02. Audition

7.4K 1K 15
                                    

Sebelum berangkat audisi, aku dan Lizzy sempat termangu di depan lemari baju. Kami berdiskusi sebentar untuk memutuskan baju apa yang akan kukenakan.
Masalah yang memang terdengar sepele, tapi kami tetap saja dibuat pusing untuk mengenakan baju yang tepat. Ini demi menarik perhatian, ingat? Jadi, masalah baju tak bisa dianggap remeh.

"Apa menurutmu si Tuan Muda itu akan datang ke tempat audisi?" tanyaku.
Lizzy mengangkat bahu.
"Entah, bisa iya, bisa tidak," jawabnya tak yakin. "Kenapa?"

Aku bersedekap sembari menatap deretan baju di lemariku, tak berniat segera menjawab pertanyaan Lizzy.

"Well...." Aku menyibakkan rambutku yang panjang bergelombang yang hari itu memang sengaja kuurai. "Sesuai info yang kita dapat kemarin. Sean adalah sosok putra konglomerat yang sangat sibuk. Ia mengurusi banyak bisnis di banyak tempat, banyak negara. Saking sibuknya dia, bisa dikatakan bahwa aktivitasnya monoton dari bangun pagi, sampai ia menutup mata di malam harinya. Dari yang kita dapatkan dari internet, pria itu tidak pernah ke diskotik, tidak pernah ke club, ia bahkan tidak merokok. Setiap harinya ia berkutat dengan aktivitas formal, dan bertemu dengan orang-orang yang selalu bersikap formal pula."

Lizzy mendengarkan analisaku dengan seksama.

"Jadi, jika ia akan ada di tempat audisi, maka menurutku---" Aku mengulurkan tangan ke deretan baju di depanku. "Baju yang paling pas adalah ini," kuraih celana belel, "dan ini." Lalu sebuah tank top warna putih polos, lengkap dengan cardigan denim yang panjangnya di atas pinggang dan lengan seperempat siku.
Aku menunjukkan paduan baju itu pada Lizzy.

Tatapan perempuan itu nampak protes.
"Baju ini tidak elegan, ini terlalu kasual. Bagaimana mungkin kau akan ikut audisi dengan mengenakan ini? Kita berhadapan dengan orang kaya yang bisa jadi---"

"Lizzy, katakanlah Sean ada di sana untuk ikut mengaudisi peserta, pakaian seperti inilah yang mampu menarik perhatiannya. Bukankah tadi aku sudah bilang, hidup lelaki itu monoton. Apa yang ia lakukan selalu saja bersifat resmi, formal, begitu-begitu saja. Dia pasti sudah menemui ribuan perempuan yang cantik, yang elegan, dengan baju-baju bermerk. Dan aku yakin, yang datang ke audisi nanti pasti dandanannya seperti itu. Jadi...." Aku menatap Lizzy penuh arti.
"Aku ingin menunjukkin sisi lain padanya. Sisi yang lebih fresh, kasual, dan simpel. Dan, dandanan seperti ini pasti bisa menarik perhatiannya. Jujur, aku ingin menarik perhatiannya dengan kecantikanku," jelasku.

Lizzy menatapku dengan takjub.

"Wow, kau pintar, Hana. Kau selalu pintar menarik perhatian orang lain," ucapnya.
Aku mengangkat bahu cuek.
"Masalahnya, bisa saja prediksiku salah." Sekarang aku yang mulai terdengar ragu.

Iya, bisa saja aku salah prediksi, salah strategi.
Bisa saja hidup Sean monoton, tapi ia menikmatinya.
Bisa saja ia terbiasa bertemu perempuan cantik nan elegan di mana memang seperti merekalah seleranya.
Dan bisa saja ia tak tertarik padaku.
Bisa saja ia menolakku.

Dan... bisa saja ia tak hadir dalam audisi tersebut.

"Tetap saja itu strategi yang bagus," cetus Lizzy. "Setidaknya kau cantik. Mengenakan baju seperti ini kau makin kelihatan menarik. Walau kau sudah jadi ibu, tak bisa dipungkiri bahwa kau masih seksi." Sekarang ia yang nampak antusias.
"Ayo kita lakukan." Ia meraih baju di tanganku, meletakkannya di atas tempat tidur, untuk menemukan aksesoris apa yang paling cocok.
Ia juga meraih stiletto hitam setinggi 8 cm dari rak sepatu.

"Aku bisa bayangkan kau akan terlihat sangat seksi," ucapnya.

Aku kembali tersenyum ragu. Ah, entah. Berhasil atau tidak, setidaknya aku sudah mencobanya.

***

Dan begitulah akhirnya. Sesuai rencana, aku datang ke tempat audisi dengan mengenakan baju yang lebih simpel dan kasual. Stiletto, celana belel, tank top putih polos dipadu cardigan denim dengan potongan sederhana sepinggang. Aku bahkan batal mengenakan aksesoris kalung demi bisa menunjukkan tulang selangkaku.

Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang