Emely menganggukkan kepalanya tanda setuju, “Tapi kau harus tetap hati-hati, aku tak ingin Jack menggunakan kekuasaan ayahnya untuk memecatmu”

Lily memalingkan wajahnya menatap Emely sekilas, “Ya, kau tak perlu khawatir Emi” Lily menepuk pundak Emely pelan. “Aku duluan, kau tahu kan bibiku akan marah jika aku pulang telat?” imbuhnya seraya masuk ke dalam bus meninggalkan Emely yang masih mengunggu bus yang menuju satu jurusan dengan rumahnya.

***

“Kau telah lima menit Lily?! Kau tahu kan aku tak suka dengan keterlambatanmu itu” ujar Robinson menatap ponakannya yang hanya menundukkan kepalanya.

“Maafkan aku, aku masih menunggu bus datang” ujar Lily pelan menatap bibinya yang berkacak pinggang didepannya dan sepupunya –Annabelle— yang tengah memberikan senyuman mengejek di belakang ibunya –Robinson.

“Alasan, kau pasti ingin kabur dengan tugasmu kan?” ujar Robinson tanpa mengindahkan alasan Lily dan lantas menjambak rambut Lily dengan kasar, membuat wanita itu menjerit tertahan.

“Sakit biii—” ringis Lily tertahan. “Aku janji takkan terlambat lagi” imbuh Lily pelan, memohon pada bibinya untuk melepas jambakannya.

“Cepat masuk ke dalam kamarmu dan pakai baju yang telah ku siapkan” perintah Robinson seraya melepas jambakannya dari rambut Lily. “Jangan lupa berdandanlah, akan ada seseorang yang ingin membelimu nanti” Robinson mengibaskan tangannya, menyuruh Lily untuk segera masuk ke dalam kamarnya.

Lily tetap diam terpaku, mencerna ucapan bibinya. Ia akan dijual? Bagaimana bisa? “Bibi punya hutang?” tanya Lily dengan nada getir.

“Tidak, cepat pergi” ujar Robinson seraya mendorong Lily untuk segera pergi dari hadapannya.

“Kenapa bibi menjualku? Bibi menjual rumah ayah, aku rela tapi ku mohon jangan jual aku bi” ujar Lily dengan nada tercekat tak mampu membendung kesedihannya.

“Rumah ayahmu? Hei—ini rumahku” ujar Robinson marah dan melayangkan tamparan pada Lily, membuat wanita itu terisak menahan tangis. “Cepat kerjakan yang kusuruh dan jangan coba berpikiran untuk kabur”

***

Dengan isakan kecil yang keular dari mulutnya, Lily menghias wajahnya senatural mungkin. Sesekali ia meringis kesakitan ketika tangannya tak sengaja menyentuh wajahnya yang sedikit memar. Berulang kali, wanita itu menaburkan bedak diatas lukanya menyamarkan torehan luka yang ia dapat tadi. Tak terasa benda bening itu sudang memenuhi kelopak mata indahnya,  dengan gerakan cepat diambilnya tisu di sebelah meja riasnya lebih tepat meja kecil yang sudah reyot. Ia tak ingin jika make-up yang ia pakai luntur dan menyebabkan dirinya mendapat siksaan dari bibinya.

“Heh, wanita jalang?! Cepat keluar!! Calon suamimu sudah datang!” ujar Robinson memanggil keponakannya untuk segera keluar.

            Lily segera keluar dari kamarnya mengikuti intruksi dari bibinya, ia tak ingin membuat bibinya semakin marah dan memukulnya habis-habisan. Eve terus saja menunduk takut mengikuti jalan bibinya dari belakang. Ia tak berani mengangkat kepalanya menatap calon pembeli yang membelinya apalagi hanya untuk menatap bibinya yang seolah-olah ingin menerkamnya tuk dijadikan mangsa.

            Dengan hati-hati Eve duduk di sofa disebelah bibinya, dimainkannya gaun hitam yang ia pakai. Ia sengaja mengerai rambut coklat terangnya tuk menutupi wajahnya yang pucat. 

“Halo, Mr.William. Bagaimana? Cantik bukan?” ujar Robinson seraya menyunggingkan senyumannya, tak sabar untuk mendapatkan uang dari hasil menjual keponakannya.

            Pria yang di panggil Mr.William  itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya tanda setuju. “Ya, sesuai dengan apa yang ku cari” ujarnya tanpa melepaskan pandangannya sedikitpun dari wanita di depannya.

Robinson tersenyum senang bukan main, ia tak menyangka mimpinya menjadi orang kaya akan segera terwujud berkat keponakannya.

“Kalau begitu, aku bisa membawanya sekarang kan?” ujar pria itu kembali, membuat Lily semakin erat memegang ujung pakainnya. “Chris, berikan uangnya!” perintahnya lantas berdiri dari tempatnya dan menarik pergelangan tangan Lily lembut.

Lily pun tetap menundukkan kepalanya, masih tak berani mendongakkan kepalanya. Takut. Perasaan itu yang ia rasakan. Ia tak tahu harus bersikap jika yang membelinya adalah seorang bandot tua yang menyukai daun muda.

Lily mengaduh kesakitan, ia tak sadar orang yang telah membelinya itu telah berhenti berjalan dan membuatnya membentur dada bidang pria itu. Dada bidang?

“Angkat kepalamu”perintah pria di depannya, membuat Lily tanpa sadar mendongakkan kepalanya dan terperangah kaget atas apa yang ia lihat. “Kau—”

“Kita bertemu lagi lady” ujar pria di depannya lantas menundukkan kepalanya dan mencium bibir Lily sekilas.

***

Werewolf's MateOnde histórias criam vida. Descubra agora