Chapter 01

774 89 0
                                    

Untuk kesekian malam yang panjang, aku harus kembali terjaga di ruang tengah.

Pintunya masih dalam keadaan yang sama, tertutup dan belum ada satu pun tanda kepulangan Jaehyun dari kantornya. Aku ingat, pagi tadi pria itu berangkat kerja cukup awal. Katanya, akan ada jadwal pertemuan penting dengan petinggi perusahaan untuk membahas masalah terkait perkembangan bisnis yang tengah diurusnya. Namun, meski aku sempat mengantarnya sampai ke depan pintu, ia sama sekali tidak berkata barang satu kalimat pun bahwa malam ini akan pulang terlambat. Jaehyun justru hanya melirik ke arah jam di pergelangan tangannya, kemudian segera masuk ke dalam mobil. Mesin kendaraan beroda empat itu menyala dan perlahan mulai melaju meninggalkan pekarangan rumah kami.

Masalah seperti ini memang bukan sesuatu yang baru terjadi sekali atau dua kali. Bahkan bukan juga sesuatu yang perlu dibahas berulang kali hingga berakhir dengan sebuah dentuman keras pintu kamar. Aku juga mengerti bahwa Jaehyun memang sangat sibuk dengan tugas dan pekerjaan yang menumpuk serta tidak jarang pula pria itu akan membawa pulang beberapa berkas, lalu dikerjakan di rumah sampai larut malam.

Akan tetapi, titik permasalahan mendadak muncul karena sikapnya yang kupikir sudah berada di luar batas. Setidaknya ia harus menghubungiku untuk sekadar memberi kabar tentang di mana dan apa yang sedang dilakukannya sekarang.

Mungkin saja karena baterai ponselnya habis. Pikiran itu mungkin bisa terjadi karena biasanya Jaehyun memang akan menjawab dengan alasan yang sama setiap kali aku bertanya tentang hal itu. Jadi, aku hanya perlu mengurungkan kembali semuanya agar malam ini kami tidak bertengkar.

Bunyi derit akhirnya muncul dari arah pintu utama. Aku segera berdiri lengkap dengan seulas senyum yang sengaja kubuat untuk menyambut kepulangannya. Kedua kaki Jaehyun mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Penampilannya masih sama kecuali kondisi kancing teratas kemeja putihnya yang sengaja dibuka serta ikatan dasi yang sudah longgar. Dan juga tidak ada satu pun luka gores atau lebam di bagian wajah.

Tungkainya berhenti berjalan tepat saat tubuh tingginya sudah berdiri di hadapanku. Jaehyun diam dan bodohnya aku juga ikut terdiam sambil terus menahan keinginan untuk menyentuh wajah lelahnya. Kedua netra kami saling bertemu untuk sesaat. Dalam diam ternyata ia memerhatikanku dengan tatapan mata segelap malam. Itu cukup lama dilakukan sampai aku sadar bahwa tidak ada yang mulai bersuara di antara kami. Barangkali ia memang sudah terlalu lelah dengan pekerjaannya hingga kehilangan selera untuk mengucapkan kalimatnya sendiri.

Tidak masalah, biarkan saja. Kemudian yang Jaehyun lakukan selanjutnya adalah memutus pandangan, lalu segera masuk ke dalam kamar. Bukankah selalu seperti itu?

Sepuluh menit kuhabiskan untuk menunggu dan akhirnya Jaehyun keluar dari kamar mandi. Ia membuka pintu dan bisa kulihat tubuhnya yang hampir bertelanjang dada dengan rambut hitam yang masih sedikit basah karena belum kering sepenuhnya. Jaehyun lantas semakin mendekat, kemudian kuberikan sebuah baju lengan pendek berwarna putih dengan sedikit motif untuk dipakai malam ini.

Aku jadi ingat, dulu saat pertama kali kami pergi ke pusat perbelanjaan bersama untuk membeli beberapa pakaian, Jaehyun sempat menolak berkali-kali saat kutawarkan untuk mencoba baju dengan warna yang sedikit mencolok. Jaehyun bilang, itu tidak keren sama sekali dengan gayanya. Pada saat itu, aku tahu kalau ada bagian kecil di dalam hati yang mulai menghangat karena Jaehyun telah sudi menunjukkan sisi lain dari dirinya yang belum kuketahui. Dan untuk pertama kalinya, aku bisa melihat perubahan sikap Jaehyun. Pria tampan itu terus berceloteh panjang lebar seperti anak kecil. Namun, tidak jarang ia akan memperlihatkan lengkungan yang terpahat indah dari kedua sudut bibirnya yang naik ke atas.

Kalau seperti itu terus semakin terlihat menggemaskan, ya.

Benar juga. Kalau dipikir kembali, sudah sangat lama sejak kejadian hari itu aku tidak pernah melihat Jaehyun tersenyum lagi padaku. Bukan sebuah senyum palsu yang ingin kulihat, melainkan sesuatu yang dilakukan secara tulus seperti sebelumnya. Barangkali saja, sepenggal gosip murahan yang kudengar dari mulut beberapa orang itu memang benar adanya. Bahwa sejak awal pernikahan kami tahun lalu, Jaehyun sama sekali tidak bersungguh-sungguh untuk memberikan hatinya kepada perempuan bodoh yang dengan lancang berani mengikatnya saat pembacaan janji di atas altar.

Aku sangat tahu. Tepat di hari itu, semuanya mulai berubah.

"Jaehyun," panggilku dengan suara yang kubuat selembut mungkin saat ia sudah berhasil membaringkan tubuhnya di sebelahku. Aku bisa menebaknya langsung kalau pria itu pasti tidak akan menjawab. Jadi aku putuskan untuk mengambil napas panjang dan mulai bertanya, "Apa kau tahu bagaimana cara agar seseorang bisa pergi tidur dengan cepat? Aku ingin mencobanya."

Jaehyun melirik ke arahku sebentar, lalu menarik kembali selimut kami sampai menutupi tubuh bagian atas. Ia melihat dengan tatapan sedikit jijik karena pertanyaanku yang dinilai cukup bodoh. "Itu mudah. Hanya perlu menutup kedua mata, lalu tidur."

Aku tersenyum mendengar jawabannya. Kemudian ia tidak berbicara lagi padaku dan memilih memejamkan kedua matanya dengan cepat seolah sedang menunjukkan sebuah contoh nyata. Sampai akhirnya deru napas pria itu pun terdengar teratur dan garis kelelahan di keningnya perlahan mulai menghilang.

Itu benar. Satu hal yang aku tahu adalah kalau pria bermarga Jung itu memang tidak berkata sesuatu yang salah malam ini. Jaehyun memang benar. Sama sekali tidak sulit untuk dilakukan.

Namun, aku tidak tahu kenapa kesialan justru tidak pernah bosan untuk datang berkunjung. Malam ini aku kembali terjaga sambil terus menilik pahatan indah yang tersaji jelas di depan mata dengan jarak yang terlampau dekat. Tubuhku bergerak pelan ke samping agar bisa menghadap ke arah Jaehyun. Masih sama, tidak berniat menyentuh sedikit pun kulit berwarna seputih susu itu. Aku tersenyum getir dan mulai merenungkan sesuatu. Jika saja, pria di sana tahu kalau seseorang di dekatnya ini sangat ingin menutup mata dengan mudah agar goresan luka serta rasa sakit di hatinya bisa sedikit terobati.

Sungguh, aku benar-benar ingin merasakannya malam ini.

Akan tetapi, tidak mungkin. Nyatanya aku memang tidak bisa memenuhi keinginan yang satu itu dengan mudah meski sudah ribuan kali memohon serta merapal doa kepada Tuhan. []

RANKLETahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon