12 | why Mrs. Carpenter gets mad? (pt.2)

Start from the beginning
                                    

Nyonya Carpenter lekas masuk ke dalam rumah untuk beberapa detik sementara aku masih menunggunya di sini, berdiri di depan pintu. Ketika dia kembali, kucoba memaksakan senyum tergantengku sebagai tanda bahwa aku senang mengunjunginya dan tidak berkeberatan jika ditinggal pergi.

"Baiklah, aku pergi—" katanya, "—hei, namamu siapa? J? Ah, aku lupa." tanyanya, merendahkan bahu, seolah lupa/melupakan namaku adalah suatu masalah yang berarti.

"Jason."

"Ah iya, Jason! Omong-omong, Jason, kau boleh pergi karena di rumah tidak ada siapa-siapa dan suamiku sedang kerja juga."

Sebelum sempat Nyonya Carpenter menjauh, aku mencegahnya. "Tunggu, di mana Julia?"

Wanita itu berbalik menatapku lagi dengan wajahnya yang tadi—wajah masam ketika pertama kali melihatku berdiri di sini. "Ah, Julia sedang tidur. Kau bisa pulang, oke anak muda?" Kemudian Nyonya Carpenter memutar tubuh dan berjalan menjauh, melewati halaman dan menyusuri jalanan Fess hingga menghilang di balik rumah-rumah.

Aku menunggu. Untuk saat ini tujuanku masih tidak jelas mengapa aku masih berdiri di sini. Lalu aku teringat akan maksud kedatanganku ke sini pertama tadi adalah karena Julia. Tanpa pikir panjang mengingat omongan Nyonya Carpenter yang tadi telah menjelaskan bahwa Julia sedang tidur, aku kembali mengetuk pintu. Sembari menunggu gadis itu merespons dari dalam, aku memanggil-manggil namanya, "Julia? Julia? Hei kau di sana, kan? Julia?" seruku lumayan keras, "K-kau tidak sedang tidur, kan?" Kali ini aku cukup yakin bahwa dugaanku benar, karena selang beberapa detik kemudian, aku mendengar derap langkah yang terburu-buru dari dalam ruangan.

Pintu terbuka, menampakkan Julia yang berdiri di depanku. Hal pertama yang menarik untuk dilihat dari Julia; headphone yang menggantung di leher.

"Hai," kataku, "apa aku mengganggumu?" tanyaku dengan melirik ke arah headphone-nya.

Julia menggeleng cepat sembari tersenyum, menunjukkan tatapan rasa bersalah seolah tidak mendengar seseorang mengetuk pintu karena dirinya sedang mendengarkan musik melalui headphone adalah hal yang sangat tidak sopan. Padahal aku tahu sendiri, jika kau sedang mendengarkan musik melalui headphone-mu, kau bisa seolah-olah lupa akan dunia nyata dan bisa tertidur kapan saja masuk ke dalam alunan merdu musik favoritmu.

"Kau sedang apa?" tanyaku, retoris, dan itu sungguh pertanyaan yang sangat tidak perlu dipertanyakan mengingat aku sendiri sudah tahu hal apa sebenarnya yang tengah Julia lakukan saat aku mengetuk pintu.

Julia menggerakkan jemarinya, menunjukkan beberapa gerakan isyarat—yang sebenarnya tidak kumengerti artinya. Lalu jemarinya berpindah mengetuk-ngetukkan ujung headphone-nya lantas sedetik kemudian aku tahu apa maksudnya. Yah, karena headphone, ia jadi tidak dengar.

Aku menunggu—menunduk, mengamati ujung-ujung alas kakiku. Kami terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya dia sempat bergumam, mendengungkan nada suara sebisanya, yang mana setelah itu kusadari dari bahasa tubuhnya, ia bermaksud mempersilakanku masuk ke dalam.

"Kau sendiri di rumah?" tanyaku waktu kami sudah duduk berseberangan, dibatasi satu meja di antara kami. Julia mengangguk dan itu berarti iya.

Beberapa detik berselang, aku dihantui rasa cemas karena aku dan Julia kini hanya menatap satu sama lain, tidak bicara, dan kadang-kadang aku mengalihkan pandanganku secara asal ke seluruh penjuru ruangan; menghindari sorot mata Julia—yang mungkin bisa membuatku semakin gugup. Rasa gelisah ini membuatku secara otomatis menggerakkan kaki kananku secara terburu-buru ke atas dan ke bawah, seolah menimbulkan getaran. Aku memang tidak bisa tenang di saat seperti ini, apalagi ketika aku tahu aku sedang diamati oleh gadis. Lalu, bagaimana jika banyak gadis? Sial, aku mungkin bisa sampai mengompol!

Ten Rumors about the Mute GirlWhere stories live. Discover now