Aku membuka mata, sayup-sayup kudengar beberapa orang sedang berbincang. Cahaya segera beradaptasi dengan penglihatanku yang muram.
Kulihat Niall sedang berkata-kata dengan ketiga lelaki berseragam polisi di ambang pintu. Aku memutar penglihatanku, dan kusadari kini aku sedang terbaring lemah di kamarku dan Niall. Aku melirik ke atas, dan kutemui Giselle sedang mengusap-usap kepalaku, duduk di sebelah ranjang.
“Tidak akan ada masalah, eh?” Giselle menegurku. Aku mengernyit karena kepalaku sangat pusing. Dengan bantuan Giselle, aku bangun dan menyandarkan punggung di kepala ranjang. Aku tak bisa berhenti memijat kepalaku karena rasanya sangat sakit.
“Mana Al, dan Adam?” Aku masih tak dapat menatap Giselle di kedua matanya.
“Mereka ada di atas. Niall melarang mereka untuk turun,” jawab Giselle terdengar jujur.
“Aku melupakan kejadian ini,” Niall berkata demikian pada orang-orang yang sedang mengintrogasinya. “Aku akan bertanggung jawab penuh atas Harry Styles. Aku juga bertanggung jawab atas pengobatan Pastor Jonathan dan kedua kawannya. Aku juga bersedia memberikan kejelasan sejujur-jujurnya jika kalian membutuhkan informasi lebih lanjut.”
Kulihat ketiga orang itu menatap Niall terheran-heran.
“Baiklah, Tuan Horan. Kami akan memikirkannya. Lekas sembuh untukmu, dan istrimu.”
“Terimakasih, Tuan.”
Dengan itu mereka pun pergi. Niall masuk menghampiriku, dan Giselle.
“Aku akan pulang,” Giselle berpamitan.
“Tidak, Gee,” Niall mencegah. “Kumohon, tinggal lah sebentar di sini, Al membutuhkan Adam.” Niall memohon. Giselle pun mempertimbangkan permintaan Niall tersebut. Ia mengangguk.
“Kalau begitu, aku menunggu di ruang tamu.” Niall mengangguk. Giselle berlalu dari ruangan kami, menutup pintunya dari luar. Niall bergabung denganku, berbaring denganku.
“Dokter berkata kau baik-baik saja. Kau akan sembuh dalam hitungan hari.” Niall menginformasikan padaku. Sebelum aku bisa mengingat apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Aku melirik jari manisku yang terasa terganjal oleh sesuatu. Sebuah cincin melingkar di sana dengan sangat cantik.
“Kita sudah menikah?” lirihku.
“Benar, Sayang. Sekarang kau Nyonya Horan.” Niall menggesekkan hidungnya ke rahangku. Aku pun tersenyum. Air mata haru menetes dari mataku tanpa permisi. Aku tertawa di sebelah Niall dengan bahagia. Aku memeluk tubuhnya yang selamanya akan menjadi milikku. Niall menghela napas panjang, dan membalas pelukanku.
“Kau tetap harus dirawat di rumah sakit, atau terserah kau mau ke mana untuk sementara waktu ini. Aku akan menyembunyikanmu dari Harry dan Harrold.”
“Kita tidak punya uang untuk ke rumah sakit, Niall.” Aku mengingatkan, menatap Niall di kedua matanya, menautkan jemariku di jemarinya yang telah memakai cincin yang sama.
“Kalau begitu aku akan menitipkanmu pada Gee. Tidak apa-apa, kan?” Niall menawarkan. Aku termenung beberapa saat. Giselle adalah seorang ibu yang sibuk, sama sepertiku. Aku tak ingin merepotkannya. “Aku sudah bilang pada Gee. Dan ia dengan senang hati akan merawatmu.” Niall mengusap pangkal kepalaku dengan tangannya yang lain.
“Benarkah?”
“Iya.” Niall mengangguk. Aku khawatir Louis akan pulang ke rumah Giselle. Dan aku tak akan tahan tinggal serumah dengan sahabatnya Harrold. Dia pasti ada di pihak Harrold. Dan dia pasti akan melakukan apa pun keinginan Harrold.
Tetapi aku menepis pikiran buruk itu. Tuhan pasti menyelamatkanku dari segala mara bahaya. Hanya Ia harapanku satu-satunya. Hanya doa Jonathan yang bisa kuandalkan untuk saat ini.
“Terimakasih, Sayang,” ucapku menatap biru samudera mata Niall.
“Apa kita perlu malam pertama?” aku menggoda Niall yang wajahnya merah-padam. Oh, ia pasti sudah menahan ini sedari tadi, ya?
“Tentu saja perlu. Tapi istirahat lebih kita butuhkan untuk saat ini,” katanya. Aku beringsut manja di dalam dekapannya.
