Tanpa Pamrih

16 1 0
                                    

Malam ini malam minggu. Langit  cerah. Bayu mengajak Shinta, istrinya, dan juga Lintang, anak perempuannya,  untuk menikmati suasana malam di kota Jogja. Mereka bertiga naik motor Supra keluaran tahun 1997 berwarna hijau. Motor itu selalu menemani mereka selama lima tahun terakhir.

Sampai di jalan Kusumanegara, tiba-tiba motor berhenti di tengah jalan.

"Mas, kenapa ini, Mas?" Shinta melihat ke bawah. Terbaca nada panik dalam suaranya.
"Nggak tahu, Yank. Coba kita turun dulu." Bayu meminta Shinta dan Lintang untuk turun. Dia sendiri juga segera turun dari motornya. Shinta dan Lintang mengambil tempat di trotoar, sedangkan Bayu mencoba mmeriksa keadaan motornya.
"Gimana, Mas? Apanya yang rusak?" Shinta bertanya lagi. Bayu hanya menggeleng. Diusapnya peluh yang mulai mengalir di dahinya. Dicoba digerakkan maju motor itu, namun tak bisa. Untuk mundur apalagi.
Sejurus kemudian, datang seorang lelaki paruh baya. Diamatinya Bayu.
"Mas, kenapa motornya? Macet ya?" Lelaki itu menyapa halus. Bayu menoleh.
"Iya, Pak. Tiba-tiba berhenti, ngancing, ndak bisa jalan, Pak," jawab Bayu.
"Coba Bapak periksa," kata lelaki itu lagi.
"Silakan, Pak," kata Bayu. Dia bergeser sedikit, memberikan ruang untuk lelaki di sebelahnya. Diliriknya istri dan anaknya. Mereka berdua sedang asyik bercanda dan tertawa. "Alhamdulillah, istri dan anakku tidak rewel meskipun dalam keadaan seperti ini," kata Bayu dalam hati.
"Wah, ini ngancing, Mas. Harus dibawa ke bengkel ini. Padahal jam segini sudah pada tutup Mas." Lelaki itu mengatakan dengan nada menyesal.
Bayu bingung. Dilihatnya lagi istri dan anaknya. Bagaimana cara memulangkan mereka ke rumah? Lelaki tadi memperhatikan Bayu, seakan tahu apa yang dipikirkannya.
"Rumahnya mana, Mas?" tanya bapak itu pada Bayu.
"Saya di dekat Terminal Giwangan, Pak. Kalau Bapak?"
"Saya di Kasihan, Mas. Lha ini pulangnya gimana, Mas?" Bayu menarik napas panjang.
"Saya juga bingung, Pak," jawabnya kemudian. Dia kembali melempar pandang ke arah istri dan anaknya.
"Gini Mas, maaf sebelumnya. Saya ini kan tukang sampah. Kalau Mas mau dan tidak malu, gimana kalau bareng saya saja, naik gerobak sampah saya. Gerobak saya kan saya tarik pakai motor, Mas. Tapi kalau Mas ndak malu lho." Lelaki tadi mencoba memberikan solusi untuk Bayu.
"Wah, terima kasih, Pak. Sebentar, saya bilang ke istri dan anak saya dulu ya, Pak," katanya sambil menghampiri Shinta.
"Yank, motornya ngga bisa jalan. Bapak ini nawarin kita barengan, tapi..."
"Tapi kenapa, Mas?"
"Naik gerobak sampah, kalian mau?" Bayu ragu mengatakan hal itu, ditatapnya wajah istrinya penuh harap.
"Ya Allah, Mas. Ya ngga papa. Daripada kita ngga bisa pulang. Adek juga mau, kan?" Shinta menoleh pada Lintang. Gadis kecil yang baru duduk di kelas dua SD itu pun mengangguk, meskipun di wajahnya jelas sekali tergambar kebingungan.
Mereka bertiga menghampiri lelaki tadi.
"Baik Pak, kami terima tawaran Bapak. Kami mau naik gerobak sampah ini, Pak," kata Bayu mantap.
