"Abu Jahal sebagai pemuka Quraisy mencari tahu keberadaan Rasulullah dan Abu Bakar melalui Asma. Namun, Asma keukeuh tidak mau membocorkan. Di puncak kemarahannya, Abu Jahal menampar wajah Asma hingga anting-antingnya patah dan jatuh. Intimidasi Abu Jahal tidak membuat Asma menyerah. Dia juga tidak menangis kesakitan akibat tamparan itu. Dia tangguh, cerdas, pantang putus asa—"

Sindiran? Sepertinya tidak juga, tapi kenapa bisa pas sekali kisah Asma binti Abu Bakar dengan dirinya. Dia dan Asma seperti langit dan bumi. Terus terang, semangatnya yang menggebu ketika keluar hotel pelahan lenyap. Dia pikir mendaki Jabal Tsur tidak sesulit ini. Letih dan haus bercampur jadi satu tidak ada habisnya. Mereka sudah sudah berjalan sekitar satu jam, tetapi belum ada tanda-tanda sampai di Gua Tsur. Akhirnya, dia kembali minta berhenti. Diusapnya keringat dengan telapak tangannya.

"Capek, Kak," ujarnya mengadu kesekian kalinya pada Didi.

Didi menghentikan ceritanya tentang Asma, kakak Aisyah, Ummul Mukminin.

"Kalau kamu sebentar-sebentar berhenti ya jatuhnya capek, Ia. Jalan saja terus, sedikit lagi sampai."

Aira masih mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Ucapan Didi bukannya menyemangatinya, tetapi justru sebaliknya. Lelahnya terasa kian menjadi. Sebentar-sebentar berhenti? Dia memang lelah bukan main. Sedikit lagi? Mungkin ini adalah kalimat dari suaminya yang kelima.

"Gimana kalau kita turun aja, Kak?" pintanya menyerah.

"Tanggung, Ia. Kita sudah setengah jalan. Alika, Fatma dan yang saja kuat. Mereka sudah jauh di depan. Masa kamu yang lebih muda kalah."

Jawaban tegas dari Didi, membuat Aira menghela napas. Dia paling tidak suka dibanding-bandingkan, pun tidak suka kekalahan. Namun, kali ini sepertinya dia benar-benar harus menyerah.

"Kalau begitu Kak Didi naik saja, biar aku turun sendiri," ujarnya pasrah.

"Saya pegangi lagi ya, kita jalan pelan-pelan. Eh, bukannya sedari tadi sudah pelan?"

Uluran tangan di depannya membuat semangat Aira akhirnya kembali muncul. Diraihnya tangan itu dan mereka kembali mendaki, "Awalnya, sih, begitu. Lama-lama langkah Kakak tambah cepat."

Benar saja. Hanya sebentar Didi mengikuti langkah kecil Aira. Selanjutnya justru Aira yang kesulitan menyamakan langkah dan tenaganya terasa semakin terkuras. Dia menarik tangannya, dari genggaman Didi.

"Aku nyerah, Kak. Aku udah nggak sanggup lagi."

Aira berkata sambil duduk di tempatnya semula berdiri. Air mineral yang dibawanya seperti tidak bisa meredakan rasa haus yang ada.

"Tanggung, Ia. Dikit lagi."

Ucapan dari Didi dihiraukannya.

"Nanti takutnya sampai bawah menyesal karena turun."

Aira tetap diam, mulai lelah menghadapi tuntutan yang tiada henti. Sudah cukup dia menuruti keinginan suaminya, termasuk masalah pakaian yang tadi sempat diperdebatkan sebelum berangkat. Sekarang, dia sudah benar-benar lelah dan tidak sanggup lagi. Kakinya benar-benar terasa patah.

"Kalau Kak Didi takut nyesel, ya udah sana ke atas. Biar aku tunggu di sini. Aku tuh beneran capek, Kak. Kakiku nggak bisa buat naik lagi. Aku—"

"Ia ...," potong Didi dengan suara penuh penekanan.

"Aku... A—"

Aira tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Dadanya seolah disesaki gumpalan padat dan berat. Genangan air di pelupuk matanya mengalir pelan. Isaknya pecah. Sejauh ini, dia selalu berusaha mengikuti kemauan suaminya, meski kerap didahului perdebatan. Aira berusaha mematuhinya sebagaimana pesan ibunya. Sampai-sampai Aira merasa tidak lagi menjadi dirinya. Dia kehilangan identitasnya. Akan tetapi, nyatanya semua terasa belum cukup bagi Didi. Aira masih saja salah dan kurang di mata suaminya. Sesabar-sabarnya Aira, dia juga manusia. Dia lelah dan butuh waktu menjalani semuanya karena hidup bukan sulap-menyulap. Hidup adalah berproses menjadi lebih baik.

Serenade Biru Jingga (slow update)Where stories live. Discover now