“Baiklah, Tuan Horan.”
Aku bisa merasakan Niall tersenyum meski aku tak melihat wajahnya. Aku berpelukan juga dengan batinku berterimakasih padanya untuk mendukungku. Aku berbisik padanya untuk tak memikirkan bagaimana pun nasib Harry. Dan ia setuju.
***
Niall dan Gee memasukkan barang-barangku ke dalam koper. Aku hanya menonton mereka dari kursiku dan mencoba menebak-nabak apa yang sedang mereka rencanakan. Kenapa mereka sering bertatapan penuh makna, dan kenapa mereka memasukkan banyak sekali barang-barang? Memangnya akan berapa lama aku pergi dari sini?
“Baiklah, itu sudah semuanya.” Giselle mendesah lega. Ia menyatukan koperku dan koper Al bersebelahan.
“Kenapa Al harus ikut denganku?” tanyaku pada keduanya yang lagi-lagi sedang melakukan persekongkolan setelah mereka menyembunyikan penyakit Ibu dariku tujuh tahun lalu.
“Dia akan mengintrogasiku jika sejam saja tidak melihatmu. Dia sudah terbiasa tidak denganku.” Niall masih sibuk mengurus ini-itu. Seperti buku-buku dan boneka Al yang akan dibawa. “Al juga bisa berteman dengan sebayanya. Ia bisa berangkat bersama Adam. Kau tak perlu memusingkan apa-apa. Aku juga bilang pada Devan jika kau akan mengambil cuti bulan madu. Ia sempat marah, tetapi dia tak bisa merenggut hak itu dari kita, siapa pun dia.”
“Tuh, dengar, Brit,” Giselle terkekeh mengejekku yang harus mendengarkan ceramah Niall.
“Al!”
Niall berteriak memanggil Al yang masih belum menunjukkan tanda-tanda keberadaannya setelah kami sampai di sini.
Aku melihat ke atas saat Al dan Adam menyusuri tangga untuk turun. Aku senang ada Adam di sini. Ia sangat membantuku.
“Ya, Dad?”
Aku, Niall, bahkan Giselle terpaku pada Alexa yang diam dengan ceria di hadapan kami semua bersama Adam di sebelahnya. Aku mengernyit heran. Siapa yang menyuruhnya memanggil Niall dengan sebutan itu?
Niall mematung dengan seribu tanda tanya di benaknya. Ia menatap putriku—putri kami dengan sangat dalam.
“Apa, Al?” Niall memanggilnya lagi, memastikan jika ia tidak sedang salah dengar. Alexa pun menautkan kedua alisnya bingung.
“Kau yang memanggilku, kenapa kau yang bertanya apa?” Al bertanya inosens. Sementara Adam tertawa diam di sebelahnya.
“Oh, iya.” Niall mengusap tengkuknya dan melirik Alexa malu-malu. Aku tersenyum geli melihat mereka berdua seperti ini. Aku tahu, itu adalah keinginan terbesar Niall terhadap Alexa selama ini. Dan Alexa merealisasikan keinginan itu tanpa ada siapa pun yang mengajarinya. Tanpa ada seorang pun yang memaksanya.
“Kau akan menginap di rumah bibi Gee selama beberapa hari. Tidak apa-apa, kan?” Niall mengusap pangkal kepala Alexa saat ia menghampiri Niall di tempatnya. Alexa mengangguk patuh. “Tidur dengan ibumu, jangan dengan Adam,” Niall berbisik. Namun aku, Giselle, dan Adam masih bisa mendengar itu. Kami pun terkekeh bersama. Niall ini ada-ada saja.
“Kau mau ke mana?” Alexa mengusap kedua lengan Niall dengan manja.
“Aku tidak akan ke mana-mana. Aku akan mengunjungi kalian jika aku sempat, ya?”
“Memang kau sedang sibuk apa?” aku menginterupsi keromantisan mereka.
“Aku ini seorang dokter, Nyonya Horan,” Niall membalas. Alexa menutup mulut dengan kedua tangan mungilnya mencegah diri untuk menertawakanku.
“Iya, Nyonya Horan,” seru Alexa menunjuk-nujuk jari telunjuknya padaku, menggodaku. Aku bersimpuh di depan Alexa dan mencubit pipinya gemas.
“Awas kau, ya, Alexa Horan.”
VOMMENTS AND LET ME KNOW I SHOULD CONTINUE THIS SHIT 😜😘
YOU ARE READING
Alter Ego 3
FanfictionBrittany kini telah menjadi Nyonya Horan. Ia menyerahkan semua sisa hidupnya untuk Niall. Brittany, Niall, dan Alexa memiliki kehidupan yang sangat harmonis, seperti bagaimana sebuah keluarga semestinya. Harry, yang tak lagi memiliki gairah hidup m...
