PEMBANTAI

1.8K 81 5
                                    

"Re, aku takut kita tidak bisa bertahan," lirihku.

"Kita pasti bisa, pembantai itu akan lenyap sebentar lagi," ucapnya menenangkanku.

"Tapi, Re ...."

"Sstt! Dia datang!" bisiknya.

Kami bersembunyi di balik puing-puing bangunan. Seretan kapak terdengar nyaring di sepanjang lorong. Tubuhku bergetar hebat. Untungnya, Rean memelukku erat.

"Jangan bergerak sedikit pun, atau kita akan mati!" bisik Rean tepat di telingaku.

Jantungku semakin berdetak tak karuan. Rasanya ingin menangis saat ini juga. Aku menyesal telah mengikuti jejak Rean. Malam itu, Rean dan ketiga temannya menjemputku ke rumah.

"Laura ...," panggil Rean dari balik jendela.

Aku pun menyingkapkan gorden dan melihat Rean bersama teman-temannya. Kubuka jendela perlahan, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara.

"Ada apa?" tanyaku berbisik.

"Ayok kita ke bangunan tua di ujung jalan sana," jawab Rean membuatku terkejut.

Aku mengernyitkan dahi. "Untuk apa? Berbahaya!"

"Ayolah, Ra, malam ini saja. Aku ingin membuktikan bahwa si pembantai itu benar-benar ada."

Aku diam tak bergeming, dengan segala pikiran yang berkecamuk. Bangunan tua di sana tampak biasa saja kalau di siang hari. Tapi, jika malam telah tiba, tak seorang pun yang berani melewatinya. Aku penasaran dengan hal itu. Tapi ... ah, sudahlah, aku ikut saja.

Aku mengiyakan ajakan mereka. Kubawa perbekalan di dalam tas kecil. Lalu, melompati jendela kamar.

"Bagaimana kalau si pembantai itu benar-benar ada?" tanya Keyla sambil membenarkan ikat rambutnya.

"Kita akan menghabisinya," jawab Darel santai.

"Menghabisi dengan apa? Tangan kosong?" tanya Alga sinis.

Di sepanjang perjalanan, mereka terus saja berdebat tentang si pembantai. Padahal, mitos itu belum tentu ada benarnya. Namun, sudah dua bulan ini, lima orang ditemukan tewas terbuang mengenaskan di samping bangunan tua.

Mobil kami pun berhenti tepat di pekarangan bangunan tua. Baru saja keluar dari mobil, tercium bau busuk yang menyengat. Aku dan Alga menyalakan senter sebelum kemudian masuk ke bangunan itu. Hawa dingin begitu menusuk kulit, terlebih minimnya penerangan membuatku bergidik ngeri.

Aku tak pernah masuk ke sini sebelumnya. Sekedar melewatinya saja, kakiku bergetar hebat.

"Hanya bangunan kuno! Mitos si pembantai itu---"

Crat!

Kepala Darel menggelinding di lantai.

"Aaaa ....!"

Kami lari memencar saat sosok pria berkapak menebas leher Darel.

Aku terus berlari dengan napas tersengal-sengal. Beberapa kali kutengok ke belakang, memastikan pria berkapak itu tertinggal jauh.

Aku sendirian.

Berlari entah berantah ke mana. Bukannya jalan keluar yang kulalui, namun lorong menuju ruangan yang tidak dapat ku ketahui pasti.

"Rean ...," lirihku dengan suara gemetar, berharap Rean berada di sekitarku.

Aku berjalan pelan ke sebuah ruangan yang membuatku penasaran. Gelap, dan pengap. Rasa takut menjalar di sekujur tubuhku. Kudengar teriakan dari pojok ruangan saat langkahku terhenti di ambang pintu.

Aku melangkah mundur perlahan. Mengintip dari balik celah jendela. Netraku memicing menerawang ke sudut ruangan. Aku tercekat. Tubuhku lemas dengan jantung berdebar.

"Arghh ... tolong ...!" teriak seorang gadis di kegelapan.

Aku menelan saliva dengan susah payah. Mengatur napas yang menderu. Aku tidak boleh berteriak. Kubekap mulut dengan tanganku sendiri.

"Arghh ...!"

Gadis itu meronta dan meraung-raung kesakitan. Dapat kulihat samar-samar dari belakang tempatku bersembunyi, seorang wanita dengan kuku tajam dan gigi-gigi yang runcing. Wanita itu merobek perut si gadis dengan kuku telunjuknya. Kemudian, menjilatnya seperti anjing kelaparan.

"Astaga, Keyla ...," gumamku pelan.

