Part 4

12 1 0
                                    

"Rian kamu gak papa?"

Suara lembut itu, seketika Rian menoleh, sekedar memastikan itu adalah Jihan. Lalu membelakanginya lagi.

"Lo itu yang harusnya gua tanya. Ngapain kok bisa bermasalah sama tuh orang?" Rian mematikan blender berisi jus alpukat yang sedari tadi mendengung. Heninglah dapur itu.

Ditanya demikian Jihan gelagapan. Takut, kalau-kalau Rian menyalahkannya, kalau-kalau Rian memarahinya.

"Aku...Aku...."

Rian membalikkan badan.

"Aku apa?"
"Ya aku cuma nanyain kenapa mukanya kayak sedang bermasalah," Jihan menunduk.

Rian mendekat, mengelus rambut gadis kecil itu. Mendekapnya, membuat dadanya tak berjarak sama sekali dengan kepala Jihan.

"Gak semua pertanyaan bisa lo tanyain ke orang yang gak lo kenal. Ya gua tahu lo care, tapi inget, gak semua orang suka ditanya seintens itu"

Rian melepas dekapannya. Menatap Jihan lamat-lamat dengan mengangkat kedua alis, mengisyaratkan "Mengerti?" , Jihan mengangguk.

"Cuma masalah itu? Dan dia ngebentak kamu? Siapa sih dia? Sepertinya gak pernah ke cafe kita sebelumnya"

Tante Ratna yang sedari tadi menguping tiba-tiba mengambil alih pembicaraan.

"Itu Allan" , serempak Rian dan Jihan menjawab bersamaan.

"Kok lo kenal?" Alan mengernyitkan dahinya.

"Ya kenal, panjang ceritanya,"

Rian berkelana pikirannya, memikirkan banyak hal. "Jangan-jangan mereka sudah kenal lama? Dan lebih dari sekedar kenal"
Tante Ratna sudah tidak tertarik dengan pembicaraan ini. Apalagi setelah Mbak Dinda mengantarkan berlembar-lembar daftar pesanan. Tante Ratna semakin menenggelamkan diri diantara wajan, bumbu, blender, cobek, dan kawan-kawan. Mengabaikan dua pramusajinya yang masih bercengkrama.

Cafe itu memang kekurangan karyawan. Karenanya Mbak Dinda selain sebagai kasir juga merangkap jadi pendaftar pesanan. Di Blue Cafe pengunjung memesan menu di meja kasir. Lalu menuju meja, menunggu.
_____________________________________

Jakarta sedang terik - teriknya siang itu, pukul 11.00. Panas sekali, sampai-sampai nama bakteri yang mati-matian Jihan hafalkan serasa menguap semuanya. Terlebih Rian, permasalahannya bukan karena ia lupa hafalannya, tapi karena ia tak mampu mengingat sesuatu yang memang tidak pernah ia hafalkan.
Jam terasa berputar lebih lambat. Membuat mereka semakin merindu (merindukan bel pulang).

Gadis dengan rambut sebahu yang duduk di samping Jihan semakin memperpengap suasana. Berulang kali ia menyenggol lengan Jihan. Memohon - mohon minta diambilkan minum. Jihan tak habis pikir, Risma lebih mementingkan tenggorokannya yang kering dibanding kertas ulangannya yang nyaris kosong. Tanpa sengaja Jihan melirik kertas ulangan Risma. Dari 25 soal yang diberikan, Risma hanya menjawab tidak lebih tidak kurang 13 soal, itu pun dengan beberapa jawaban paling tidak rasionalnya sesuatu yang tak rasional. Jihan menggelengkan kepala, yang jelas bukan karena kagum. Sambil sedikit mengutuk-ngutuk di dalam hati, Jihan mengambil tasnya. Meminta Risma mengambil sendiri botol minum di dalam tas warna biru itu.

Nyaris seperti perampok, Risma menggeledah tas Jihan tanpa ampun, mencari - cari dimana botol itu berada. Tanpa sengaja, Risma mendapati sebuah jersey oranye yang tidak asing. Mulutnya menganga, tatapan matanya kini mulai menyelidik, menyugesti tangannya untuk mengambil jersey tersebut. Dan ketika ia membaca nama di jersey itu, mulutnya menganga lebih lebar lagi, seperti seisi kelas mau dilahapnya. Mata sipitnya mengerjap berkali - kali.

"Lo punya hubungan apa sama Allan? Kenapa gak cerita ke gua? Gila, selera lo tinggi juga,"

"Aku cuma nyuciin jerseynya, sebagai hukuman karena udah numpahin choco drink di jerseynya," Jihan berbisik pelan tanpa balas menatap.

Tanpa mempedulikan 12 soal yang belum terjawab, Risma justru asik meneliti jersey itu, entah apa yang dia cari, padahal dari sudut manapun jersey itu tetaplah sedemikian.

Rian yang duduk tepat di belakang Jihan secara terang - terangan mendapati jersey itu, juga nama yang tertera. Berkat Risma yang sedari tadi merentangkan dan membolak - balik jersey itu. Tanda tanya besar merundungnya. Muncul banyak daftar pertanyaan yang tabu untuk ditanyakan. Tapi itu harus ditanyakan, untuk menentukan apakah hatinya tetap baik - baik saja setelah mendengar jawaban atas pertanyaannya. Bagaimana jika mereka berhubungan? Dan kemarin malam adalah bagian dari masalah hubungan mereka?. Semua pertanyaan bersahutan di benak Rian. Membuat pikirannya semakin kacau, dan soal - soal itu, terasa semakin sulit. Otaknya meminta istirahat, dan membiarkan 3 soal tetap kosong, juga berharap hati si mata teduh tetaplah kosong.

_____________________________________

Bel yang dirindukan akhirnya berdentum juga. Sungguh detik - detik kebebasan bagi XI IPA 1. Mereka kembali bernafas lega setelah para bakteri menyumbat pernafasan mereka. Akhirnya. Seisi kelas berhamburan keluar, rindu udara segar mungkin.

"Hey, jersey si kuman lapangan kok bisa ada di lo sih?". Dengan ekspresi yang ia buat sebiasa mungkin, Rian memutuskan bertanya.

"Jadi gini, waktu pertandingan kemarin aku gak sengaja numpahin choco drink di jerseynya. Dan dia nyuruh aku nyuciin,"

"Kok lo mau?"

"Kan aku yang salah. Ya emang udah seharusnya dong tanggung jawab. Ya udah Rian aku buru - buru mau nganter jersey ini. Kamu hati - hati ya"

Jihan mendongak, membiarkan Rian menyelami mata teduhnya. Tersenyum, membuat Rian mengakui, Jihan cantik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 10, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Peneduh TerikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang