live. Discover now