07

2.8K 270 16
                                    


"

Banyak orang yang datang dalam hidup,

Tapi, hanya beberapa orang yang bisa masuk ke dalam hati.

Terutama pada hati yang sudah lama tertutup.

"


Mentari berhenti melangkah tepat di segerombolan orang yang berdiri di depan lift. Salah satu reutinitasnya ketika akan bekerja. Menanti benda besi itu untuk terbuka dan membawa mereka ke lantai yang mereka. Selagi menunggu, di tekuk sebelah lututnya, menggesekan ujung high heels yang digunakannya dengan lantai. Menunggu itu membosankan, apalagi menunggu sambil mengantre seperti ini.
Bibir kecil Mentari terus terbuka, di sela ia berjalan. Sesekali ia menutupnya dengan tangan kanan. Matanya begitu berat, keinginan untuk berada di dalam selimut, lebih besar dibandingkan harus berjalan masuk ke dalam kantor, seperti sekarang. Berkumpul bersama teman-teman yang sudah lama membuat mereka menghabiskan waktu seharian. Membuat ia merasa lelah karena banya alasan. Alasan utamanya tentang pertanyaan dari mereka. Dan sekarang, dia mengantuk berat.

"Mel, cerah amat kamu pagi ini. Biasanya juga lesu. Inget ini hari senin lho."

Langsung saja mata Mentari mengarah pada dua orang yang berada di depannya.

"Iya dong, kan mau ketemu Pak Angkasa. Harus cerah dong, siapa tahu Pak Angkasa naksir 'kan?"

"Masih aja. Disenyumin aja nggak pernah."

"Nggak pernah sekarang, masa depan nggak ada yang tahu. Lagian, masih mending nggak pernah disenyumin, daripada kamu? Sering dimarah sama Pak Anton."

"Iya, sih. Argh, gara-gara kamu bahas Pak Anton kepalaku mendadak pening. Banyak kerjaan yang belum kuselesaikan. Mana Pak Anton pelit, kamu tahu setiap dia marah?" Wanita disebelahnya menunjuk ke tempat kumis berada. "Bergerak-gerak, geli tahu nggak sih lihatnya. Mana suka ngasih lembur. Mendingan Pak Angkasa deh. "

Mentari merotasikan kedua matanya. Bos dan gosipnya, hal yang selalu menjadi perbincangan di setiap kala kesempatan. Ini bukan kali pertama dia mendengar seperti ini. Mungkin sudah berulang kali, dan di tempatnya dulu juga dia sering mendengarnya. Apalagi kalau lembur. Mentari sebenar nya juga salah satunya. Andai saja dia tidak mengantuk seperti sekarang, hal itu menjadi sesuatu yang bisa dia jadikan informasi.

Suara dentingan lift menyela pembicaraan keduanya. Membuat Mentari langsung mengarahkan diri masuk ke dalam bersama dengan yang lain. Dia memilih berada paling pinggir, berniat untuk menempelkan kepalanya sebentar pada dinding besi dan memejamkan matanya. Meski sebentar tapi itu bisa menolongnya.

"Eh, menurutmu gimana sama Pak Benayu? Kupikir dia nggak kalah tampan dibandingkan Pak Angkasa. Apalagi sifatnya yang lebih hangat?"

"Sama aku juga. Pak Benayu tampan, mana sering tebar senyuman, baik lagi. Ih nggak apa-apa deh kalau nggak dapat Pak Angkasa, dapat Pak Benayu."

Mendadak dengusan keluar dari hidung Mentari ketika mendengar nama Benayu. Baik dari mana? Yang ada sungguh menyebalkan. Dia berharap, tidak akan pernah lagi bertemu dengan laki-laki semenyebalkan itu. Karena kalau iya, dipastikan emosinya akan bermain.

"Kira-kira Pak Angkasa sudah datang nggak ya?"

"Kalau aku mah, mau ketemu Pak Benayu, sebelum ketemu Pak Anton. Dua orang yang beda jauh."

"Apanya beda jauh?" Kedua wanita itu mmebeliakkan matanya, begitu juga dengan Mentari yang berada tak jauh dari mereka. Bahkan dia sudah meringis dan sedikit memalingkan muka. Enggan menatap.

MentariDonde viven las historias. Descúbrelo ahora