DUA PULUH EMPAT

1.2K 111 2
                                    

Tiffany turun tangan untuk meriasku sendiri. Aku tertawa saat dia berjanji akan membuatku secantik Wanda yang sudah dirias terlebih dulu. Untuk ukuran pengantin, riasan Wanda sama sekali tidak menor. Justru terkesan alami dengan perpaduan warna peach dan cokelat. Satu hal lagi, ehem, aku harus mengakui kalau Wanda terlihat seratus kali lebih cantik dengan dandanan seperti itu. Oke, aku berlebihan. Dua kali saja cukup untuk menyatakan kekagumanku.

Aku ingin menangis saat Tiffany kembali berjanji akan membuat Rano menyesal karena telah memilih gadis itu dibanding diriku. Tuhan, aku benar-benar tidak tahu diri. Kupunya semua kebahagiaan, semua cinta, tapi memilih terpuruk hanya karena satu cinta saja. Seharusnya aku sadar, banyak orang yang lebih mencintaiku daripada Rano. Dua sahabatku ini contohnya.

Mungkin benar kata orang, kalau kita akan melihat keindahan di setiap badai. Meski saat badai itu berlangsung kita terombang-ambing dan segalanya rusak, pasti masih ada satu tempat yang tidak tersentuh badai itu. Rumah. Kini aku tahu ke mana harus pulang setelah sekian lama terombang-ambing. Kini aku tahu di mana pelabuhanku. Meminjam istilah Sam, sejauh apa pun sebuah kapal pergi, dia pasti akan kembali ke pelabuhan. Yah, kecuali kalau kapalnya tenggelam atau karam.

Memangnya aku akan membiarkan kapalku karam begitu saja setelah diserang badai? Entahlah. Rasanya sisa-sisa badai itu masih ada di hatiku. Bahkan sekarang ini sebenarnya aku tidak terlalu percaya diri untuk menghadapi Rano seperti yang sudah direncanakan Sam dan Wanda.

Kenyataannya, aku masih mencintai Rano. Aku masih berharap dia akan kembali padaku, meminta maaf dan mengatakan ini semua hanyalah salah paham. Bahwa dia hanya berusaha menolong gadis itu dengan bertanggung jawab menikahinya. Bahwa anak yang dikandung gadis itu bukan anaknya. Bahwa dia tidak pernah mengkhianatiku seperti ayah yang selalu mengkhianati ibu.

Namun, semakin kupikirkan, semakin dadaku sesak. Karena semua harapan itu mengerucut pada satu hal. Itu tidak mungkin terjadi. Setelah seminggu, kenyataan yang ada tidak berubah seperti harapanku. Hanya aku yang belum bisa menerimanya.

Kami siap setengah jam sebelum acara. Sam menjemputku untuk ke tempat resepsi lebih dulu. Sementara Wanda menunggu orang tuanya. Sam mengenakan setelan jas semi formal berwarna biru dongker yang dipadukan dengan skiny jeans senada. Dia sengaja menyamakan bajunya dengan gaun terusan panjang berkerah sabrina yang kukenakan?

Oh, satu lagi. Ke mana rambut ikal yang biasanya berantakan itu? Aku baru sadar kalau potongan undercut yang ditata messy di bagian atas seperti itu, cocok sekali dengan garis rahang Sam yang tegas.

“Mau sampai kapan kamu lihatin aku kayak gitu? Kita udah sampai di tempat resepsi, jangan sampai orang ngira kita pengantinnya.”

Refleks, aku memukul lengannya. Dia mengaduh sekilas, lalu tertawa-tawa. Sam lantas mengajakku bertemu kru yang membantunya mengabadikan pernikahan Wanda. Tadinya kukira dia sendiri yang akan memegang kamera. Haha.

Dekorasi tempat ini agak berbeda dengan konsep awal. Panggung pelaminan diubah menjadi panggung untuk live music. Rupanya Sam menghubungi sebuah grup band indie untuk mengisi acara.

“Kalau nggak ada pelaminan, ntar pengantinnya duduk di mana dong, Sam?”

“Ya, duduk bareng tamu. Kan tema kita intimate garden party. Yang dateng juga keluarga dan teman-teman pengantin aja. Kalau kita maksa adain pelaminan, jatuhnya nggak intimate lagi.”

