13. Home Sweet Home

3.9K 555 5
                                    


Pasca mengobrak-abrik pernikahan Sean dan Miranda, namaku terpampang menjadi headline di media-media cetak maupun elektronik.

Dalam hitungan hari, hidupku berubah kacau. Wartawan tak henti wara-wiri di depan rumah, mencoba mencari diriku, atau bahkan putriku, atau apapun yang bisa mereka jadikan berita. Lizzy bahkan melarangku membuka internet karena di sana, hujatan dan kemarahan publik padaku seolah tak terbendung.

Tentu, siapa yang tak marah karena ulahku. Aku menggagalkan  pernikahan Sean dan Miranda, live!
Bahkan di detik-detik upacara sakral. Pasti publik menganggapku sebagai perempuan murahan tak tahu malu.

“Jangan membuka internet, Hana. Demi kewarasanmu.” Lizzy kembali memperingatkan ketika diriku meraih ponsel.

“Aku tahu,” jawabku. “Aku hanya … ingin mengecek panggilan dari Sean.” Pada akhirnya aku kembali meletakkan kembali ponsel itu ke atas meja. Ponselku sepi. Tak ada kabar berita dari Sean. Setelah mengantarkanku ke rumah, pria itu pergi lagi. Dia bilang, ada banyak hal yang harus ia bereskan.

Sementara Joshua, ia berlalu lalang di hadapanku. Pria itu datang setengah jam yang lalu setelah membaca berita. “Di luar kacau sekali,” ucapnya.
“Astaga, aku tak menyangka bahwa kau akan benar-benar melakukannya.” Ia menatapku sembari terkekeh. “Wow, itu … luar biasa. Kau berani sekali.”

Aku mengangkat bahu. “Kau juga memintaku melakukannya, kan? Kau bilang aku harus merebut Sean, dan aku melakukannya.” Aku menjawab santai.

Joshua kembali terkekeh lirih. “Ya … kupikir kau tak akan mendengar saranku.”

“Saranmu bagus. Dan aku mengikutinya.” Aku ikut terkekeh.

“Aku akan mengecek Lena di kamar.” Lizzy buru-buru pamit lalu meninggalkanku sendirian dengan Joshua.

“Jadi, apa rencanamu sekarang?” Joshua bergerak dan duduk di sisiku.

Aku tak segera menjawab. “Sejujurnya, aku juga tak tahu. Sean bilang, ada banyak hal yang harus ia urusi terlebih dulu. Dia memintaku menunggunya.”

Joshua meraih tanganku dan meremasnya pelan. “Sean pria yang hebat. Ia pasti menemukan jalan keluar yang bagus untuk kalian. Khalayak ramai itu gampang lupa. Hari ini mereka menghujatmu, besoknya, bisa saja mereka memujamu.”

Kami saling berpandangan. “Abaikan hujatan-hujatan di internet. It’z netizen. Today they mock you, and the next day, they will love you. Percayalah.”

Aku tersenyum mendengar penuturan Joshua. “Thanks, Josh.” Aku berucap tulus.

“Mungkin akan lebih baik kalau kau mengungsi sementara waktu ke tempat yang lebih privat dan aman, yang bisa menjauhkanmu dari wartawan. Tentu saja bersama Lena dan juga Lizzy. Mau kubantu?”

Aku menatap Joshua ragu. Dia benar, mungkin aku harus mengasingkan diri dulu di tempat lain, sampai kekacauan ini mereda. Tapi, setidaknya aku harus berdiskusi lebih dulu dengan Sean.

“Atau, mau kutemui Sean lebih dulu?” Joshua seolah bisa membaca pikiranku. “Mungkin saja ia juga punya pemikiran yang sama denganku? Atau bisa jadi, sekarang ia sedang menyiapkan aparteman khusus untuk kau tempati sementara.”

Aku manggut-manggut. “Kita akan membicarakan ini lagi setelah bertemu Sean,” jawabku.

“Baiklah.” Joshua menjawab.

***

Keesokan malamnya, Sean datang secara sembunyi-sembunyi ke rumah. Bersamaan juga dengan Joshua, padahal mereka tidak janjian.

Dan seperti yang sudah diduga, Sean ternyata sudah menyiapkan apartemen privat untuk tempat mengungsi sementara.

“Malam ini berkemaslah. Besok pagi-pagi sekali, aku akan mengatur agar kau bisa pergi dari sini,” ucap Sean. “Lizzy dan Lena juga ikut.” Ia menambahkan.

“Atau … biar Lena bersamaku saja? Itu pun kalau kau mengijinkan.” Tiba-tiba Joshua berujar.
Aku menatapnya dengan tatapan protes, dan pria itu buru-buru kembali berujar, “Hanya sekadar menawarkan. Kalau kau tak berkenan, tak apa.”

