Part 2

232 51 1
                                    

Tepat pukul sepuluh teng di hari Minggu pagi nan cerah, empat minggu menjelang tanggal Tujuh Belas Agustus, Nurlela dan teman-temannya muncul di halaman rumah Pak RW sambil mengusung lembaran-lembaran kertas karton bertuliskan suara hati mereka. 

Ada yang bertuliskan, IJINKAN PEREMPUAN IKUT LOMBA PANJAT PINANG!

Lainnya bertuliskan: JANGAN KEKANG HAK ASASI PEREMPUAN!

Juga ada yang bertuliskan: BUAH MANGGA BUAH KEDONDONG, PEREMPUAN BOLEH IKUTAN DONG? Nggak nyambung ya?

“Para panitia acara tujuh belasan yang terhormat! Kami kaum perempuan RT 09 ingin menuntut hak kami!” teriak Nurlela lantang.

“Bang Jali tersayang, dengarkanlah suara hati kami!” Ida ikut berteriak.
 
“Ijinkanlah kami ikut lomba panjat pinang!” Reni tanpa ragu ikut berteriak walaupun masih ragu apakah ingin ikutan lomba panjat pinang?

“Jangan biarkan lomba panjat pinang dimonopoli kaum lelaki!” Nila juga mencoba menyuarakan pendapatnya.

“Assalammu ‘alaikum kakak-kakak panitia, teruslah bekerja untuk mewujudkan acara tujuh belasan yang sukses, jangan lupa istirahat dan makan yang cukup,” ucap Anisa lembut. 

Serentak teman-temannya menoleh ke arahnya dengan dahi berkerut.

“Nisa, sebenarnya lo ndukung siapa sih?” tegur Nurlela.

“Ane mendukung kalian semua,” jawab Anisa masih dengan intonasi suara yang lembut. 

Tak lama kemudian pintu rumah Pak RW terbuka dan keluarlah Bang Jali dan teman-teman sesama panitia acara tujuh belasan.

“Aduh, elo semua pada ngapain sih?” tanya Bang Jali dengan suara agak keras. 

Pandangan matanya tertuju ke arah Nurlela. Bang Jali punya firasat, ini pasti ulah Nurlela. 

“Lela, pasti ini ide lo, kan? Elo bener-bener kelewatan, Lela!” tuduh Bang Jali.

“Sebagai warga RW 01, kami punya hak untuk menyuarakan pendapat kami, Bang!” jawab Nurlela dengan suara yakin bahwa tindakannya benar.

“Iya, tapi bukan dengan protes-protes begini, kan?”

“Ini bukan protes, Bang! Ini unjuk rasa,” jawab Nila.

“Sama aja! Sama-sama bikin ribut. Untung Pak RW lagi pergi. Kalian kan bisa datang baik-baik. Kalau emang mau, kalian boleh ikut rapat kok!”

Anak-anak perempuan yang sedang berunjuk rasa itu seketika terdiam karena Nurlela sang pemimpin juga terdiam.

“Yee, Bang Jali, kenapa nggak bilang-bilang kalau kita boleh ikutan rapat?” tanya Nurlela akhirnya. 

“Yee, kenapa nggak nanya?” sahut Bang Jali.

“Sudah ah! Adik-adik, masuk saja yuk? Kita ngobrol di dalam,” kata Kak Desi yang manis dengan suara penuh kasih.

Anak-anak perempuan itu mengangguk setuju. Mereka semua masuk ke rumah Pak RW. 

“Lela, Bang Jali udah sampein ke panitia permintaan elo untuk ikut lomba panjat pinang. Dan kami sudah rembukan,” kata Bang Jali setelah mereka semua duduk lesehan di ruang tamu Pak RW.

“Dan keputusannya gimana, Bang?” Nurlela menatap Bang Jali penuh harap

“Panitia memutuskan lomba panjat pinang akan di bagi menjadi dua sesi. Sesi pertama pesertanya perempuan semua. Kita kasih waktu satu jam. Setelah itu baru giliran anak lelaki.”

“Para lelaki dikasih waktu berapa jam, Bang?” tanya Nurlela masih merasa belum puas.

“Sampe hadiahnya abis,” jawab Bang Jali.

Panjat PinangWhere stories live. Discover now