14 | what the hell?

Start from the beginning
                                    

"Aku tidak melakukan apa-apa."

Aku menatap Penelope yang terkekeh licik, seolah ia tengah merencanakan sesuatu atau apalah itu. Perasaan emosi meluap di dalam pikiranku namun masih bisa kutahan. Aku pikir, seorang maling pasti akan semakin dicurigai ketika maling itu menunjukkan tanda-tanda kemarahan dalam dirinya bahwa ia telah dituduh mencuri. Yah, kau harap aku tidak terbawa emosi yang berlebihan kali ini.

Cewek itu berkata, "Dasar. Mau-maunya kau dengan orang bisu seperti dia," gerutunya, "Apa istimewanya, sih?" Nada bicaranya mengisyaratkanku bahwa ia mungkin bisa saja cemburu melihatku bersama Julia. Ya, Penelope sepertinya memang cemburu—aku tahu.

Senyumku merekah, memamerkan deretan gigi-gigiku. Tergambar sebuah rencana kecil di kepalaku untuk membuat Penelope semakin cemburu dengan perasaannya sendiri. Yah, meskipun aku tidak tahu sebenarnya alasan apa yang menyebabkan cewek itu jadi tiba-tiba berubah haluan menjadi mengejar-ngejarku? Hahaha konyol sekali.

Aku ingin menyulut emosinya, maka aku berkata, "Ya, kami memang melakukannya. Selama orangtuanya pergi," tipuku, dan sepertinya itu memang berhasil karena sedetik kemudian bintik-bintik samar kemerahan muncul di wajah Penelope, menandakan bahwa mungkin ia memang terbawa emosi. Dan aku semakin menyudutkannya agar ia lekas-lekas benci kepadaku alih-alih terus mengejarku. "Kuberitahu kau ya. Dengar, kau tidak perlu repot-repot jatuh cinta dengan cowok tampan sepertiku lagi sekarang karena rupanya cowok ini telah memilih yang lain—cewek yang tidak bisa bicara."

Penelope terdiam dalam perasaan sentimentalnya, memelototiku penuh kegeraman sebelum akhirnya ia mencemoohku dengan berujar, "Seleramu rendahan," lalu tanpa kusadari sebelumnya, ia mengembalikan ponsel dan earphone-ku dengan menepukkannya keras-keras pada telapakku. berbalik dan pergi begitu saja, berlari menuju rumahnya.

"Terserah kau saja!" seruku dari kejauhan, "Tapi asal kau tahu, aku lebih baik bersama orang yang bisu daripada dengan orang yang punya mulut namun banyak bicara!" lanjutku, kemudian terkekeh sambil mengamati cewek itu menghilang di balik pagar sementara aku masih berdiri di trotoar Jalanan Fess.

---

Ketika aku pulang dari jogging-ku mengitari beberapa perumahan, aku mendapati Nyonya Penny sedang duduk-duduk di teras depan rumahnya, dan aku bisa melihatnya sedang sendirian—ah, memang selama ini dia hidup sendiri, tapi maksudku, tidak biasanya ia bersantai di depan rumah tanpa ditemani kucing persianya yang berbulu abu-abu.

Aku menyapanya, "Selamat pagi, Nyonya Penny," kataku dari balik pagar yang tingginya hanya sepinggang. Nyonya Penny tidak merespons. Aku bisa melihatnya menatap kosong ke arah bunga-bunga di halamannya sendiri-sepertinya tanaman itu masih baru ditanam karena seingatku, kemarin belum ada. Rupanya dia memang benar-benar melamun sejak tadi-duduk mematung. Aku mengulangi sapaanku, "Selamat pagi, Nyonya Penny!" dengan lebih nyaring.

Wanita tua itu seperti kelabakan mendapati rupanya ada aku di sini, menyapanya sejak tadi namun ia malah melamun. "Iya, Jason? Selamat pagi juga," balasnya begitu tersadar dari renungannya. "Maaf aku melamun."

"Apa ada sesuatu yang buruk, Nyonya?" tanyaku.

Bahu Nyonya Penny merosot pelan, dan seketika wajahnya berubah pilu. "Yah, Erasmus—" aku tahu itu adalah nama kucingnya, "—sudah mati."

Aku menunjukkan muka merasa bersalah karenanya. "Aku ikut bersedih mendengarnya," kataku lirih. "Apakah dia sakit sebelumnya?"

"Ya, dia memang sudah tua. Begitu juga denganku."

"Anda tidak sedang berpikir bahwa anda akan sama malangnya dengan Erasmus beberapa hari ke depan, bukan?" kataku, setengah bercanda—dan aku harap itu membantu.

"Tidak," ucapnya singkat.

Aku memberi masukan, "Baiklah, saranku, lebih baik anda melakukan hal-hal yang anda sukai agar anda tidak melamun seperti ini lagi."

"Hal-hal yang kusukai?" Wanita itu terlihat agak bingung ketika mendengarkanku, itu sebabnya aku mengangguk penuh yakin. Kemudian Nyonya Penny melanjutkan, "Aku hanya suka menggosip."

Aku tercengang, tidak percaya mengapa wanita itu malah berkata demikian. Apa hubungannya dengan menggosip? Apakah menggosip sebegitu menyenangkannya?

"Hei, Jason," tiba-tiba Nyonya Penny menatap ceria ke arahku, penuh kebahagiaan, seolah-olah Nyonya Penny yang tadi bersedih telah amnesia secara mendadak atau malah bisa jadi ia memiliki penyakit semacam kepribadian ganda yang membuat perilakunya berubah secara tiba-tiba. Wanita itu berkata, "Kau ingin dengar sesuatu?"

"Apa?" tanyaku, namun dengan nada tidak terkesan sama sekali.

Nyonya Penny meringis, memamerkan deretan giginya yang berwarna putih semu kekuningan. "Kudengar para Carpenter punya hubungan dengan para hantu. Itu sebabnya si Olivia Carpenter sering marah-marah, emosinya tidak terkontrol—ya, aku pernah melihatnya mengomeli suaminya di depan rumah."

Apa-apaan?! []

Apa-apaan?! []

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Ten Rumors about the Mute GirlWhere stories live. Discover now