Serenade #5

15.2K 2.1K 214
                                    

Aira tertatih. Dia tidak peduli jika Didi kembali menyebutnya seperti siput, keong, dan sejenisnya. Kakinya benar-benar terasa berat dilangkahkan. Belum lagi juntaian jilbab yang mengganggu ayunan kakinya. Kalau saja di depan dan di belakangnya tidak ada anak buah ayahnya yang juga teman suaminya, betapa dia ingin mengangkat ujung jilbabnya sampai lutut. Toh, dia memakai celana panjang sebagai pelapis jilbab. Auratnya tetap tidak akan terlihat. Tapi keinginan tinggallah keinginan. Malu masih menguasainya.

"Tidak usah dipikir seberapa panjang dan cepat langkah kakimu, Ia. Asal kamu ayun dan tapakkan bergantian, lama-lama akan sampai puncak juga," ujar Didi memotivasinya, "Yang penting melangkah!"

Aira membenarkan dalam hati.

"Saya ada di samping kamu."

Kalimat yang manis. Aira hanya menyimak. Dia malas menanggapi. Cuaca makin terik meski jarum jam baru menunjuk angka 08.45 waktu setempat. Aira bergeming sesaat untuk menarik napas panjang. Alih-alih terasa segar, hawa yang masuk ke hidungnya terasa panas, mengalir hingga memenuhi langit-langit mulutnya yang terasa kering. Haus. Tapi dia harus menghemat air. Aira mengusap keringat di pelipisnya dengan kerudung. Hal paling jorok yang pernah dilakukannya. Dia tidak punya pilihan. Sebungkus tisu yang dibawanya telah habis tidak bersisa.

"Di, kami duluan, ya," Farhan dan istri mendahului mereka.

"Oke," sahut Didi.

Setelah Farhan, Alika dan suaminya juga menyalip mereka. Aira memandang Alika dengan heran. Teman barunya itu bertubuh melar. Memakai jilbab dan kerudung lebar, tetapi kenapa bisa bergegas.

"Yuk, Ia," ajak Didi lembut.

"Kakiku rasanya mau lepas, Kak," keluh Aira.

"Itu hanya perasaan kamu saja. Tidak ada ceritanya kaki lepas setelah naik gunung," sahut Didi diiringi senyuman.

Iya, sih, tapi bukan itu maksud kalimatnya. Dia hanya merasa sangat lelah. Seumur hidup dia belum pernah berjalan sejauh ini dengan medan ekstrim. Saat ini di sekelilingnya hanya tumpukan bebatuan coklat dan hitam. Tidak ada teteduhan. Di sisi kirinya jurang dan kanannya tebing. Tidak ada pepohonan dan rerumputan hijau. Ada satu jenis pohon menjulang dengan daunnya yang meranggas. Sementara serumpun tanaman semak di sela-sela bebatuan merah kecoklatan terbakar matahari.

"Yuk!" Didi menautkan jemarinya di sela jari-jari Aira. Setelah melihat Aira siap, Didi mulai menarik langkah diikuti Aira.

"Kamu tahu, jalan setapak ini pernah dilalui oleh Asma binti Abu Bakar. Dia yang mengirim makanan untuk Rasulullah saw. dan ayahnya selama bersembunyi di gua Tsur. Saat itu Asma sedang hamil besar. Bisa kamu bayangkan perjuangannya untuk sampai di puncak. Dia menyobek bagian tengah ikat pinggangnya. Separuh dia pakai untuk mengikat bekal makanan, separuhnya lagi, dia pakai untuk mengikat perutnya. Karena dia membagi ikat pinggangnya menjadi dua itulah, Asma mendapat julukan dzatun nithaqain, pemilik dua ikat pinggang. Selama tiga hari, Asma mondar-mandir Gua Tsur –Mekah."

Hati Aira tergugah mendengarnya. Dia bayangkan andai Asma adalah dirinya. Apa sanggup? Tapi Asma adalah putri Abu Bakar, bukan Aira Jenna putri Dirgantara. Itu Asma yang sejak lahir hidup di Mekah. Dirinya tidak bisa disamakan dengan Asma.

"... Setelah Asma mengantar makanan, Abdullah bin Abu Bakar (kakak lelakinya) dan Fuhairah, penggembala kambing milik Abu Bakar, berangkat ke gua Tsur dengan gembalaannya. Tujuan mereka menghapus jejak-jejak Asma. Itu strategi yang sangat jitu, bukan? Hingga tiga hari tempat persembunyian Rasulullah tidak diketahui kafir Quraisy."

Aira melirik Didi yang bercerita dengan penuh penghayatan dan kekaguman. Tangan Didi bergerak-gerak untuk memberikan impresi atas ceritanya. Ya, Didi tidak lagi menuntunnya.

Serenade Biru Jingga (slow update)Where stories live. Discover now