Mereka segera bekerja keras memasukkan motor ke dalam gerobak sampah itu. Mereka mengangkatnya bersama. Setelah motor itu berhasil dinaikkan, Bayu menaikkan Lintang di atas motornya.
"Pegangan yng kenceng ya ndhuk," kata Bayu.
"Iya, Yah." Lintang menjawab sambil tersenyum.
"Anak pintar," puji Bayu sambil mengacak rambut anaknya dengan sayang. Setelah itu Bayu dan Shinta pun menempatkan diri di dalam gerobak sempit itu. Bapak pemilik gerobak pun segera menaiki motornya.  Pelan tapi pasti, lelaki itu mulai menjalankan motornya. Ini pengalaman mereka bertiga naik gerobak sampah. Sepanjang jalan mereka terhuyung ke kanan dan ke kiri, lalu mereka tertawa lepas. Shinta memegang Lintang, sedangkan Bayu memegangnya.
Lintang yang semula agak jijik waktu pertama kali naik, sekarang pun tampak menikmati perjalanannya. Dia tertawa sepanjang jalan.
Bayu tersenyum melihat istri dan anaknya, namun hatinya menangis, terharu. Ya Allah, alhamdulillah, terima kasih kau anugerahkan mereka berdua untuk hamba. Mereka yang bisa menerima segala keadaan. Terima kasih juga kau telah mengirim malaikat penolong untuk kami.
Sesampai di rumah Bayu, mereka kembali menurunkan sepeda motor Bayu. Shinta segera ke dapur menyeduh kopi. Mereka pun mempersilakan penolong mereka masuk.
"Pak, silakan masuk."
"Saya terusan saja, Mas, Mbak."
"Eh, jangan, Pak. Minum kopinya dulu, Pak," kata Shinta, berusaha menahan bapak itu. Bapak itu mengalah, beliau masuk dan segera menyeruput kopi seduhan Shinta.
"Pak, terima kasih banyak ya. Tanpa Bapak mungkin kami tidak bisa pulang," kata Bayu sepenuh hati.
"Iya, Pak. Kami sangat bersyukur sekali bertemu dengan orang baik seperti  Bapak," sambung Shinta.
"Tidak perlu berterima kasih. Itu sudah kewajiban saya untuk menolong yang membutuhkan. Berterima kasihlah pada Gusti Allah."
"Iya, Pak. Tapi bagaimanapun, kami berterima kasih pada Bapak. Karena pertolongan Allah datangnya lewat Bapak," kata Bayu lagi.
"Iya, Mas. Sama-sama. Baik, Mas, Mbak, saya pulng dulu ya. Anak istri saya pasti sudah menunggu. Terima kasih juga kopinya ya."
"Iya, Pak, terima kasih," kata Bayu sambil menyalami Bapak itu.
"Pak, ini sedikit sebagai tnda terim kasih kami," kata Shinta sambil menyodorkan amplop berisi uang kepada Bapak itu.
"Apa ini, Mbak? Maaf, bukannya saya sombong, tapi saya tidak pernah mengharapkan imbalan, Mbak. Lebih baik untuk tambah memperbaiki motor besok, Mbak," tolak bapak itu halus, sambil tersenyum. Shinta tak kuasa membendung air matanya. Dia tak menyangka akan bertemu orang sebaik ini.Bayu pun tampak terharu.
"Terima kasih sekali lagi, Pak. Hati-hati ya, Pak. Lemah lemah teles, Gusti Allah sik mbales Pak," Bayu melepas bapak itu dengan mata berkaca-kaca.
Bapak itu tersenyum, dan segera berlalu dari halaman rumah mereka.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 01, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tanpa PamrihWhere stories live. Discover now