“Dalam keadaan seperti ini, aku tak bisa berjauhan dengan Selena, Josh. Kuharap kau mengerti,” ucapku.

Pria itu mengangkat bahu. “Ya, aku tahu. Tapi aku ayahnya, aku pasti akan menjaganya dengan baik. Lagipula, aku takut jika wartawan menemukan keberadaanmu, mereka pasti juga akan mencari tahu tentang Lena. Aku takut privasinya juga akan diganggu.”

Mendengar penuturan Joshua, aku tertegun.

“Hanya sementara, Hana. Sampai semua kekacauan ini selesai. Setelah itu, kau akan berkumpul dengannya lagi. Yang jelas, untuk saat ini, fokuslah untuk menyelesaikan skandalmu tanpa melibatkan Selena. Biar dia aman bersamaku.”

Menatap Lena di gendonganku dan setelah lama berpikir, akhirnya aku mengiyakan saran Joshua. Malam itu kami berkemas dengan terburu-buru. Setelahnya, aku ikut Sean ke salah satu apartemen miliknya sementara Joshua akan membawa Lena.
Sementara Lizzy memutuskan akan tetap tinggal di butik.

***

Beberapa hari berlalu dan aku masih tetap tinggal di apartemen Sean. Pria itu akan mengunjungiku sebentar sepulang kerja lalu pergi lagi. Ia melarangku membuka internet. Setiap kali aku bertanya tentang skandal kami, ia akan selalu menjawab, “Jangan khawatir. Biar aku yang urus. Kau tenang saja. Kekacauan ini akan segera berakhir.”

Selalu begitu.

“Bagaiman pekerjaanmu?” tanyaku.

“Lancar.”

“Apa skandal ini tak berpengaruh pada bisnismu? Sahammu?”

Sean terkekeh. Ia menangkup wajahku lalu mencium bibirku lembut. “Semua akan baik-baik saja. Percayalah.” Ia memelukku hangat.

“Uhm, Hana, ada yang harus kuberitahukan padamu.” Pria itu menatapku lekat lalu membimbingku untuk duduk di sofa. Perasaan tak enak segera menderaku.

“Jangan khawatir, ini bukan berita buruk.” Ucapan Sean justru membuatku semakin tak karuan.
Jadi apa yang lebih baik dari skandal ini?
Apa akhirnya aku bisa bertemu dan bersatu lagi dengan Lena?

“Kemarin, aku pergi ke Galena, Illinois.”

Mendengar nama tersebut, aku tersentak. “What?”

Sean manggut-manggut. “Yeah, aku menemui orangtuamu.”

Dan perasaanku membuncah, campur aduk. “Untuk apa?”

“Aku tahu hubungan kalian tidak baik. Itulah kenapa aku berinisiatif untuk pergi ke sana dan menemui mereka secara pribadi.”

“Lalu?” Aku bertanya tak sabaran.

“Aku memperkenalkan diri secara resmi sebagai calon suamimu dan kami mengobrol banyak hal.” 

Aku menggeleng lirih. “Aku ragu mereka akan menerimaku lagi, Sean. Mereka konservatif. Setelah apa yang kulakukan dengan Joshua, mereka takkan mau menerimaku kembali. Aku sudah melakukan dosa besar.”

“Siapa bilang? Mereka merindukanmu dan berharap kau pulang.” Sean meyakinkan. “Aku menceritakan bahwa putrimu sangat lucu. Dan mereka tak sabar ingin bertemu.”

Aku menatap Sean dengan bimbang. “Mereka sudah berubah, Hana. Mereka mengharapkan kehadiranmu. Ayo kita temui mereka.”

Dan aku hanya terdiam, tak menjawab.

***

Menempuh perjalanan sekitar sembilan ratu mil, aku dan Sean akhirnya memutuskan untuk pergi ke Galena. Dihinggapi perasaan was-was, aku tetap menguatkan diri untu pergi ke kampung halamanku.
Rindu rasanya tak mampu kubendung. Tapi perasaan takut juga sempat membuat nyaliku ciut.
Apa mereka akan menerimaku kembali?

Setelah hampir seharian berkendara, akhirnya kami sampai di tempat yang dituju.

Nyaris petang ketika akhirnya rumah itu terlihat di ujung jalan. Begitu mobil diparkir, aku segera turun tak sabaran. Terlihat dua orang berusia senja sedang duduk-duduk di santai. Ketika langkahku sampai di halaman, tatapan kami beradu.

Tanpa mampu kubendung, air mataku berjatuhan. Dan ketika mereka bangkit dan bergerak terlebih dahulu untuk berlari memelukku, aku tahu, mereka masih menerimaku kembali.

Akhirnya, aku bisa pulang.

***

Sweet HomeDove le storie prendono vita. Scoprilo ora