“Ya, sih.” Oke, aku kagum dengan pemikiran lelaki ini. Dia bisa mengambil keputusan dengan tepat dalam waktu yang singkat. Tidak seperti sepupunya itu.

Saat Wanda memasuki tempat pesta bersama orang tuanya, aku kembali terpana. Mahkota bunga itu... ide dari siapa? Seminggu lalu kayaknya belum ada yang mengusulkan penganti wanita akan mengenakan mahkota bunga. Sumpah, aksesoris itu cocok banget dengan tema pesta hari ini.

Bang Artha menjemput Wanda dan mengambil alih genggaman tangan orang tuanya. Ayah Wanda langsung merengkuh tubuh Bang Artha dan memeluknya erat. Aku hanya bisa berharap abangku itu tidak bertingkah konyol saat suasana sedang haru dan khidmat begini.

Resepsi hari ini adalah pesta kecil-kecilan dalam rangka syukuran. Tidak ada prosesi adat, karena semua prosesi itu sudah dilakukan kemarin setelah akad di rumah Wanda dengan hanya mengundang tetangga. Jadi, pesta hari ini semacam pesta lajang yang dilakukan setelah pernikahan.

Wanda dan Bang Artha terlihat tengah menghampiri satu per satu meja tamu dan menyapa para undangan. Band pengiring mulai menyanyikan lagu-lagu cinta. Kata Sam, ini request khusus darinya, tidak akan ada lagu patah hati di daftar lagu yang akan dinyanyikan band ini. Aku tertawa mendengar alasannya.

“Untuk apa orang menyanyikan lagu patah hati di hari pernikahan? Mewakili perasaan para mantan? Oh, halo. Kalau aku jadi pengantinnya, nggak akan ada undangan buat mantan.”

“Bukan gitu, Sam. Mereka nyanyiin lagu bukan karena liriknya, tapi karena musiknya. Musik mendayu-dayu lebih cocok di acara nikahan, yah, setidaknya daripada mereka nyetel Jaran Goyang, kan?”

Sam mengangkat tangannya, tampak ingin mengacak rambutku, tapi diurungkannya. “Kenapa sih, rambutmu mesti ditata ribet gitu? Nggak bisa apa kalau cuma dikuncir atau digerai kayak biasanya?”

“Gimana sih, kamu. Ini kan acara spesial, dandannya juga harus spesial, dong.”

“Tapi aku jadi nggak bisa ngacak-acak rambutmu,” keluhnya.

Aku tertawa. Ah, seharusnya tadi aku menghitung, sudah berapa kali aku tertawa ketika bersama Sam. “Ck. Sehari aja nggak bikin kusut rambut orang bisa, kan?”

“Nggak bisa.” Tubuhku menegak saat dia mendekatkan bibirnya di telinga. “Salah sendiri suka bikin gemes,” bisiknya kemudian.

Sebelum sempat aku membalas perlakuannya, Sam sudah berlari ke panggung dan bergabung dengan band yang baru saja menyanyikan sebuah lagu. Sam tampak sedang berbicara dengan vokalis band itu, lalu mengambil alih mikrofonnya. Tunggu, Sam mau nyanyi?

Mereka lalu memulai intro sebuah lagu. Aku mengernyit, bukannya aku tak tahu lagu ini. Siapa sih yang tidak tahu lagu Akad dari Payung Teduh yang populer karena banyak yang meng-cover di Youtube itu? Aku hanya tidak mengerti, kenapa Sam sampai harus menyanyikannya sendiri? Kenapa bukan vokalis band yang menyanyikannya?

Aku tahu lagu ini bukan dihadiahkan untuk Wanda atau pun Bang Artha. Sam menyanyikan opening-nya tanpa mengalihkan tatapan matanya dariku. Suaranya tidak terlalu istimewa, tapi cukup untuk membuatku merinding saat mendengarnya. Saat lagu memasuki refrain, Sam turun dari panggung dan menghampiriku. Para undangan bertepuk tangan dan menyoraki kami.

Di saat itulah, aku melihatnya. Lelaki itu berdiri di seberang kami, berada di dekat Wanda dan Bang Artha. Dia menatapku dingin. Tubuhku bergetar, entah karena suara Sam yang terdengar begitu menguasai indra pendengaranku, atau karena tatapan Rano yang seolah menusuk-nusuk dadaku.

LET'S (NOT) FALLING IN LOVE (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now