"Hentikan ...!" teriak Keyla sambil menjerit kesakitan.

Tak lama, Keyla membisu dan kaku. Jeritan itu tak terdengar lagi. Si wanita benar-benar menghabisi temanku dengan mengacak-acak isi perutnya. Aku menutup mulutku mual, melihat wanita itu mengunyah organ dalamnya.

Tangisku pecah. Inginku berteriak. Aku berlari tanpa suara menjauh dari sana. Tak lama lagi, aku pasti menjadi korban selanjutnya.

Langkahku tercekat. Sesuatu menepuk bahuku.

"Laura!" panggil Alga.

Segera kupeluk Alga erat. Meskipun aku tak begitu mengenalnya, tapi dalam kondisi seperti ini aku sedikit tenang bertemu dengannya.

Jleb!

Sebuah pisau meleset menembus mata Alga. Jantungku terhenti sejenak, membayangkan jika pisau itu menembus mulus kepalaku. Alga jatuh tergeletak. Aku berlari secepat mungkin menghindari wanita iblis di belakang sana.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Hanya sebuah penyesalan dalam diriku. Aku terduduk lemah di tengah-tengah lorong sempit dengan pikiran yang berkecamuk. Wajahku menelungkup di kedua lutut. Lelah dan pasrah.

"Hei, apa yang kau lakukan di sini? Dasar bodoh!"

Rean menarikku paksa untuk berlari mengikutinya. Sedang, kakiku sudah lemas tak kuat melangkah.

"Cukup, Rean! Biarkan aku mati, dan aku akan menyalahkanmu atas kematianku!" pekikku sambil melepaskan cekalannya.

"Aku tahu ini salahku, dan ... maaf. Sekarang kita harus cari jalan keluar bersama!" balas Rean.

Aku menggeleng cepat. "Kau telah menghilangkan nyawa tiga temanku, dan kau hanya minta maaf? Kita hanya tinggal menunggu kematian, Rean!"

Rean tidak menghiraukan ocehanku. Dia mengangkatku ke dalam gendongannya, lalu berbisik, "Kita harus selamat."

Kami bersembunyi di balik puing-puing bangunan. Seretan kapak terdengar nyaring di sepanjang lorong. Tubuhku bergetar hebat. Untungnya, Rean memelukku erat.

"Jangan bergerak sedikit pun, atau kita akan mati!" bisik Rean tepat di telingaku.

Bruk! Tak sengaja aku menyenggol bongkahan tembok. Pria berkapak itu tersenyum miring.

"Apa yang kau lakukan, Laura!" bisik Rean kesal.

"Ma-maaf aku tak sengaja," balasku menunduk.

Ayunan kapak menggema di sepanjang lorong. Tubuhku bergetar hebat. Rean membekap mulutku agar tak bersuara. Kami cepat-cepat berlari selagi pria itu mengalihkan pandangannya.

Aku dan Rean menutup pintu rapat-rapat. Pintu ruangan yang hanya dilapisi kayu yang mulai mengeropos. Rean mendorong meja pelan-pelan untuk menahan pintu.

"Rean, apa yang harus kita lakukan?" lirihku sambil menangis.

"Bertahan hidup, dan jangan cengeng!" Rean menekan nada di kata terakhirnya.

"Cari jalan keluar, atau bobol jendela di sana!" ucap Rean.

"Kita akan melompat?" tanyaku kaget.

"Tidak usah banyak tanya, lakukan saja!"

Aku mendorong jendela dengan sekuat tenaga. Engsel yang sudah berkarat menyulitkanku untuk membukanya.

"Cepat, Laura! Pria itu mendekat!" tegas Rean yang tengah mengintip dari celah kunci.

"Pecahkan saja kacanya!" teriak Rean yang mulai kesal.

Aku menuruti perintahnya. Kuambil kursi lalu melemparkannya ke arah jendela. Kaca jendela pun pecah berkeping-keping.

Pria berkapak itu berhasil menemukan kami. Kapaknya menembus pintu kayu hingga hancur.

"Lompat, Laura!" pekik Rean.

"Kau gila? Kita di lantai dua! Dan, bagaimana denganmu?"

"Lompat saja! Kau masih ada kesempatan hidup. Jangan pikirkan aku, nyawamu lebih penting!"

Kuhembuskan napas pelan, menyiapkan keberanian. Kepingan kaca menancap di telapak kakiku. Tapi, aku tak pedulikan itu. Aku melangkah pelan melewati kayu jendela. Tubuhku melayang hingga akhirnya ... bruk!








Kumpulan Cerpen HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang