"Dengar, tentang terapi mu... Bagaimana kita lakukan dengan perlahan?" tanyanya.

Hinata mengangguk antusias, "Tentu ibu. Aku akan melakukannya," tegasnya.

Hinami tersenyum. "Untuk langkah awal, bagaimana dengan mendengarkan suara lelaki?"

Hinata terdiam.

🍁🍁🍁

Naruto adalah remaja yang sedang di tahap serba ingin tahu. Setiap pertanyaan tanpa jawaban sanggup membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Apalagi Kushina bukan tipikal orang sabar, terlebih dia masih harus waras dengan segala urusan rumah dan pekerjaan. Ingat, mereka baru pindah rumah. Akan ada banyak hal yang harus Kushina lakukan.

Namun sayangnya, Naruto tampak tidak peduli. Seperti sekarang. Setelah keluar dari kediaman gadis yang dibuat pingsan, Naruto banyak mengajukan pertanyaan. Hingga remaja itu menggerutu tidak jelas sesampainya di rumah. "Ibu, jawab pertanyaanku!" rengeknya.

Kushina berdecak sebal. Hilang sudah niat mulianya untuk berbenah.  Dia memilih duduk di salah satu sofa ruang keluarga, abai pada Naruto yang terus saja bertanya. "Sudah kubilang, tidak tahu, Naruto Uzumaki! Kau mengerti definisi tidak tahu, bukan?!" kesalnya.

Naruto mengerang. "Setidaknya beri tahu aku, bagaimana cara mendekati dia ...," lirihnya. Dia menggaruk pelan kepalanya yang tidak gatal.

Kushina berhenti menonton televisi. Kalimat pelan putranya menarik perhatian, membuat niat diamnya berbalik. "Coba ulangi!"

Naruto tetap cemberut, tidak lagi menatap Kushina dan menggeleng. "Tidak mau! Ibu saja tidak mau memberitahu kenapa dia sampai seperti itu!"

Kushina harus tahu kalau sifat Naruto banyak menurun darinya. Salah satunya adalah bisa memancing emosi orang lain. "Kau bisa tanyakan itu pada ibunya Hinata. Sekarang ulangi ucapanmu tadi!"

Naruto tersenyum puas. Dia mendekat, menggiring tubuh untuk berhimpitan dengan Kushina. Naruto menyenderkan punggungnya di kepala sofa. Memandang lurus ke arah langit ruangan. Inilah hal yang diinginkan sejak melihat bagaimana rupa Hinata saat pingsan. "Bisakah ibu membantuku?" tanya Naruto, beralih menatap ibunya.

"Apa?"

"Bagaimana aku bisa mendekati dia?"

"Ohh... mendekati Hinata..."

Mereka terdiam, dengan Naruto yang cemas-cemas harap, dan Kushina yang hanya mengangguk.

"APA?!"

Naruto berdecak, sinis menatap sang ibu yang berseru. "Kebiasaan," lirihnya.

Kushina menarik lengan Naruto, agar menatapnya. "Kau bertanya bagaimana mendekatinya? Mendekati Hinata?"

Naruto mengangguk, mengiyakan. "Aku penasaran."

"Penasaran kenapa?"

Naruto menatap malas ibunya, mengangkat bahu malas. "Penasaran saja..."

Kushina menyipit, curiga. "Kau menyukai Hinata, ya?" goda Kushina. Senyumnya berubah jahil.

"K-aa-san bicara apa, sih?! T-Tidak, aku hanya menyukainya–ah, maksudku penasaran!"

Kushina tertawa mengejek. Dasar anak yang bodoh! Berbohong saja tidak bisa! batinnya sambil tertawa.

Naruto menggerutu. Dasar bodoh, kau! Dia memukul pelan kepalanya sendiri.

"Begini, Naruto ...," Kushina menghela nafasnya, lelah tertawa. "Hinata adalah perempuan yang berbeda. Entah dari sikap maupun mentalnya. Kau bisa melihatnya sendiri tadi. Hinata langsung pingsan ketika melihatmu sebentar saja. Entah, aku tidak tahu jika dia hanya mendengar suaramu. Bisa jadi dia tak merasa terganggu, tapi bisa juga Hinata langsung bereaksi seperti tadi. Ibu akan mencoba membantumu, akan aku tanyakan pada ibu Hinata."

Naruto terdiam. Ibuku memang yang terbaik! Bangganya dalam hati. Sebuah senyum terbit, "Terima kasih, Kaa-san...."

🍁🍁🍁


"Kau belum tidur, Nak?" tanya Hinami, sambil menghampiri putrinya yang masih membaca buku di kamarnya.

Hinata tersenyum kecil. "Aku masih betah membaca, Kaa-san."

"Lanjutkan besok saja, nanti penglihatanmu terganggu," bujuk ibunya. "Lagipula, mana bisa kau membaca dengan cahaya redup seperti ini." Hinami menatap lampu belajar yang menyala, dan lampu utama yang telah padam. Dia tidak bisa berpikir lebih jauh karena Hinata akan merasa bersalah.

Hinata tertawa dalam diam. Dia sama sekali lupa menyalakan lampu utama, astaga. Ringisan kecil keluar saat dirasa ibunya menyentil dahi yang tertutup poni. "Baik, Kaa-san, aku lanjutkan besok."

Hinami tersenyum lalu mengecup pelan puncak kepalanya, barulah dia beranjak keluar setelah memastikan Hinata naik ke ranjang.

Kejadian mengerikan itu merenggut sebagian besar rasa bahagia Hinata. Putri Hinami tidak pernah berbuat jahat, lantas mengapa kejadian itu seakan-akan menjadi karma? Hinami menekan dadanya sendiri. Sakit! Sungguh sakit saat melihat Hinata harus kehilangan hubungan sosial dengan orang lain.

Hinami menghela napas berat setelah pintu kamar tertutup. Pikirannya kembali ke kejadian Hinata yang pingsan karena melihat Naruto. Entah bagaimana bisa lolos, karena yang Hinami tahu putrinya akan langsung menghubunginya saat tamu adalah lawan jenis.

"Hiashi, sungguh maafkan aku," isaknya. "Sampai hari inipun putri kita tetap seperti Rapunzel ...."

Hiashi meninggal setelah kejadian naas itu. Meregang nyawa saat berhasil menyelamatkan putri mereka, kemudian menghembuskan napas terakhir dengan harapan Hinata akan baik-baik saja.

Namun itu semua hilang, ketika Hinami mendapati Hinata yang histeris setiap melihat laki-laki, pun pingsan dengan keringat dingin dan lelehan air mata.

TBC
AreMe_Detect©2018
Take Me Away
TMA|2/LA

TBCAreMe_Detect©2018Take Me AwayTMA|2/LA

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.

A/N :

Maafkeun, Aku sudah memperingatkan di deskripsi cerita. Slow-Up. Ehehe😐

Boleh minta kritik dan saran?

Bye bye 😘

Take Me Away [RE-PUBLISH]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum